Aku melirik ke arah Zeki yang tengah mengikat obor kecil di beberapa sudut rumah. Bibirku masih terkatup rapat, saat dia sendiri pun belum membuka suaranya sejak pembicaraan Haruki sebelumnya. Lirikan mataku beralih ke arah Huri yang tangisannya memecah keheningan di antara kami, “kau buang air?” tukasku, saat telapak tanganku itu basah ketika menyentuh bokongnya.
Tanganku bergerak membuka lampin Huri yang basah, “berikan yang kotor itu kepadaku!” Aku mengangkat kepala, menatap ke arah Zeki yang menyodorkan lampin bersih kepadaku.
Aku memberikan yang kotor kepada Zeki, sambil meraih lalu mengenakan lampin yang bersih kepada Huri. Kuraih dan kugendong ia, sambil sebelah tanganku yang lain membuka ikatan pita pada gaunku. Aku sedikit meringis, karena masih belum terbiasa tiap kali Huri menyusu dengan kuat. “Apa kau, masih tidak ingin berbicara denganku?” tanyaku, dengan menatap Zeki yang mengganti alas kain yang ditiduri Huri.
“Ini bukan berarti aku tidak menyetujui perkataan Haruki, yang ia katakan memang benar … Tidak ada jaminan, keselamatan untuk anak kita walau dia tinggal di Istana Sora ataupun Yadgar-”
“Membuatnya jauh dari lingkup kebangsawanan, merupakan yang terbaik,” tukas Zeki, dia duduk di hadapanku sambil mengusap pelan kepala Huri yang masih sibuk menyusu.
“Aku tidak menyangka, sudah menjadi seorang Ayah sekarang. Maafkan aku, Sachi,” tukas Zeki yang membuat pandanganku kembali terdiam padanya.
“Saat kondisi tubuhmu, tiba-tiba menurun … Aku, berpikir untuk menyerah padanya karena jujur aku tidak ingin kehilanganmu. Tidak memiliki anak pun, tidak apa-apa. Karena aku, hanya ingin menghabiskan hidupku denganmu-”
“Aku, tidak bisa mengatakan hal ini, karena kau terlihat tidak ingin menyerah. Aku, tidak tega memberitahukan hal ini kepadamu … Tapi, saat dihadapkan pilihan antara kau dan anak kita yang belum lahir. Tentu, aku akan memilihmu apa pun yang terjadi. Aku, bahkan tidak akan segan-segan memohon kepada para Elf untuk hanya menyelamatkanmu-”
“Aku merasa, tidak pantas menjadi seorang Ayah,” tukasnya, dia menundukkan wajahnya menghindari tatapanku kepadanya.
“Tapi saat kalian berdua sama-sama baik-baik saja … Aku, tidak bisa melukiskan perasaaan lega, bahkan air mataku jatuh begitu saja. Aku ingin melindunginya, aku ingin melindungi kalian berdua … Dua perempuan yang berharga untukku.”
Kepalaku mengangguk pelan, hingga tak terasa air mataku menetes jatuh saat mendengarkan apa yang ia katakan. “Zeki, Sachi, Huri … Apa kau sengaja memberikanku nama itu, Ayah?” tukasku, sambil menggerakkan tangan Huri yang aku genggam.
“Aku ketahuan, terdengar kekanak-kanakan, bukan?”
Aku tertawa kecil dengan kembali membaringkan Huri yang tertidur, kuraih kain yang ada di dalam keranjang lalu kuselimuti Huri menggunakan kain tersebut. “Ada apa?” tanyaku saat lirikan mataku terjatuh kepadanya yang masih diam menatapiku.
“Apa kau, tidak ingin menambah adik untuknya?”
“Kau mengatakan apa?” tanyaku yang dengan cepat memotong perkataannya.
“Walau lukaku telah sembuh sepenuhnya, rasa sakit saat aku melahirkan masih mengiang di kepala. Jika kau tidak paham rasa sakitnya … Coba kau ambil batu kerikil di luar, lalu kau paksakan batu kerikil itu masuk ke dalam lubang hidungmu. Baru kau akan paham, sakitnya ketika kepala anakmu ini menerobos keluar dari tubuhku.”
“Aku berkata serius, kenapa juga kau justru tertawa?” geramku, saat dia berusaha menahan tawanya dengan menggigit bibirnya sendiri.
“Membuatmu kesal memanglah yang terbaik. Lihatlah, bahkan Huri pun tertawa,” jawabnya, yang membuat lirikan mataku beralih kepada Huri yang tersenyum-senyum sambil tetap tertidur.
“Ayahmu memanglah makhluk yang paling menjengkelkan-”
“Benarkah? Tapi kau, jatuh cinta akan pesonaku ini, bukan?” tukasnya, sambil tersenyum dengan memotong perkataanku.
“Benar, aku jatuh cinta dari sekian banyak laki-laki yang mencoba mendapatkanku. Aku jatuh cinta saat dia selalu mencoba menghiburku kala aku sedang gundah. Namun, yang paling membuatku jatuh cinta adalah … Saat dia menjadi laki-laki yang sangat bisa diandalkan, yang selalu berusaha untuk melindungiku dengan caranya sendiri,” ucapku, bibirku tersenyum saat dia masih diam terpaku menatapku.
“Terima kasih, karena telah menemukanku, Zeki Bechir,” sambungku yang semakin membuatnya terdiam.
“Aku melakukan semua itu, tidak lain untuk kepentinganku sendiri-”
“Lalu kenapa? Aku pun dulu, berniat untuk mengambil keuntungan dari pertunangan kita, sebelum akhirnya aku benar-benar jatuh cinta padamu.”
“Aku tahu jika kau memang pandai berbicara, tapi tetap saja-” ucapnya terhenti dengan membuang pandangannya ke samping, “membuat dadaku selalu berdetak kencang tiap mendengarnya,” sambungnya yang membuatku menahan tawa dengan menggigit kuat bibirku.
Aku berbaring menyamping dengan sebelah tanganku menepuk-nepuk pelan paha Huri, “apa kau tahu, Zeki? Saat para Elf mengatakan, bahwa aku tidak pantas untuk menjadi Ibunya … Rasanya sakit sekali. Biasanya, aku hanya akan kesal jika ada seseorang yang mengolok-olokku. Namun, saat kata-kata itu menyentuh telingaku, rasa kesalku ditaklukan dengan rasa kecewa."
“Aku sadar, bahwa aku belum tentu menjadi Ibu yang baik untuknya. Tapi bagaimana pun, dia anakku … Dia memakan apa pun yang aku makan selama tumbuh di dalam perutku. Kata-kata bahwa aku tidak pantas menjadi Ibunya membuatku-” tangisku terhenti dengan meraih dan mencium tangan Huri, “membuatku jauh lebih sakit saat sebuah panah menancap di tubuhku.”
Aku melirik ke arahnya, saat kurasakan ibu jarinya itu bergerak mengusap bagian bawah mataku, “kau akan membangunkannya,” ucapnya dengan usapannya itu berpindah ke rambutku.
“Bukan hanya kau … Dulu, aku sering mendapat cacian, tidak pantas menjadi seorang Bangsawan, tidak pantas mendapatkan gelar sebagai Pangeran. Entah kenapa, kata-kata tidak pantas menjadi seorang Ayah dari anakku sendiri, justru lebih sakit dibanding semua cacian yang pernah aku dapatkan.”
“Ini pertama kalinya untukku membangun sebuah keluarga, bahkan saat aku mendengar kabar kehamilanmu … Rasa bahagia yang aku rasakan terasa sulit sekali dijelaskan. Aku memang kecewa ketika mendengar perkataan mereka, tapi aku lebih marah saat kau menangis oleh perkataan mereka.”
“Karena aku tahu, bagaimana sifat Istriku yang selalu berusaha tegar hanya untuk tidak membuat orang di sekitarnya khawatir. Namun, dia terang-terangan menangis saat ucapan itu terdengar … Seperti apa aku harus mengatakannya, aku tidak akan memaafkan mereka lagi-”
Perkataan Zeki terhenti saat aku meraih lalu menggenggam tangannya, “aku bukanlah laki-laki yang baik. Namun aku, akan berusaha menjadi pemimpin keluarga yang baik untuk kalian. Menjadi suami yang baik untukmu, lalu menjadi ayah yang baik untuk Huri dan mungkin adik-adiknya nanti-”
“Bantu aku untuk mewujudkannya. Kau, akan membantuku, bukan?”
Kepalaku mengangguk pelan menatapnya, “aku pun, mungkin bukanlah Istri dan Ibu yang baik. Namun, bantu aku juga untuk mewujudkannya,” ucapku, dia tersenyum simpul sambil balas menggenggam tanganku dengan erat.
“Aku mencintaimu-”
“Aku juga mencintaimu,” balasku yang disambut senyum lebar darinya.
“Dan Ayah pun, mencintaimu, Putriku,” sambung Zeki, sambil mencium kening Huri yang lelap tertidur di tengah-tengah kami
![](https://img.wattpad.com/cover/255183933-288-k758823.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...