131. Percaya

0 0 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.

"Zhura!"

"Lailla!"

"Zhura!"

Beberapa suara terus saja menariknya keluar dari lelap yang menghanyutkan. Dia terkesiap membuka pandangannya sebelum kemudian mengambil napas panjang mengisi oksigen sebanyak mungkin ke dalam paru-parunya. Saat itu juga, sebuah pelukan erat membawanya pada kehangatan. Di antara peluh dingin yang membasahi tubuhnya, lengan itu terulur mengusapi punggungnya dengan lembut. Zhura melihat rambut merah Valea terlihat lebih menyala jika dilihat dari dekat. Kalimat 'kau masih hidup!' terus gadis itu ucapkan dengan parau.

"Hei, kau terlalu kuat, Lailla bisa sesak napas!" Ramia duduk bersimpuh di sisi Valea dengan kening bercucuran keringat. Dia sama kacaunya dengan Valea.

"Aku ...-" Zhura mencoba mengutarakan beberapa kalimat, tapi suaranya lebih dulu tersendat karena tenggorokannya terlalu kering.

"Minumlah!" ujar Valea melepaskan pelukannya, menyodorkan sebotol air. Zhura menerimanya, dengan sedikit kepayahan diminumnya air itu habis tak bersisa. Setelah itu ia mengedarkan pandangannya melihat dinding dan langit-langit batu menaungi mereka. Di tempat itu ada banyak akar-akar kering yang mencuat dari tanah. Zhura ingin bertanya lebih di mana keberadaan mereka sekarang, tapi lagi-lagi suaranya belum siap untuk keluar.

Ramia memahami maksud tatapan bingung temannya, turut menatap sekitar dengan gusar, "Kita ada wilayah Merremia. Tinggal sedikit lagi kita akan sampai di pintu masuk dataran itu. Kami mengetahui lokasi ini lewat penerawangan Inara. Dan tempat ini sepertinya adalah gua bawah tanah. Yah, siapa yang mengira lokasimu ternyata sedikit tersembunyi dari yang kami kira."

Valea menghela napas, "Benar, tapi mereka yang membawamu sangat bodoh. Bagaimana bisa mereka mengabaikan darahmu seperti itu di jalanan? Selain memudahkan kami menemukanmu, itu juga beresiko menarik sosok lain yang lebih merepotkan."

"Makhluk itu ... aku ingat mereka ada lima. Mereka bermata merah dengan kulit hitam," jelas Zhura memaksakan suaranya keluar.

"Yah, kami tahu, mereka adalah Likan. Saat masuk ke sini, kami sempat bertarung dengan mereka, beruntung kami berhasil mengalahkannya, tapi satu berhasil kabur. Sepertinya mereka bergerak atas perintah seseorang. Daripada itu, keadaanmu juga memprihatinkan. Sejujurnya, saat melihat keadaanmu tadi, aku mengira kau sudah mati," jelas Ramia menatap kaki kanan Zhura yang telah Valea perban.

"Hei, Bodoh, jangan bilang seperti itu! Jelas-jelas dia masih hidup!" Dari ucapannya, Valea benar-benar terampil mencari musuh.

Zhura ingin bilang bahwa dia baik-baik saja, tapi sekujur tubuhku memang kesakitan.

Ramia berdecak, "Sudah kubilang aku hanya mengira saja! Aku juga tidak mau Lailla mati! Kau lihat sendiri tubuhnya penuh racun dan luka! Beruntung kami menyadari keberadaan tanaman beracun itu di tempat kau hilang, jadi Inara sigap membuat penawarnya untuk jaga-jaga. Ternyata kau memang terkena racunnya, syukurnya itu belum menyebar terlalu jauh."

"Wilayah ini adalah jalur alternatif. Sesuai namanya, Merremia, wilayah ini dipenuhi akar sihir. Seseorang bisa terjebak dalam dunia khayalan saat akar-akar itu bergerak melilit. Bahkan jika akarnya dipotong, belum tentu korbannya akan terbebas. Tapi kau bisa, entah bagaimana," ungkap Valea bangkit, menepuk-nepuk seragamnya yang kotor.

"Akar-akar sihir ini menjebak alam bawah sadar seseorang di level dasar. Sementara akar-akar itu mulai menghisap tubuh fisik si korban, tanaman itu juga mengendalikan korban dengan membuatnya percaya bahwa di dunia palsu itulah tempat asli mereka. Jadi, tubuh habis, selagi pikiran tidak sadar," jelas Ramia menyingkirkan sisa-sisa akar hasil tebasannya.

"Maaf sudah merepotkan kalian," ujar Zhura lirih.

Valea menghentikan kegiatan bersih-bersihnya dan beralih menatapnya. Gadis merah itu terlihat ragu-ragu sebelum kemudian merendahkan tubuhnya lagi. Zhura sedikit terkejut saat ia meraih kedua tangannya untuk digenggam. "Maaf. Seharusnya aku tidak mengatakan hal buruk padamu seperti kemarin. Aku sungguh-sungguh minta maaf, semua ini terjadi karena aku. Aku bisa terima jika kau marah," ujarnya.

"Valea, aku tidak marah. Kau tidak salah apapun. Ini terjadi karena aku keluar rumah pada tengah malam sendirian. Seharusnya aku lebih waspada."

Valea memukul bahunya ringan, "Tapi yang membuatmu keluar dari rumah itu aku. Jadi, ini semua salahku. Jika saja aku bisa menahan diriku waktu itu, kau mungkin tidak akan terluka seperti ini. Seharusnya aku lebih tenang dan mendengarkan penjelasanmu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaanmu saat aku mengatakan hal itu. Kau pasti sangat terluka."

"Tidak, aku baik-baik saja! Dan berhenti menyalahkan diri! Ini bukan salahmu! Tapi untuk penjelasannya aku masih tidak mempunyainya, maaf."

Valea menggeleng, mengeratkan genggaman tangannya. "Tidak perlu! Kau tidak perlu menjelaskan apapun sekarang! Apapun itu, aku akan mempercayainya. Mulai sekarang, mari saling percaya satu sama lain! Seperti kata Inara, kita adalah keluarga."

"Kau benar!"

Percakapan Zhura dan Valea mungkin akan menjadi sebuah adegan melankolis jika saja Ramia tidak memotongnya. Pemuda elf itu kini berdiri, memperhatikannya dan Valea dengan raut tak terbaca.

"Haruskah aku bilang 'ayo berangkat' sekarang?"

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang