Kei berlari kencang, mendekati Kou dan juga Shin yang menunggu di ujung sana. Aku menoleh ke belakang, disaat Para Manticore melompat secara bergantian … Melewati Bernice dan pasukannya hanya untuk mengejar kami. Disela-sela perjalanan kami mendekati Pulau tersebut, suara tangis dari anak-anak yang dibawa Manticore … Terdengar saling sahut, dengan angin laut di sekitar kami.
“Apa kalian telah memeriksa sekitar Pulau ini?” tanyaku, kepada Shin yang melingkar di atas reruntuhan pohon kelapa.
“Tidak ada manusia, jadi mereka bisa aman tinggal di sini, My Lord,” jawab Shin sambil merayap ke arah kami dengan lidahnya yang tak berhenti untuk keluar-masuk dari sela-sela mulutnya.
Aku bergerak turun dari punggung Kei lalu berbalik menatap mereka semua yang berlari semakin mendekati kami. Disaat itu juga, mataku beralih pada letupan-letupan gelembung yang muncul dari dalam air, “kau benar-benar harus mengganti pakaianmu, Ebe!” ucapku sambil meraih dua tas yang bergelantungan di leher Kei, lalu melempar salah satu tas tersebut padanya.
Ebe mengangkat tas yang berhasil ia tangkap, “setelah sekian lama baru bisa berenang di lautan lagi … Ini terasa sedikit aneh untukku,” ucapnya dengan berlalu menuju pepohonan yang ada di belakangku.
“Kou, aku ingin kau membawa mereka semua kembali untuk sementara kecuali Para Leshy, tapi tetap perintahkan mereka untuk selalu bersiap menerima perintah dariku! Setelah ini, aku ingin kau mengantarku ke hutan … Hutan di mana aku menemukan Kak Amanda. Hutan di Kerajaan Robson, bawa aku ke sana secepat yang kau bisa nanti,” ungkapku sambil menoleh padanya yang beranjak dari lempengan es di atas permukaan laut, tempat dia berbaring sebelumnya.
“Tentu, My Lord,” sahutnya dengan lempengan-lempengan es yang muncul mengikuti jejaknya yang berjalan mendekat.
Bernice yang sebelumnya berteriak memberikan perintah pada rakyatnya … Dengan sekejap langsung berbalik ke arahku yang telah berdiri di belakngnya. “Persiapkan apa yang ingin kau bawa, Bernice! Aku akan menunggumu selesai melakukannya sambil aku meminta izin pergi ke Ratu Alelah,” ucapku, sembari memegang pundaknya, sebelum berlalu melewatinya.
Kedua kakiku terus berjalan lalu berhenti untuk duduk di depan Ratu Alelah. Dia duduk bersandar di sebuah batu besar di tepi pantai dengan kedua kakinya yang saling menempel lurus ke depan. “Ratu, maaf karena hanya ini yang bisa aku lakukan. Maaf, karena aku tidak bisa berlama-lama di sini, dan sebelum kami pergi … Apa aku boleh mengajak Bernice untuk ikut bersamaku?” tanyaku yang langsung memintanya tanpa ragu.
Ratu Alelah tersenyum membalas tatapanku, “Bernice sudah menceritakannya kepadaku, jika dia setuju … Maka aku, sudah pasti akan mendukungnya. Tidak perlu meminta maaf, Sachi,” ucapnya dengan kembali melemparkan senyumannya, “apa yang kau lakukan sekarang … Sudah menyelamatkan kami semua.”
“Namun, hanya satu yang aku pinta. Bernice sangatlah keras kepala … Jangan membuat dia melakukan sesuatu mengikuti kehendaknya sendiri! Aku tidak memintamu untuk menjaganya, tapi aku memintamu untuk berteman dengannya. Aku hanya ingin dia memiliki seorang teman yang bisa menjadi rumah keduanya.”
Aku beranjak dengan semakin mendekatinya. Bibirku masih terkatup sesaat tanganku meraih dan menggenggam tangannya, “aku pasti melakukannya. Aku pun berharap, jika Bernice dapat menjadi Ratu yang lebih bijak setelah dia melihat sendiri seperti apa Dunia Luar,” ucapku yang tersenyum membalas tatapannya.
Ratu Alelah mengangkat tangannya mengusap kepalaku, “terima kasih, Sachi. Aku sangatlah beruntung bertemu denganmu saat itu,” sahutnya diikuti telapak tangannya tadi yang bergerak menyentuh pipiku.
____________.
Aku menoleh ke beberapa Kesatria yang sedang memungut puluhan ikan berukuran besar yang terdampar di tepi pantai. Aku meminta Shin dan juga Tama untuk memberikan Para Penduduk makanan sebelum mereka berdua kembali ke Dunia Kou … Dan ikan-ikan itu yang mereka berikan. “Tempat ini justru terlihat indah disaat air lautnya surut,” ucapan dari Ebe membuatku menoleh ke belakang.
“Kau sudah selesai bersiap?” tanyaku pada Ebe yang telah berhenti tepat di sebelahku.
“Seperti yang kau lihat,” jawabnya singkat dengan senyum yang mencuat, “setelah ini kita akan ke mana, Sachi?” sambung Ebe yang kali ini balas bertanya.
“Kerajaan Robson … Ayahku terakhir kali meminta kami untuk menghancurkan Kerajaan Juste yang bertetangga dengan Kerajaan Robson. Aku ingin menghancurkan Kerajaan itu sebelum Saudara-saudaraku melakukannya. Jika aku berhasil melakukannya, aku akan bisa membuang bayang-bayang Saudara-saudaraku … Aku ingin memastikan diriku sendiri, apa aku bisa bertahan hidup tanpa mereka atau tidak,” ucapku sambil mengangkat sebelah tanganku menyentuh Kou yang sudah duduk di depan kami berdua.
Kou mengangkatku dan juga Ebe ke punggungnya. Mataku beralih mencoba untuk menoleh ke belakang disaat beberapa kali tepukan menyentuh pundak. Aku mengikuti jari Ebe yang tengah menunjuk ke sisi kiri kami, “Sabra?” ucapku kepadanya, dia terus saja berjalan mendekati kami.
“Jika aku tidak bisa kembali, maka izinkan aku untuk mengikuti kalian!” pintanya, sesaat dia sendiri sudah berhenti tepat di samping kami.
Dia mengajukan dirinya sendiri … Tepat seperti yang aku perkirakan. Aku tahu, mengajaknya pergi menemui penduduk pulau, dan memperlihatkannya kehebatan yang dimiliki hewan-hewanku … Bukanlah hal yang buruk.
Aku masih terus menatapnya tanpa mengeluarkan ekspresi apa pun, “aku tidak ingin mengajak seseorang yang dapat mengacaukan semua rencana yang aku buat nantinya. Kau tahu, selepas ini kami berniat ingin menghancurkan sebuah Kerajaan Besar … Seseorang yang tidak bersungguh-sungguh mengikuti jejak kami, akan membuatku sangat kesulitan.”
“Aku akan melakukannya. Semua yang kau perintahkan, aku akan melakukannya! Jadi, izinkan aku untuk melihat seperti apa Dunia Luar!” ucapnya lantang sambil menepuk dadanya sendiri.
Senyum di bibirku mencuat setelah mendengar kata-katanya, “apa pun? Walau itu berarti kau harus menjadi perisaiku?” ungkapku yang segera dibalasnya dengan anggukan.
“Sachi, apa kau sengaja melakukan hal ini?” tukas Ebe secara tiba-tiba menggunakan Bahasa Latin.
“Kau menyadarinya, Ebe?”
“Tentu saja. Aku sangat memahami kelicikanmu itu,” sahutnya yang kembali menjawab kata-kataku.
“Dari awal aku memang ingin mengajaknya, karena dia terlihat tangguh di mataku. Aku sengaja mengajaknya mengikuti kita dengan berkata bahwa kita tidak bisa mengantarnya kembali … Aku hanya ingin memperlihatkannya kekuatan yang aku miliki, karena seperti pepatah di Kerajaan Balawijaya yang mengatakan … Tak kenal maka tak sayang.”
“Kenali siapa aku dan ikutilah jejakku. Hal yang sama juga berlaku untukmu dulu,” sambungku, aku tertawa disaat Ebe melingkarkan lengannya mencekik leherku.
“Aku tulus ingin berteman denganmu dulu, Sialan!”
Suara tawaku semakin keras oleh sindiran Ebe, “aku tahu. Dari mana kau mempelajari kata-kata itu? Apa Kakakku yang mengajarimu?” ungkapku lagi padanya.
Ebe menarik kembali tangannya, “Izumi selalu mengucapkannya disaat dia kesal. Jadi kata-kata itu tanpa sadar tertanam di kepalaku,” tuturnya dengan kepala tertunduk.
Aku mengangkat tangan menepuk kepalanya, "lama-lama kau terlihat mirip seperti suamimu, Ebe," tukasku yang membuatnya kembali mengangkat pandangan.
“Mendekatlah, Sabra! Agar Kou bisa mengangkatmu! Kita akan segera pergi, karena pedangku yang sangat tajam … Telah berjalan mendekat,” tukasku ketika tatapanku tak sengaja terjatuh ke arah Bernice yang melangkah semakin mendekati kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...