Aku masih terdiam, berdiri menatapi angin milik Kei yang sekarang telah menjauh selepas menurunkanku kembali di Ibukota Juste. Tarikan napasku kian dalam, disaat aku memutuskan untuk berjalan … Mencari keberadaan Ebe, Sabra dan juga Bernice di tengah-tengah reruntuhan.
Ibukota Juste yang sebelumnya aku tinggalkan selama beberapa saat. Kini telah hancur hampir tak bersisa … Memang benar, aku sendirilah yang memerintahkan Kei untuk menghancurkan Kerajaan ini dengan angin miliknya. Anak-anak yang diculik telah ditemukan … Aku tidak memiliki lagi alasan untuk menahan diri.
Kutarik penutup kepala pada jubahku, dengan kedua kaki yang terus saja berjalan mengikuti sihir Lux yang menuntun di kegelapan. Suara tangisan, suara jeritan, pekikan meminta tolong … Aku mengabaikan semua itu.
Saat berjalan, mataku akan diam-diam melirik pada beberapa Kesatria yang tengah berlari tak tentu arah, hanya untuk menyelematkan mereka-mereka yang bernasib menyedihkan.
Aku sedikit menyeringai tatkala bayangan mereka bertiga yang sudah sedari tadi aku cari, akhirnya terlihat. Kedua kakiku berlari mendekati mereka disaat Ebe yang mungkin merasakan kehadiran sihirku, beranjak lalu berbalik menatapku. “Apa kalian baik-baik saja?” tanyaku sambil menatap satu per satu mereka yang terlihat kusut oleh beberapa debu menempel.
“Ada apa?” sahutku kembali ketika pertanyaanku tak kunjung mendapat jawaban.
“Jika saja aku tidak merasakan keanehan disaat sebuah sihir kuat tiba-tiba datang … Mungkin kami semua tidak akan selamat karena terlambat untuk keluar dari penginapan!” Ebe menggerutu sambil memeluk barang-barang milikku yang sempat kutinggalkan.
“Setidaknya, ceritakan kepada kami apa yang sebenarnya terjadi?” sambungnya dengan kembali menoleh padaku.
Aku menghela napas sambil melepaskan semua peralatan hingga jubah di tubuhku ke tanah, “anak-anak yang diculik sudah berhasil diselamatkan,” ungkapku seraya duduk bergabung bersama mereka.
Aku masih belum melanjutkan kata-kata disaat tanganku melempar pedang yang ada di dekatku kepada Bernice, “aku ingin mencari tahu, rahasia-rahasia yang mungkin disembunyikan oleh mereka sebelum Kerajaan ini benar-benar hancur. Aku akan menjelaskannya … Maksud dari rencanaku ini. Jadi Bernice, lubangi punggungku menggunakan pedang tersebut!” pintaku hingga mata mereka segera beralih untuk menatapku.
____________.
Mataku yang sedikit terbuka itu, memperlihatkan bayangan samar-samar Ebe. Kugigit kuat bibirku ketika rasa perih nan menyakitkan di punggung kembali mencuat. Bernice melukai punggungku, menyesuaikan perintah yang aku berikan dengan kami sekarang … Bergegas untuk mendekati Istana yang memang sengaja kubiarkan tak tersentuh oleh angin.
Aku mencoba untuk memastikan apa yang ada di hadapan kami, tatkala Bernice yang membawaku di punggungnya itu tiba-tiba berhenti. Laki-laki berkepala botak dengan tubuh besar itu, berjalan santai mendekati kami walau Sabra dan juga Ebe telah mengacungkan pedang di masing-masing tangan mereka. “Aku tidak pernah mendapat laporan, jika Putri sendiri yang akan langsung lari ke sini,” ucap laki-laki tersebut dengan terus saja berjalan.
Keningku mengerut, mataku tak bisa dilepaskan dari sosok laki-laki di hadapanku ini, ketika dia menghentikan langkahnya lalu diam berdiri di depan kami tanpa melakukan apa pun, “siapa kau?” tanyaku yang hampir tak terucap oleh rasa sakit yang menyelimuti.
“Apa yang dilakukan seorang Putri di sini? Aku memberikan laporan agar Kapten mengirim pasukan untuk menyerang Kerajaan ini … Apa yang ingin kau lakukan di sini tanpa membawa pasukan, Hime-Sama?”
Senyum di bibirku mencuat setelah mendengarkan ucapannya, “apa kau Osamu? Seseorang yang dikatakan Daisuke sebagai mata-mata yang memberikannya informasi mengenai Kerajaan ini kepadanya?”
Aku menghela napas, oleh perlakuannya yang hanya diam, tak menjawab pertanyaanku, “wakil kapten Osamu,” ungkapku kepadanya yang masih sama seperti sebelumnya, “aku diperintah untuk menghancurkan Kerajaan ini. Jika kau berada di pihak Sora, maka dengarkan perintahku!”
Kuangkat tangan kiriku hingga menjulur, melewati pundak Bernice, “gendong dan bawa aku ke Istana! Aku harus menyelesaikan tugas terakhirku sebelum Kerajaan ini hancur,” perintahku kepada laki-laki tadi yang masih diam tak bergerak dari tempatnya berdiri.
______________.
Aku kembali membuka mata disaat argumen terdengar mengelilingi. “Yang Mulia tidak memberikan izin untuk siapa pun mendatangi Istana!” suara dari seorang laki-laki yang tengah beradu pendapat dengan Ebe, mengusik telinga.
“Putri kami sedang terluka! Kami datang hanya ingin meminta tolong kepada Raja agar dapat menolongnya! Raja sendiri yang mengizinkan kami datang ke Istana kapan pun!” Ebe balas membentak laki-laki tersebut dengan kata-kata yang telah sebelumnya aku ajarkan.
Aku menghela napas dengan kepala yang semakin bersandar di punggung Osamu. Napasku, sekuat mungkin kuatur walau perseteruan di antara Ebe, Sabra, dan Bernice menanggapi Kesatria yang ada di hadapan kami benar-benar menganggu. “Sebenarnya, apa yang ingin kau capai, Hime-Sama?” bisikan Osamu yang menggendongku, membuat mataku beralih melirik padanya.
“Aku hanya tidak ingin dicurigai sebagai penyebab bencana yang akan menimpa mereka. Kerajaan ini membuatku tertarik … Aku benar-benar ingin mengetahui setiap seluk-beluk mereka. Memasuki Istana, merupakan tujuan terbesarku sambil dengan perlahan … Aku menghancurkan Kerajaan ini tanpa mereka menyadarinya,” sahutku yang juga berbisik kepadanya.
“Tapi yang kau lakukan sekarang ini terlihat seperti tindakan yang sia-sia … Walau bagaimana pun, kau tidak memperlihatkan tanda-tanda akan memasuki Istana.”
Aku tersenyum kecil setelah sindiran darinya kembali terdengar, “kau tenang saja. Hewan-hewanku … Akan memberikan kita jalan masuk ke sana. Hal yang perlu kau lakukan hanyalah, tunjukkan kesetianmu dalam melayaniku, Osamu!”
Kata-kataku berhenti, bersamaan dengan perdebatan mereka tatkala gerbang yang ada di hadapan kami itu terbuka dari dalam. “Aku menyuruh hewan-hewanku, untuk menyebarkan desas-desus keberadaan kita kepada mereka yang ada di dalam Istana. Kabar bahwa aku terluka dan tidak diperbolehkan masuk … Aku penasaran, seperti apa mereka akan menanggapinya,” lanjutku berbisik dengan terus menjatuhkan pandangan ke arah gerbang tadi.
Mataku kembali terpejam setelah suara bentakan dari suara laki-laki yang sudah aku kenal, mencuat di telinga. “Pangeran, mohon … Tolong Putri Takaoka Sachi. Punggungnya terluka dan darah tidak berhenti keluar, kalau dibiarkan … Dia, dia,” suara tangis Ebe turut menyertai bentakan yang sebelumnya terdengar.
Bagus sekali, Ebe! Kau benar-benar melaksanakan perintahku dengan baik.
Aku berpura-pura batuk, untuk mendukung tangisan Ebe. Mataku yang tertutup itu, kubuka dengan sangat perlahan disaat sentuhan kurasakan membelai lembut pipiku, “Var … Tan,” ucapku tersengal mengucapkan namanya.
Ekspresinya yang menatapku itu, berubah dengan tiba-tiba, “apa yang kalian tunggu! Bawa mereka masuk ke dalam dan panggilkan aku Tabib Terbaik untuk mengobatinya! Jika aku tidak mendapatkannya … Akan aku pastikan, Robson akan membuat kalian rata dengan tanah!”
Aku membuka lagi mataku disaat Osamu yang menggendongku mulai melanjutkan langkahnya. Dia yang menggendongku itu, kian membawaku semakin dalam memasuki Istana. “Bawa dia masuk ke dalam!” perintah dari Vartan kembali terdengar dikala kami telah cukup jauh berjalan memutari Istana.
Senyum di bibirku muncul sekali lagi, “kerja bagus karena sudah berhasil memancingnya. Sekarang, cari apa pun yang mereka sembunyikan, lalu laporkan semuanya kepadaku!” bisikku menggunakan Bahasa Inggris,dengan pandangan yang terjatuh pada Leshy yang menyamar menjadi seorang pelayan di depan pintu kamar yang baru saja kami lewati.
![](https://img.wattpad.com/cover/255183933-288-k758823.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...