“Ayah sudah membicarakan hal ini kepada suami dan kedua kakakmu. Mereka, menyetujui apa yang Ayah katakan,” tutur Ayah yang membuatku dengan cepat menoleh pada Zeki.
Tanganku mencengkeram pundak kanannya, “kau menyetujuinya? Kau setuju untuk mengirimkan mereka pergi bertunangan?” tanyaku, sesaat dia balas menoleh.
“Kau mendengar alasan yang Ayah berikan, bukan? Karena itu, aku menerimanya. Ini semua dilakukan semata-mata hanya untuk kebaikan mereka,” jawabnya sambil membuang pandangannya dariku.
“Apa yang kalian pikirkan? Kalian laki-laki tidak tahu rasa sakitnya besi panas membakar kulit saat prosesi pertunangan!”
“Sachi! Jangan berteriak di depan Ayahmu!”
“Ibu!” ungkapku sambil mengangkat tanganku ke arahnya, “Ibu tidak tahu, seperti apa rasa sakit yang diderita anak perempuan saat mereka bertunangan. Jadi aku mohon, Ibu jangan ikut campur untuk masalah ini!” sambungku, yang mengucapkannya dengan suara gemetar menahan amarah.
“Sachi!”
“Apa?!” sahutku membalas bentakan Izumi, “apa kau ingin mengatakan, tidak seharusnya aku mengucapkan hal itu? Anakmu laki-laki, dia paling hanya akan dilukai sedikit untuk darahnya diminum. Namun, salah satu anakku perempuan … Apa kau pikir, aku akan membiarkan tubuhnya ditempeli besi panas seperti yang pernah aku rasakan dulu?!”
“Jika kau tidak pernah merasakan, sakitnya melahirkan seorang anak. Tutup mulutmu saat ini juga dan jangan ucapkan apa pun lagi, Kakak!” sambungku dengan kali ini mengarahkan jari telunjuk kepadanya.
“Aku memiliki seorang anak perempuan-”
Haruki menghentikan ucapannya tatkala decakan dari lidahku menimpali perkataannya. “Apa yang bisa aku harapkan, pada seorang kakak yang sering kali hampir membuatku celaka saat dia berkeinginan kuat untuk mencapai sesuatu.”
“Apa kau sekarang sudah selesai berbicara?”
Kata-kata singkat dari Zeki membuat mataku teralihkan. “Apa kau sekali saja tidak bisa mendengarkan keputusanku? Aku kepala keluarga dan aku yang berhak mengambil keputusan untuk keluarga kita!” sambungnya, yang membuat kedua mataku membesar tatkala dia meninggikan suaranya.
“Kalian,” ungkapku sambil berusaha mengatur napas, “kalian membuat keputusan tanpa mendiskusikannya kepadaku terlebih dahulu. Kalian pikir aku ini apa? Seorang perempuan yang hanya bertugas untuk melahirkan seorang pewaris, kah? Seorang perempuan yang tidak perlu mengetahui, apa yang akan terjadi pada hidup anakku?!”
“Aku Ibu mereka. Apa yang aku makan, itu juga yang dia makan saat masih berada di dalam kandunganku. Apa yang masuk ke dalam tubuhku, itu juga yang mereka santap saat aku menyusui mereka. Apa aku tidak boleh ikut campur dalam kehidupan anakku setelah apa yang terjadi?”
“Jangan berpikir untuk menyentuh anakku, atau bahkan menyakiti mereka selama aku masih hidup. Itu jika kalian semua masih berharap untuk bisa melihat matahari lagi, ancaman yang sama juga berlaku untukmu, Zeki!”
Aku beranjak, sambil menunduk kepada Ihsan dan juga Huri yang mendongakkan kepalanya menatapku, “kita tidak perlu membakar diri hanya untuk mengetahui seberapa panasnya api, Ayah. Aku tidak mengerti bagaimana cara kalian memutuskan ini, tapi yang pasti … Kalian sudah membuatku kecewa.”
“Huri! Ihsan! Berdirilah! Kita pergi dari sini!” sambungku dengan meraih kedua tangan mereka bergantian.
“Pergilah! Kau memang selalu seperti itu!” bentaknya, aku masih terdiam menatapinya yang sama sekali tidak menoleh padaku.
“Sachi!” Langkahku yang membawa mereka berdua, tiba-tiba berhenti oleh suara panggilan dari Amanda.
Aku menoleh, memandangnya yang telah berjalan ke arahku sambil menggandeng Miyu dan Hikaru di sampingnya. “Aku tahu seperti apa sakitnya, saat besi panas menempel di tubuhmu terutama disaat laki-laki yang seharusnya menjadi tunanganmu tidak datang tanpa memberikan kabar apa pun. Aku ikut denganmu! Karena mustahil untukku mengirimkan Miyu ataupun Hikaru untuk pergi ke tradisi bodoh itu,” ucapnya, setelah langkahnya berhenti tepat di depanku.
“Aku memerintahkanmu untuk tetap di sini!”
Amanda tertunduk sebelum dia menarik napas dalam, “aku memanglah Ibu dari Anak-anakmu, Pangeran Takaoka Haruki. Tapi kita, tidak pernah terikat oleh sebuah janji seperti pernikahan, jadi aku tidak berkewajiban untuk mendengarkan setiap perkataanmu dan perkataan mereka.”
“Hikaru, jika kau ingin ikut bersama Ayahmu. Ibu tidak akan melarangmu,” sambungnya tertunduk memandang Putranya. Hikaru menggelengkan kepalanya dengan tangan yang balas menggenggam erat tangan Amanda.
Mataku beralih pada Ebe yang telah beranjak sambil memegang kuat tangan Takumi, “aku tidak tahu apa yang terjadi di sini. Tapi jika kalian ingin menyakiti anakku … Aku tidak akan diam saja menerimanya. Kita pergi, Takumi! Rasanya sangat sulit untuk Ibu berada di sini,” ucap Ebe sembari menarik Takumi menjauhi mereka.
“Aku mempercayai Sachi lebih dari siapa pun. Jika apa yang ia katakan itu benar ataupun salah, aku akan tetap mengikutinya,” sambungnya disaat dia sudah berdiri di hadapanku.
“Terima kasih,” balasku setengah berbisik setelah Ebe memberikan senyumannya kepadaku.
Tubuhku kembali berbalik, membawa pergi mereka untuk menjauhi tempat itu. Aku enggan berbalik, kedua kakiku terus saja berjalan maju hingga tanpa sadar … Kami sudah berdiri di tempat yang gelap, jauh dari obor-obor yang ditanam di sekitar tempat yang ditinggali penduduk. “Sachi?” Aku sedikit terperanjat disaat suara Amanda terdengar diikuti sentuhan tiba-tiba yang aku rasakan di pundakku.
“Maafkan aku. Tanpa sadar, aku sudah membawa kalian ke sini.”
Bibirku terdiam dengan cukup lama setelah menyelesaikan kata-kata yang aku ucapkan, “kenapa kau selalu menghilang untuk menyelesaikan masalah … Zeki mengatakan hal tersebut siang tadi disaat aku pergi sebentar untuk mengunjungi Ihsan dan juga Huri. Dia terlihat tenang dengan duduk berceloteh bersama Paman seakan tidak terjadi apa pun dan seakan aku akan kembali kepadanya apa pun yang terjadi.”
“Aku tahu, aku seharusnya tidak mengatakan hal ini,” ungkapku kembali dengan kepala tertunduk, “aku tidak peduli jika mereka mengambil sebuah keputusan sepihak untuk hidupku. Walau sering beradu pendapat … Aku masih selalu dan tetap menjalankan semua permintaan dan perintah mereka. Tapi kali ini aku benar-benar tidak bisa memaafkan mereka-”
“Aku akan pergi membawa anak-anakku. Jauh, jauh sekali hingga mereka tidak bisa menemukannya. Hatiku tidak tenang … Aku merasa, bahaya mengintai anak-anakku jika aku membiarkan mereka melakukan sesuatu sekehendak hati mereka.”
“Jadi kau berniat ingin meninggalkan Zeki, dan menjauhkannya dari mereka?”
Kutarik napas sedalam mungkin tatkala kata-kata dari Amanda memotong ucapanku, “saat kau mengucapkan kata-kata sebelumnya pada Kakakku. Itu juga memiliki arti yang sama, bukan, Kak?” ungkapku yang membuatnya segera menunduk setelah mendengarkan apa yang aku katakan.
Aku terduduk, dengan air mata yang pecah di hadapan kedua anakku, “bahkan, walau hampir lima tahun berlalu, rasa sakit disaat melahirkan masih tersimpan jelas di dalam kepalaku. Rasa takut disaat aku melahirkan seorang diri, masih membuat tubuhku bergidik-”
“Jangan terluka kalian berdua! Ibu,” isakanku terhenti sambil menatap mereka dengan pandanganku yang mengabur, “Ibu akan melakukan apa pun untuk melindungi kalian, karena kalian segalanya untuk Ibu.”
Aku yang masih terisak itu, menoleh kepada Amanda dan juga Ebe. “Aku iri kepadamu, Sachi. Aku tidak bisa sekuat dirimu untuk melindungi anak-anakku sendiri. Aku benar-benar tidak sanggup, jika mimpi buruk di kehidupan lamaku terulang kembali,” sahut Amanda yang ikut menangis dengan wajah tertunduk.
“Kalau kalian merasa tidak berguna, lalu bagaimana denganku?” Ebe yang turut terisak, menimpali perkataan Amanda, “jika bukan karena bantuan kalian. Aku mungkin tidak akan bisa membesarkan Takumi seorang diri.”
“Dan kenapa kau ikut menangis?”
“Itu karena kalian menangis, aku jadi tidak tahan untuk ikut menangis,” sahutnya terisak sambil berjalan mendekat lalu memelukku.
“Aku akan terus berlatih agar tubuhku semakin kuat untuk mendukungmu.”
Aku menarik napas panjang sebelum mengembuskannya dengan pelan, “kau harus kembali, Ebe. Bagaimana dengan kutukan itu kalau kau berpisah dari Kakakku?” tukasku, dengan kedua tangan mengusap mata.
“Aku dan Kakakmu sudah menikah, jadi kutukan itu telah sirna. Aku sekarang hanya menginginkan kebahagiaan Takumi … Kebahagiaanku, bukanlah hal yang penting lagi sekarang,” ucap Ebe, suaranya yang keluar itu kian gemetar tatkala ia menjatuhkan pandangan pada Putranya.
![](https://img.wattpad.com/cover/255183933-288-k758823.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
ФэнтезиKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...