Chapter DCXCIII

2.3K 483 14
                                    

Sudah beberapa hari sejak pertemuan rahasia kami, dan hari ini … Resepsi pernikahan, akhinya dilaksanakan. “Ibu! Nenek Ajeng memberikan Huri kuku-kuku ini, cantik sekali,” gumamnya yang berjalan mendekat, sambil mengenakan pakaian tradisional Kerajaan Balawijaya.

“Ibu, Ibu cantik sekali,” sambungnya bergumam dengan melemparkan tatapan ke arahku.

“Benarkah? Kita memakai pakaian yang sama dan rambut Ibu juga dihias menggunakan bunga sama seperti Huri. Jika Ibu cantik, Putri Ibu justru lebih cantik. Coba, Ibu ingin lihat kukunya!” pintaku dengan sedikit membungkuk ke arahnya.

Huri mengangkat kedua tangannya ke arahku hingga kuku-kuku palsu yang terbuat dari emas, terlihat cantik menempel di jari-jemari kecil miliknya. “Indah sekali. Ingat Huri, jaga pemberian Nenek Ajeng baik-baik!” pintaku yang ia balas dengan senyuman bercampur anggukan kepala.

Aku kembali berdiri tegap, lalu mengajak Huri untuk berjalan sambil menyentuh punggungnya. Huri berjalan dengan sangat lamban, mungkin rok yang terbuat dari songket itu sedikit membatasi gerakannya. Aku tersenyum kecil, saat mataku itu terjatuh ke arah Julissa yang duduk sedikit menunduk di dekat Amanda dan juga Ebe.

Dia menoleh ke arahku, lalu tersenyum dengan wajah yang sedikit gusar. “Kau terlihat cantik sekali, Julissa. Adinata pasti semakin terpana saat melihatmu nanti,” ungkapku, setelah aku sendiri telah berhenti di dekatnya.

Julissa hanya tersenyum sambil beberapa kali menghentakkan sepatu yang dihiasi oleh emas yang ia kenakan. Matanya yang biru dan rambut pirangnya, terlihat sangat seiras dengan semua pernak-pernik terbuat dari emas dari pakaian pengantin yang ia kenakan. “Hiasan kepala ini berat sekali. Bibi, apa Bibi bisa sedikit mengencangkannya?” tukas Julissa kepadanya. Ajeng berjalan ke belakang tubuhnya, lalu menggerakan tangannya mengikat kembali hiasan kepala yang Julissa pakai.

Seorang perempuan berjalan masuk setelah mengetuk pintu ruangan. Perempuan itu mengatakan, bahwasanya upacara pernikahan akan segera dimulai. Ajeng yang mendengar perkataan perempuan tersebut, meminta Julissa untuk beranjak sambil tangannya membantu Julissa berdiri. Aku dan yang lainnya, berjalan mengikuti Julissa dan Ajeng dari belakang.

Selama kami berjalan menyusuri Istana, beberapa kali perempuan yang turut berjalan … Melempari beberapa kali bulir-bulir beras yang sudah diwarnai kuning. Sesekali aku akan melirik ke arah Amanda dan juga Ebe yang juga mengenakan pakaian yang sama sepertiku. Mereka terlihat cantik, terutama Ebe yang terlihat sangat anggun dengan berbagai bunga yang menempel di sangulnya.

Suara iringan musik yang awalnya samar-samar terdengar, kini semakin jelas tatkala kami semua telah berhenti di sebuah ruangan dengan pintu yang terbuka. Harum semerbak dari bunga melati yang digantung di sepanjang dinding yang ada di samping pintu, menyeruak masuk ke hidung diikuti oleh alunan musik yang mendayu-dayu ke telinga.

Aku berjalan dengan mengajak Huri, mendekati Zeki dan juga Ihsan yang berdiri di dekat Kakakku. “Kau cantik sekali,” bisiknya, saat aku sendiri telah berdiri di sampingnya.

Bibirku tersenyum seraya membenarkan Tanjak, atau topi dengan bagian depan berbentuk segitiga, terbuat dari songket yang Zeki kenakan. “Kau pun terlihat tampan, Suamiku,” Aku balas berbisik hingga dia tersenyum saat melirikku.

Aku kembali membuang pandangan ke arah Julissa yang telah duduk di samping Adinata, ketika Raja Bagaskara dan Raja Lamond memberikan sambutan kepada para tamu. Acara terus berlangsung dengan sangat khidmat, sambil berkali-kali mataku tak bisa lepas dari Julissa yang kadang kala menoleh ke arah Adinata yang ada di sampingnya. “Melihatnya seperti itu, membuatku kembali mengingat saat pertama kali bertemu di gubuk tua,” gumamku pelan, bibirku tersenyum sambil menatapnya ketika Zeki menyentuh pelan punggungku.

_____________.

Aku menatap piring milik Ihsan dan juga Huri yang telah terisi penuh oleh makanan. “Aku pikir, pengantin baru sedang menikmati waktu kebersamaan mereka,” celetuk Raja Lamond yang dibalas suara tawa oleh Raja Bagaskara.

“Kau benar. Mereka mungkin, tidak akan ikut untuk santap pagi,” sahut Raja Bagaskara, sambil menatap Raja Lamond yang duduk di sebelahnya.

“Paman, aku menunggu kedatangan Danur dan Wasfiah. Tapi sepertinya mereka tidak akan datang ke sini,” ucapku hingga membuat Raja Bagaskara menoleh.

“Kalian memberikan Kerajaan Il kepadanya, dan Il sendiri masih belum terlalu stabil. Itulah kenapa, dia tidak bisa meninggalkan Il sekarang,” ungkapnya membalas perkataanku.

“Jadi seperti itu,” sahutku dengan meletakan gelas yang baru saja diisi air oleh pelayan ke dekat Huri.

Tatapan mata kami, serempak bergerak ke arah sepasang bayangan yang berjalan masuk. Julissa yang berjalan di belakang Adinata, sesekali tertunduk malu menghindari pandangan kami semua. “Kami pikir, kalian tidak akan ikut untuk santap pagi bersama,” cetus Raja Bagaskara kepada Adinata dan Julissa yang sudah duduk berdampingan.

“Jangan mengharapkan apa pun terlebih dahulu, Ayah. Dia terlalu ketakutan, bahkan sebelum sempat aku mengucapkan sesuatu semalam,” gerutu Adinata, dia mengangkat tangan kirinya hingga pelayan yang membungkuk di sampingnya berhenti menuangkan air untuknya.

Aku melirik ke arah Julissa sambil menggigit kuat bibirku. Aku tidak menyangka, jika dia akan menanggapi setiap perkataanku dengan serius. “Tolong, Hime-sama, berikan penjelasan kepadanya, karena dia akan lebih mendengarkanmu dibandingkanku,” sahut Adinata dengan membuang pandangannya kepadaku.

“Baik, aku akan melakukannya,” jawabku pelan sambil membuang lirikan mataku sedikit dari Zeki yang menatap.

“Raja Bagaskara, Raja Lamond, kami kemungkinan akan melanjutkan perjalanan secepat mungkin bersama Aydin,” tukas Haruki kepada mereka berdua.

“Aydin, apa kau setuju untuk mengantar kami?” tanyaku seraya menoleh langsung kepadanya yang duduk berpangku wajah pada meja di hadapannya.

Aydin hanya berdeham tanpa membalas tatapanku, “aku harus melakukannya, atau nyawaku dan nyawa anak buahku akan terancam,” jawabnya malas diikuti helaan napas darinya yang keluar.

“Kami akan pergi mengikuti perjalanan pulang Raja Lamond. Jadi, agar kami bisa bersiap, kami harus mengetahui kapan beliau ingin kembali,” sahut Haruki, berusaha memecah keheningan yang ada di antara kami.

“Ayah, apa kita akan pergi lagi?” tukas Takumi, diikuti kepalanya yang mendongak menatapi Ayahnya.

Izumi mengangguk, menjawab pertanyaan Takumi, “kau lihat Paman yang ada di sana,” ungkap Izumi seraya menunjuk ke arah Aydin, “Paman itu, memiliki sebuah kapal besar yang bisa mengapung di atas air. Kita, akan mengarungi sungai lalu berlanjut mengarungi lautan, setelah pulang dari sini dengan menumpang di kapal Paman tersebut,” sambungnya, hingga Takumi sendiri dengan cepat menoleh ke arah Aydin.

“Apa Paman tersebut benar-benar sehebat itu, Ayah?” sahut Huri yang menimpali perkataan Izumi.

“Kenapa kau justru bertanya kepadanya? Dia tidak tahu apa-apa mengenai hal ini! Aku, memang sehebat itu … Kalian,” ungkap Aydin seraya menunjuk ke arah anak-anak bergantian, “akan beralih mengagumiku dibanding Ayah-ayah kalian nanti, saat aku sudah mengajak kalian naik ke atas kapalku.”

“Paman Aydin memang menakjubkan. Selama bersamanya, kalian tidak akan tersesat di tengah lautan. Makanlah yang banyak terlebih dahulu, agar nanti kalian bisa cepat tumbuh besar dan bisa sehebat dia. Dan untukmu, Aydin, terima kasih banyak karena sudah membantu kami,” ungkapku sambil tersenyum membalas tatapannya.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang