“Nii-chan, apa kau ingin menangkap ikan menggunakan pedang milikmu itu?” tanyaku sambil terus berjalan mengikuti Izumi dari belakang.
“Apa kau tidak ingin makan?”
“Tentu saja, aku ingin makan,” sahutku yang dengan cepat menimpali perkataannya.
“Karena itu, diamlah! Aku tidak bisa mencari ikan di depan mereka berdua,” timpal Izumi yang terus saja berjalan.
Aku turut menghentikan langkah seperti Izumi. Mataku terpejam, mendengarkan secara seksama nyanyian lirih yang mengalun di telinga … Kedua kakiku melangkah, mendekati suara tersebut. Lagu yang ia nyanyikan kian terdengar jelas bercampur dengan deburan ombak yang membentur bebatuan. ‘Dunia ini yang baru aku lihat untuk pertama kalinya, deburan ombak di laut menggantikan perasaanku,’ lirikan mataku beralih kepada Izumi yang berdiri di samping, saat lirik lagu yang dinyanyikan menggunakan bahasa Latin itu memenuhi telingaku.
Andaikan kau mengerti apa maksud dari lagu yang ia nyanyikan, kau pasti tidak akan begitu menikmatinya seperti sekarang, nii-chan!
Aku membuang kembali pandanganku dari Izumi yang masih memejamkan matanya, “Ebe!” panggilku dengan kuat, Ebe menghentikan nyanyiannya diikuti kepalanya yang bergerak seperti mencari keberadaanku.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku sambil bergerak menginjak bebatuan lalu duduk di salah satu batu besar di bibir laut.
“Sachi? Sejak … Sejak kapan?” perkataannya terpotong, aku mengikuti lirikannya yang mengarah kepada Izumi, sebelum dia kembali membuang pandangannya itu ke lautan.
“Kakakku tidak mengerti apa yang kau nyanyikan.”
“Benarkah?” Ebe menghela napas dengan menyentuh dadanya, “syukurlah,” sambungnya sembari berusaha menggerakkan tubuhnya duduk berbalik menatapku.
“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Ebe sambil menatapi kami bergantian.
“Mencari makanan,” sahut Izumi, yang telah berdiri di salah satu batu besar.
“Apa kau ingin mencarinya dengan menyelam? Kalau iya, jangan lakukan! Arus air di bawah sangat kuat … Tubuhmu akan terlempar langsung ke tengah lautan kalau melakukannya,” ucap Ebe, dengan raut wajah khawatir menatapnya.
“Tidak masalah, bukan? Aku bisa bernapas di dalam lautan-”
“Jangan bertingkah bodoh!”
Aku mengatup rapat bibirku, saat Ebe membentak kuat Izumi, bahkan Izumi pun ikut terdiam mendengarnya. “Bahkan bangsa duyung pun, bisa mati karena terjebak di arus-arus kuat lautan. Kedua kaki yang kau miliki, tidak akan kuat membantumu lepas dari jeratan tersebut!”
“Aku perintahkan turun dari batu tersebut! Kalau kau ingin mati, jangan melakukannya di hadapanku!” sambung Ebe yang kembali membentaknya.
Aku menutup bibir menggunakan telapak tangan, berusaha menahan tawa ketika lirikan Izumi mengarah kepadaku. “Jika benar seperti itu, kenapa kau ada di sini, Ebe?” tanyaku yang membuat pandangan matanya beralih kepadaku.
“Aku berbagi tugas dengan kakakku. Aku dipintanya berjaga di sini, sedangkan dia menjaga arus yang ada di sisi pulau yang lain … Kami melakukannya, agar kalian tidak bertingkah ceroboh dengan berenang di sembarang tempat. Kami, bertanggung jawab untuk menjaga keselamatan kalian di lautan.”
“Malam ini akan ada badai di tengah lautan,” sambung Ebe, dia menghirup udara sangat panjang diikuti matanya yang terpejam.
“Apa tidak apa-apa untukmu berada lama di daratan? Duyung yang sempat kami tangkap dulu, langsung seperti kehabisan napas saat kami menariknya dari air.”
“Karena aku, bukanlah duyung murni … Salah satu orangtuaku, adalah manusia-”
“Kalian sedang mencari makanan, bukan? Dibanding ikan, bagaimana kalau kerang? Aku pikir, di sekitar bebatuan, kalian akan banyak menemukannya,” ucapnya kembali, yang berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Apa yang kau lakukan Ebe?” tukasku beranjak ketika dia menggerakkan tubuhnya bergerak turun dari batu yang ia duduki.
“Membantu kalian mencari makanan, sebentar lagi malam … Kalau tidak cepat, kalian mungkin akan kelaparan semalam penuh,” jawabnya, yang menggerakkan kedua tangan menyangga tubuhnya.
“Aku, akan membantumu turun. Lihatlah! Sisikmu banyak yang berguguran mengelupas,” ucapku, sambil mengangkat tanganku mengusap goresan di ekornya.
“Aku tidak memperhatikannya, ini mungkin karena aku memanjat batu ini sebelumnya,” ungkapnya yang juga ikut mengusap ekornya.
“Menyingkirlah, Sachi!”
“Nii-chan?” tukasku, kepalaku mendongak menatapnya yang telah menepuk pundakku.
Aku beranjak dengan meraih pedang miliknya yang ia berikan. “Aku, akan membantumu turun,” ucap Izumi sambil duduk berjongkok di depan Ebe.
Aku turun dari bebatuan dengan menginjak satu per satu dari mereka. Tubuhku berbalik, menatapi Izumi yang juga berjalan turun dari bebatuan dengan menggendong Ebe. “Aku mencintaimu, Izumi,” lirikan mataku mengarah kepadanya, yang mengucapkan kata-kata tersebut menggunakan bahasa Latin.
“Apa kau mengatakan sesuatu?”
Ebe mengangguk membalas tatapan Izumi, “aku mengatakan, turunkan aku di sini, Izumi!” tukas Ebe berbohong kepadanya.
Izumi mengikuti perintahnya tanpa banyak berkata, dia kembali beranjak berdiri setelah menurunkan Ebe duduk bersandar di salah satu bebatuan. “Apa kau yakin, di sini kami akan menemukan banyak kerang untuk dimakan?” tanyanya, yang kembali duduk berjongkok di dekat bebatuan yang lain.
“Kenapa tidak mencoba untuk mencarinya? Aku pun akan turut membantu kalian,” ucap Ebe, dia bergerak menggunakan tangannya lalu berbaring menelungkup di dekat bebatuan.
“Jangan memaksa dirimu sendiri, Ebe,” ucapku sambil meletakkan pedang milik Izumi bersandar di bebatuan.
“Aku tidak memaksakan diri, Sachi. Setelah membantu kalian, aku juga akan mencari makanan … Lagi pun, kalau kalian tidak kelaparan, perjalanan yang kita lakukan justru akan lebih mudah,” jawabnya, diikuti sebelah tangannya yang bergerak menggali pasir di bawah bebatuan.
Aku menarik napas lalu mengembuskannya kembali, tubuhku duduk berjongkok dengan kedua tanganku menggali pasir yang ada di bawah bebatuan. “Nii-chan, apa kau tidak ingin menggunakan pedang milikmu untuk menggali?”
“Aku tidak akan mengotorinya untuk melakukan hal sepele seperti ini,” sahut Izumi menimpali perkataanku.
Aku meraih beberapa kerang dari galian pasir, membasuh kerang tersebut dengan air laut yang kadang kala menelusup melewati bebatuan sebelum mengumpulkan semuanya di pakaian yang aku kenakan. “Aku sudah mendapatkan cukup banyak, bagaimana dengan kalian?” tanyaku sembari berbalik mendekati Izumi.
Aku menunduk, dengan sedikit menarik pakaianku ketika Izumi beranjak dengan membawa segenggam penuh kerang di tangannya. Dia kembali berbalik, meraih kerang yang dikumpulkan Ebe … Lalu meletakkan kerang-kerang tersebut ke pakaianku yang sudah dipenuhi kerang yang telah kami kumpulkan bertiga.
“Nii-chan, aku akan membawakan pedang milikmu. Bisakah, nii-chan menggendong Ebe ke bibir pantai yang ada di dekat kita bermalam?” tanyaku sambil berbalik lalu membungkuk meraih pedang milik Izumi.
“Aku, akan berjaga di sini-”
“Apanya yang berjaga? Tidak ada manusia selain kami di sini, justru terlalu berbahaya meninggalkanmu sendirian di sini,” pungkas Izumi, napasnya sedikit tertahan tatkala dia kembali menggendong Ebe.
“Apa kalian para duyung, tidak pernah mencoba untuk membuat pakaian?” sambung Izumi, dengan tetap membuang pandangannya ke depan.
“Pakaian?”
“Seperti yang aku kenakan,” sahutku dengan menggoyang-goyangkan pakaianku yang menampung kerang.
“Tapi Izu-nii … Apa kau, sudah paham arti nilai dari tubuh seorang perempuan?”
“Tutup mulutmu!”
Aku tertawa keras menimpali bentakannya padaku, “pakaian, kah?” gumam Ebe, lirikan mataku kembali beralih kepadanya yang menyilangkan kedua lengannya ke pundak hingga menutupi dadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...