76. Tempat Singgah

44 16 6
                                    

Mereka berdua bergabung bersama orang-orang itu. Beberapa saat berjalan, sampailah mereka semua pada tempat yang sangat luas. Zhura melongo, tampak padang rumput membentang dengan banyak yurt berbahan kulit didirikan. Yurt tersebut dibangun berjejer membentuk pemukiman penduduk yang sangat rapi. Zhura melihat ke sekitar. Jika dilihat lebih baik, situasi tempat ini mirip seperti perkemahan luar biasa besar yang berisi ratusan peserta.

Angin siang bertiup, desirannya mengibarkan kanopi di depan tenda-tenda besar. Para pemukim yang melihat parade itu membuat raut penasaran. Lain halnya dengan anak-anak kecil di penjuru perkemahan yang memilih acuh dan asyik bermain kejar-kejaran. Ketika orang-orang di belakang menyingkir, pria tua pemimpin membawa Azhara dan Zhura pada yurt berwarna putih. Di depan pintu yurt tersebut, ada seorang wanita tua tersenyum ramah.

"Selamat datang." Dia menyambut Zhura dan Azhara, lalu membawa mereka semua ke dalam. Nenek tua itu menyilakan duduk pada karpet bermotif indah pada mereka.

"Terima kasih, Nyonya," ujar Zhura.

Nenek tua itu menggeleng, "Jangan sungkan, aku yang seharusnya berterima kasih. Sungguh, aku sangat bersyukur kalian berdua sudah menyelamatkan cucuku." Dia memeluk anak kecil yang Zhura selamatkan dari serangan serigala-serigala di hutan tadi.

"Saya hanya melakukan sebisa saya." Gadis bermata hijau itu menunduk, menunjukkan rasa hormat.

"Ah, jujur saja kau terlihat seperti gadis biasa, aku tidak menyangka kau bisa menghadapi serigala-serigala itu." Ada sebuah kekaguman di mata nenek tua itu.

"Itu karena saya adalah mantan anggota biro keamanan desa," timpal Zhura mengumbar senyum tipis, lalu berusaha mengalihkan topik. Dialihkan pandangannya pada Azhara yang sejak tadi hanya bergeming. "Jika tidak ada dia, saya mungkin tidak akan selamat. Dia menyelamatkan saya dari makhluk-makhluk itu. Saya sungguh berterima kasih karena Anda mau membantu kami."

"Ah, benar! Lebih baik kita rawat dulu luka mereka."

Si pria tua menyarankan. Mereka meminta luka Azhara untuk diperiksa. Ruangan pengobatan ada di ruangan yang lebih steril, jadi tempatnya tersembunyi. Nenek Manira mengajak Azhara ke ruangan pengobatan, tapi pemuda itu menolaknya. Azhara berkata jika dia tidak akan pergi ke mana pun tanpa Zhura. Alhasil, Zhura tetap membersamainya bahkan sampai nenek itu selesai membalut lengan Azhara dengan perban.

"Lukanya sudah tertutup dengan baik. Pastikan kau jangan biarkan tanganmu itu terkena air dalam dua hari," ujar nenek itu. Ia membereskan alat-alat pengobatan seraya memperhatikan kedua orang asing di depannya. "Sebelumnya aku benar-benar hampir mati saat mendengar cucuku dikejar makhluk buas. Sungguh, tidak ada kata yang bisa kusampaikan untuk menggambarkan seberapa besar rasa bahagiaku. Kami berhutang budi sangat besar pada kalian."

Si pria tua mengangguk, ia menatap cucunya yang kini duduk di pangkuannya. "Dia benar, kami sudah berhutang budi yang sangat besar. La, adalah cucu kami satu-satunya. Bagiku, dia sangat penting bahkan melebihi nyawaku sendiri. Katakan, bagaimana kami bisa membalas kebaikan kalian?"

"Kalian sudah sangat baik dengan merawat luka kami. Itu sudah lebih dari cukup." Zhura menarik simpul di bibirnya. Ia merasa lebih baik saat melihat tangan Azhara sudah dirawat.

"Ngomong-ngomong namaku Manira. Dan dia suamiku namanya Maral. Seperti yang kalian lihat saat kemari, tempat ini adalah pemukiman suku Wiyyam. Suku kami adalah penduduk nomaden. Kami sering berpindah tempat tinggal dari satu wilayah ke wilayah lain. Meskipun tidak ada hubungan darah, tapi kami sudah bersama sejak dulu. Bisa dibilang kami adalah keluarga besar," jelas nenek tua itu.

"Ah, begitu." Zhura mengangguk, sementara Azhara bahkan tidak merespon.

"Benar juga, sebelumnya kau bilang bahwa kalian adalah pengembara. Kalian pasti punya kampung halaman, 'kan?" tanya kakek Maral.

Zhura mengambil napas panjang, sesaat ia membawa pandangannya pada dinding kulit yurt yang menaungi mereka. Di atas ranjang, Azhara hanya memejamkan matanya, bersiap untuk mendengarkan sebuah kebohongan lain.

"Namaku Lailla dan ini adalah kakakku Vidar. Kami adalah penduduk desa kecil di selatan Silvermist. Kedua orang tua kami pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Kalian pasti paham bahwa tidak ada yang bisa diandalkan sebagai mata pencaharian di desa kecil, 'kan?"

Nenek Manira dan Kakek Maral tampak mengangguk. "Kalau boleh tahu, apa tujuan kalian mengembara sejauh ini?"

Zhura mengusap dadanya seraya membuat ekspresi wajah sedih, "Kami kehilangan tempat tinggal saat badai besar menerpa desa. Beberapa warga yang kaya membuat kembali rumahnya, sementara warga yang tidak mampu seperti kami harus berjuang mencari tempat lain untuk menetap. Sebenarnya kami mempunyai beberapa kerabat yang menawarkan bantuan, tapi tentu saja kami tidak bisa tinggal dengan mereka lebih lama."

"Itu alasan kalian berdua pergi sejauh ini?" tanya Nenek Manira.

"Benar, selain itu aku juga sedang mencari tabib yang handal untuk mengobati kakakku," jelas Zhura membuat semua orang memperhatikan Azhara. Pemuda itu sendiri memilih bungkam, membuang wajah.

"Benar juga, Tuan Vi terlihat sangat lemah dan tertutup. Kalau boleh tahu, apa yang terjadi padanya?"

Zhura menarik sudut bibirnya yang berkedut menjadi melengkung turun. "Kakakku sakit-sakitan sejak kecil. Dia mempunyai tubuh yang lemah dan tidak bisa melakukan hal-hal berat seperti pemuda seusianya. Dia tidak bisa makan makanan sembarangan, dia tidak bisa terkena sinar matahari, dia tidak bisa melihat dan bicara dengan jelas. Aku pikir akhir-akhir keadaannya semakin memburuk. Makanya kami mencari pengobatan untuknya."

"Tapi, bagaimana kalian bisa berada di hutan tadi?"

"Itu karena penjahat. Di tengah perjalanan, kami bertemu penjahat yang berusaha merampok uang kami. Beruntung kami bisa lolos, untuk menghindari mereka kami memutuskan bersembunyi di hutan." Kali ini, Zhura tidak sepenuhnya berbohong. Mereka berdua sungguh diserang orang jahat, 'kan?

"Astaga, kasian sekali. Sudah kehilangan rumah, lalu kalian masih harus berurusan dengan penjahat. Lailla, kalian terlalu muda untuk merasakan penderitaan sebesar itu," timpal Nenek Manira, alisnya turun karena terpengaruh cerita Zhura.

Decihan keluar dari bibir Azhara yang hampir sampai pada batas sabarnya karena mendengar kebohongan itu.

"Ah, kalian jangan khawatir. Para penjahat itu sebenarnya tidak menakutkan." Zhura menebar tawa untuk mencairkan suasana. Gadis itu menggenggam tangan Azhara. "Kami memang sangat kesusahan, tapi aku dan kakakku saling melengkapi. Kami tidak takut bahkan meskipun langit runtuh menimpa kami. Kami selalu menjaga satu sama. Selama kita bersama, di mana pun tempatnya maka di situlah rumah."

Semua orang terdiam, tak sanggup berkata-kata setelah mendengar penuturan itu. Bahkan meskipun matanya buta, tapi Azhara melihat dengan baik arti di balik kata-kata gadis di hadapannya. Tapi, apa yang bisa dia lakukan? Azhara sudah mempertaruhkan segalanya untuk memastikan agar Zhura baik-baik saja. Jika sampai perasaannya juga diketahui, maka pengorbanannya akan sia-sia.

"Kami sudah berhutang budi pada kalian, setidaknya harus ada sesuatu yang bisa kami lakukan." Kakek Maral berujar memecah keheningan.

"Bagaimana kalau kalian berdua tinggal di sini? Kebetulan ada yurt kosong yang tidak terpakai, kalian bisa menggunakannya sebagai tempat tinggal. Setidaknya sampai kepada Tuan Vi membaik. Hitung-hitung sebagai bentuk terima kasih kami karena kalian sudah menyelamatkan nyawa cucu kami."

"Tidak." Azhara mencengkram pergelangan tangan Zhura, lalu menggeleng.

Zhura kebingungan. Harusnya dirinya menemui Sanguina sejak kemarin dan meminta penawar racun daghain tersebut. Namun, para Shar datang dan memburunya. Ia tidak bisa mengulur waktu lebih lama. Meskipun demikian, penjahat-penjahat itu masih di luar sana. Fakta bahwa mereka tidak akan pergi kecuali Zhura benar-benar terbunuh, menciptakan satu alasan yang jelas untuknya tetap bersembunyi. Pada akhirnya tujuan mereka bukan hanya memastikan tidak ada yang bisa mendapatkan penawar racunnya, tapi melenyapkan Zhura.

Jika dirinya lenyap, maka siapa lagi yang bisa mendapatkan penawarnya?

"Kupikir, kami mungkin bisa tinggal untuk sementara waktu."

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang