Chapter DCCXVI

1.9K 382 12
                                    

Aku menghela napas sambil melepaskan genggaman tanganku padanya, “aku tidak akan memaksamu, tapi pikirkan semuanya baik-baik karena kesempatan seperti ini tidak akan datang untuk yang kedua kalinya. Mungkin, setelah mereka semua tahu bahwa kau sudah bisa melihat, beberapa laki-laki akan berbondong-bondong mendekatimu karena jujur … Kau terlihat cantik,” ungkapku yang lagi-lagi tersenyum untuk yang kesekian kalinya.

“Namun Tuya, memilih seseorang yang hanya melihat kelebihan kita dibanding kelemahan kita, tidak akan membuatmu merasa bahagia. Pasangan, berartikan saling memenuhi satu sama lain, maksudku … Kelebihan yang kau miliki dapat menutupi kelemahan pasanganmu, dan begitu pula sebaliknya. Kau akan mengerti dengan apa yang aku maksudkan ini, saat kau sudah memilih seorang laki-laki yang tepat untuk menjadi pasanganmu.”

Kepalaku mendongak dengan embusan napas yang turut keluar mengikutinya, “kita harus segera kembali sebelum malam tiba. Aku paham kalau mata kalian bisa melihat dengan jelas saat malam, tapi berjalan di malam hari … Sedikit membuatku tidak nyaman,” sambungku dengan tangan kanan yang menjulur ke arahnya.

Kugenggam erat tangannya yang menerima ajakanku, “wajahku dan wajah Ryuzaki terlihat sama. Aku terkejut, saat kau bisa langsung mengenaliku,” ungkapku ketika kami berdua telah berjalan beriringan, mengikuti Uki yang terbang di depan kami.
 
“Wajah kalian memanglah sama, tapi kalian tetaplah orang yang berbeda,” jawabnya singkat dengan wajah tertunduk yang terlihat enggan untuk terangkat.

Kami terus berjalan, dengan aku yang menuntunnya di depan. Sedikit kata-kata pun,  tidak keluar dari bibir kami berdua, saat kami sudah berjalan menjauhi pepohonan rimbun yang kami kunjungi sebelumnya. “Ryu!” Langkah kakiku tiba-tiba berhenti dengan tangan yang ditarik ke belakang, saat aku hendak melangkah mendekati Ryuzaki yang tengah membangun sebuah tenda dengan Izumi, Tsubaru dan juga Tatsuya yang membantunya.

Wajahku menoleh ke arah Tuya yang rupanya telah menatapku, “dengarkan aku, Tuya! Aku paham jika kau masih belum berani menemui Adikku, tapi satu hal yang perlu kau ketahui … Kami tidak bisa berlama-lama di sini! Masih banyak hal yang harus kami lakukan, dan jika kau menyia-nyiakan kesempatan ini … Jangan berharap, kesempatan yang sama akan menemuimu lagi!” ancamku dengan tak mengalihkan tatapan darinya.

Lirikan mataku beralih kepada Ryuzaki yang sudah berhenti tepat di dekat kami berdua. “Ada apa? Apa kalian, membutuhkan sesuatu?” ucapnya, sambil sesekali mencuri pandang kepada Tuya yang masih mengunci bibirnya.

Kulepaskan genggaman tanganku, “antarkan dia ke tenda miliknya! Aku lelah, aku ingin beristirahat, dan yang lebih penting … Ada sesuatu yang harus aku bicarakan pada Tsubaru,” tuturku seraya melangkah meninggalkan mereka berdua begitu saja.

Aku sesekali akan berhenti lalu menoleh ke arah mereka berdua yang masih sama-sama terdiam, tak beranjak sama sekali dari tempat mereka berdua berdiri. “Kau benar-benar berusaha keras,” tukas Izumi, ketika Ryuzaki dan juga Tuya berjalan beriringan.

Aku menghela napas sambil menatap Kakakku itu kembali, “setidaknya Ryuzaki lebih bisa memahami perasaannya sendiri. Dibanding seseorang, yang harus berulang-ulang kami jelaskan agar tersadar dengan perasaan mi-”

Aku memukul beberapa kali lengan Izumi yang melingkari leherku, “nii-chan, apa kau ingin membunuh adikmu sendiri?” ucapku sambil berusaha mendongak menatapi wajahnya.

“Aku mengenal betul siapa orang yang kau maksudkan itu. Bagus sekali … Bagus sekali, semakin lama kata-katamu itu semakin terasah dengan baik,” geramnya, dengan kedua alis yang sedikit terangkat menatapku.

“Ratu!”

Suara laki-laki yang sudah aku kenal baik itu, mau tak mau membuatku tanpa sadar menoleh ke arahnya. “Tsu nii-chan,” ucapku sembari berjalan mendekatinya saat Izumi sendiri telah melepaskan rangkulan tangannya di leherku.

“Tidak perlu melakukannya! Angkat kepalamu!”

Tsubaru melakukan perintahku tanpa banyak berbicara, “Tsu nii-chan, ada yang ingin aku bicarakan … Aku, memerlukan bantuan darimu,” ucapku, hingga keningnya yang mengarah kepadaku itu berkerut.

Aku berbalik, melangkah mendekati salah satu pohon lalu duduk dengan menyandarkan punggungku di sana. “Duduklah, Tsu nii-chan!” pintaku, seraya mendongak sambil memukul-mukul permukaan tanah, memintanya yang tengah berdiri di dekatku itu untuk duduk.

Kutekuk kedua kakiku, dengan wajah yang bersandar di kedua kakiku tadi, “Tsu nii-chan, Huri … Sudah hampir menginjak lima tahun sekarang,” ungkapku seraya memeluk erat kedua kakiku yang bertekuk tadi sambil terus menjatuhkan pandangan ke arah Tsubaru.

“Selain Huri, aku dan Zeki mengangkat seorang anak laki-laki menjadi Putra kami. Kami memberikannya nama Ihsan … Tsu nii-chan, bantu aku untuk mengajari mereka berdua Bahasa Kuno!” pintaku yang membuat kedua mata Tsubaru sedikit membelalak.

“Bahasa Kuno?”

Kepalaku mengangguk pelan menanggapi ucapannya, “kami, ingin melanjutkan perjalanan dan meninggalkan mereka di tempat yang aman. Mereka akan tinggal di Dunia Elf, dan aku ingin … Tsu nii-chan yang merawat dan mengajari mereka apa pun yang bisa mereka pelajari.”

Tubuhnya membungkuk dengan sebelah tangan bersilang di dada, “tentu Ratu. Apa pun perintah darimu.” jawabnya singkat, sambil terus menunduk.

“Ihsan, sikapnya terlihat dewasa walau usia di antara mereka tidak terpaut jauh. Walau dia terluka, dia akan berpura-pura tidak terjadi apa pun hanya untuk membuat orang di sekitarnya tak khawatir. Sedang Huri, dia sangat mudah menangis, walau untuk hal kecil sekali pun. Mereka mungkin akan merepotkanmu-”

“Mereka tidak akan merepotkanku, karena Ibu mereka justru lebih merepotkan dahulu. Terima kasih, karena sudah memberikan kepercayaan ini kepadaku … Aku bersumpah, akan menjaga dan merawat mereka baik-baik,” tuturnya memotong ucapanku sebelum aku sempat menyelesaikannya.

Bibirku tersenyum menatapinya, “apa kau menyimpan makanan, Tsu nii-chan? Burung Bakar, sepertinya cukup untuk memenuhi perutku,” ungkapku, sambil membuang tatapan ke langit.

Mataku kembali terjatuh ke arahnya yang beranjak dengan senyum kecil di ujung bibir, “aku akan menyiapkan makan malam segera,” sahutnya seraya melangkah meninggalkanku sendirian.

“Zeki pasti kewalahan menanggapi mereka berdua, saat mereka tahu aku pergi begitu saja tanpa memberitahu mereka, “ gumamku, dengan kembali bersandar di batang pohon.

Kuangkat kedua tangan, menjauhkannya sedikit dari pahaku saat Uki terbang mendekat. Kepalaku tertunduk, dengan tangan mengusap kepala Uki yang telah duduk di pangkuanku. “Uki, apa kau bisa membantuku menjaga Huri di Dunia Elf?” gumamku pelan, sambil terus melemparkan pandangan ke depan.

“Apa itu sebuah perintah?”

“Itu sebuah perintah!” tukasku, dengan tetap membelai kepalanya.

“Baiklah. Aku akan menjaganya dengan baik. Tidak akan kubiarkan, hal buruk terjadi kepadanya,” ucapnya yang bersuara di dalam kepalaku.

Kutarik napas sedalam mungkin, dengan kedua mata yang terus menatapi Izumi dan juga Tatsuya, yang tengah saling membahu membangun tenda kedua. “Aku berharap ini semua berakhir baik. Aku berharap, tak lagi terjadi hal buruk di antara kami,” Aku kembali bergumam pelan, dengan mata yang kembali tertunduk menatap Uki.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang