Chapter DCLXX

2.5K 495 28
                                    

Makhluk tersebut terus terbang, menghindari Kou yang tak berhenti mengejarnya. Dia bahkan dengan mudahnya menghindari serpihan-serpihan es yang Kou keluarkan ... Aku pun ikut semakin gusar, tatkala beberapa ekor burung yang terbang di atas kepala kami. Tiba-tiba jatuh lalu mati, tiap kali mereka berdua terbang melewati.

Aku sedikit terpejam tatkala kurasakan angin berembus, menerbangkan rambutku yang dikuncir. Angin tersebut, entah kenapa ... Bertambah kencang dan bertambah kencang, hingga yang awalnya hanya menerbangkan debu ... Kini ranting-ranting pepohonan yang ditumbuhkan oleh para Elf, turut diterbangkan embusan angin yang aku maksudkan.

Angin tersebut, membentuk sebuah pusaran di depan kami. Pusaran yang awalnya mungkin hanya sebatas paha ... Kian membesar dan kian membesar seiring waktu. Mataku yang menyipit itu, melirik ke arah Shin yang telah melingkarkan ekornya di pinggangku. Dia menarik tubuhku mendekatinya, saat aku sendiri hampir terjungkal oleh pusaran angin yang terasa hendak menarikku untuk masuk ke dalamnya.

Aku berlindung di sela-sela tubuh Shin, dengan sesekali melirik ke arah Uki yang juga telah berlindung di dekat leher Tama, ketika pusaran angin itu semakin menjadi-jadi. Apa ini kebetulan? Ada apa dengan pusaran angin itu?

Saat aku masih belum selesai membatin, pusaran itu bergerak mendekati pepohonan dengan banyak perempuan setengah burung yang terbang di atasnya. Angin itu, terlihat semakin besar saat dia mencabut pohon-pohon yang ada di sana begitu saja, lengkap dengan membopong beberapa mayat Elf, Manticore hingga perempuan burung bersamanya.

Angin itu terus tumbuh semakin kuat, bahkan perempuan-perempuan setengah burung yang terbang ... Ikut ditarik paksa masuk ke dalam pusaran itu. Lama pusaran angin itu terus berputar dan terus berputar di tempat, hingga akhirnya tiba-tiba berhenti, membuat apa yang diisapnya sebelumnya ... Jatuh begitu saja ke tanah.

Dia musuh atau bukan?

Kedua mataku melebar, tatkala semua perempuan setengah burung yang ada. Tergeletak tak bernyawa di tanah dengan pohon-pohon yang juga jatuh menimpa mereka ... Aku mendongak dengan tanpa sadar mengangkat tanganku itu ke atas. Entah kenapa, angin kencang yang berputar di atas kepala kami tersebut, sama sekali tidak membuatku takut. Dan yang lebih anehnya lagi, Uki, Shin dan bahkan Tama tidak menyadari pusaran angin itu kian mendekat.

"My Lord!" Lamunanku seketika buyar, tatkala suara Kou memanggil namaku.

Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi yang aku sadari sekarang hanyalah ... Aku yang entah bagaimana telah berada di dalam pusaran angin. Aku menunduk, menatap mereka semua yang mendongakkan kepala ke arahku. "My Lord!" Suara Kou dan Uki, yang terus-menerus terdengar memanggil namaku.

Aku mengalihkan pandangan ke arah mereka berdua yang terbang mengejar pusaran angin yang membawaku itu, dengan turut pula beberapa pohon dan juga akar yang tumbuh menjulang, berusaha untuk menangkapku. Semakin lama pusaran angin itu membawaku, semakin berat juga untuk mataku terbuka.

______________.

Aku membuka mata dengan sangat perlahan, saat angin yang berembus dengan lembut menyentuh pipiku. Tubuhku beranjak cepat, kedua mataku melebar saat tatapan mataku itu terjatuh ke arah hewan besar, berbentuk Harimau berbulu putih dengan loreng hitam.

Aku semakin terpaku, tatkala dia yang sebelumnya terlelap ... Membuka matanya dengan sangat pelan hingga memperlihatkan kedua bola matanya yang biru layaknya bias langit. Tubuhku bergerak mundur hingga membentur batang pohon di belakangku, saat dia berjalan mendekatiku.

Harimau Putih itu, membuka lebar rahangnya hingga memperlihatkan taring-taring tajam miliknya. Mataku terpejam, lalu terbuka kembali saat kurasakan sesuatu menindih kepalaku. "Darah?" gumamku, ketika darah menetes di taring dan salah satu kaki depannya yang menindih kepalaku.

Harimau? Mungkinkah dia-

"Apa kau, ingin kita melakukan kontrak?" tanyaku menggunakan Bahasa Inggris kepadanya.

Aku menarik napas yang sangat dalam sambil menengadah kedua tanganku, menampung tetesan darah yang jatuh dari lengan makhluk berbentuk Harimau itu. Kudekatkan tanganku yang menangkup darahnya mendekati bibir, lalu menjilat dan meminum darah yang memenuhi tanganku tersebut. "Aku, memberikanmu nama, Kei. Kei yang berartikan kebijakan dan juga berkat," ucapku sambil meletakan telapak tanganku ke keningnya.

Tubuhku dengan sekejap merinding, seperti banyak sekali angin yang masuk ke seluruh pori-pori kulitku. "My Lord!" tukas suara laki-laki yang masuk ke dalam kepalaku.

"Aku memintamu untuk datang mencariku, tapi kau baru datang saat angin milikku memaksamu datang," sambung suara itu kembali diikuti kaki milik Harimau tersebut yang ia tarik kembali dari atas kepalaku.

"Dari mana kau mengetahui bahwa aku ada di sana? Apa kau, salah satu hewan agung? Dan, di mana kita?" Aku bertanya dengan beruntun kepadanya.

"Aku hanya pernah merasakannya sekejap, saat sebuah sihir yang sangat besar melintas di langit. Saat itu aku tersadar, dia manusia yang harus menjadi Tuanku. Angin milikku selalu mengikutimu ... Makhluk lemah yang kau miliki, tentu tidak akan bisa merasakan keberadaanku," ucapnya dengan berbalik lalu melangkah menjauhiku.

Aku turut beranjak sambil berjalan mengikutinya, "di mana ini?" tanyaku, saat dia menghentikan langkah di ujung jurang yang ada di depan kami.

"Tempatku bersembunyi," ungkapnya singkat dengan kembali berbelok lalu melanjutkan lagi langkahnya.

Tatapan mataku menatapnya heran, sebelum aku juga turut mengikutinya yang berjalan menuruni jalan setapak. Kami terus berjalan, menyusuri jalan setapak dengan beberapa pohon yang ada di sekeliling kami, sebelum akhirnya kami berdua kembali berhenti di sebuah pemakamam.

Kenapa aku bisa menyebutnya pemakaman? Entahlah, aku hanya terpaku kepada batu-batu layaknya nisan yang berjejer rapi di tanah lapang itu. "Apa yang kau lakukan?!" Aku meninggikan suaraku sambil berlari ke arahnya yang tengah menggali salah satu makam dengan kakinya.

Harimau yang aku beri nama Kei itu, menarik jasad seorang laki-laki yang masih sangat bagus, mungkin laki-laki tersebut baru saja kehilangan nyawanya, dari dalam galian yang ia lakukan. Aku masih terdiam, saat dia sendiri mulai menggerogoti jasad tersebut dengan taringnya.

Kei, kembali menutupi galian di makam tersebut seperti sebelumnya, seperti saat makam tersebut belum dia sentuh. "Kenapa kau melakukannya?" tanyaku dengan melirik ke arah potongan jari telunjuk di dekat kakinya.

"Aku membutuhkan makan untuk memperkuat sihirku. Aku tidak seperti mereka yang enggan untuk menambah kekuatan, hingga untuk mengalahkan makhluk lemah yang menyerang kalian sebelumnya saja sulit. Aku masih lapar, daging segar lebih baik dibanding bangkai," ucapnya sambil kembali melanjutkan langkahnya.

"Daging segar?" gumamku dengan lirikan yang mengikuti tubuhnya.

Lidahku berdecak seraya berlari menyusulnya. Dia terus saja berjalan, membawaku ke sebuah perkampungan ... Perkampungan, yang bahkan seorang manusia pun tidak bisa aku temukan. Lirikan mataku kembali beralih kepada Kei yang sudah berhenti di salah satu gubuk. "Aku bisa mencium daging segar. Daging yang masih sangat muda dan juga lezat," ucapnya sambil mengangkat sebelah kaki mendorong pintu anyaman di gubuk tersebut.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang