57. Cinta dan Pengorbanan

103 29 5
                                    

Sebelah lengan Azhara berpegangan pada pilar seiring langkahnya masuk ke paviliun. Kesendirian harusnya membuat suasana tentram, tapi yang ada hanya keheningan yang mencekam. Tempat ini memuakkan, terutama karena tak ada sosok yang menyapanya seperti biasa. Pemuda perak itu berdiri di halaman belakang, menatap benda putih yang tergeletak di sudut rerumputan. Itu adalah layangan yang pernah ia terbangkan bersama gadis itu.

Bayangan Zhura datang di kepalanya, saat itu juga suaranya yang lembut terdengar, "Guru, kau tidak pernah berdoa karena kau tidak boleh menginginkan sesuatu. Tapi, di hatimu pasti ada ruang yang tersisa untuk berharap, 'kan? Layangan ini akan terbang dan menyampaikan harapan yang tidak bisa kau katakan kepada Tuhan."

Azhara meraih layangan itu, matanya bergerak ke bagian di mana ia menuliskan harapannya. Sepertinya ini sia-sia, karena pada akhirnya ia tetap melihat air mata itu mengalir. Perasaannya hancur saat memutuskan hubungan mereka, tapi Azhara tidak punya pilihan. Dia menatap telapak tangan yang ia gunakan untuk menyakiti gadis itu. Nestapa yang sejak awal ia rasakan, kini tak lagi tertahan.

Dia jatuh terduduk ketika sesak memenuhi dadanya. Azhara tidak pernah menyangka bahwa akan sebegini menyakitkan berkorban demi orang yang berharga di hidupnya. Ramia baru saja sampai, ia terkejut saat melihat keadaan tuannya. Azhara duduk bersimpuh dengan kesedihan yang tampak jelas di wajahnya, suatu pemandangan asing yang baru saja Ramia lihat setelah ribuan tahun hidup bersama dengannya.

Perasaan tersembunyi pasti terjalin di antara Putera Mahkota dan Zhura, ini menjelaskan kenapa dia sebegitu hancur. Sekarang Ramia pun paham kenapa tuannya memutuskan Zhura sebagai tersangka penyerangan. Aasannya adalah aturan hidupnya berkata bahwa mencintai berarti membunuh. Zhura sudah mengakuinya, tapi jika Azhara memilih untuk mengakuinya juga, ia hanya akan melihat Zhura dibunuh.

***

"Lukanya sangat parah, aku tidak menyangka ternyata dia mampu bertahan."

"Tidak juga." Inara menggelengkan kepalanya pada Valea. "Aku masih merasakan ketidakstabilan aliran spiritual dalam tubuhnya. Dia memang bertahan hidup, tapi juga sekarat."

Tabib Ma mengerahkan seluruh kemampuan untuk menyelamatkan Zhura. Sudah berjam-jam gadis itu tak sadarkan diri dan keadaannya terus menurun. Jika dibiarkan, nyawa Zhura akan dalam bahaya. Tabib Ma berujar, "Jarum ini terus menggerogoti jiwanya. Jika tidak ada gelang Arbutus ini, dia pasti sudah mati."

Inara dilanda panik saat ia tak bisa mentransfer kekuatan spiritualnya pada Zhura. "Kenapa tubuhnya tidak bisa menerima kekuatanku?"

Valea mencoba mengalirkan kekuatannya juga, tapi ia juga berakhir sama seperti gadis elf. "Mungkinkah Zhura menolak untuk sembuh? Apa jangan-jangan dia sudah menyerah pada hidupnya dan tidak ingin selamat?!"

"Tidak mungkin. Zhura, aku mohon kembalilah." Inara duduk di sisi pembaringan Zhura, gadis elf itu mengusap kening temannya yang sedingin es. Air mata keluar begitu deras tanda kesedihan merayapi hati Inara. Ia frustasi dan marah karena tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan Zhura.

Valea menatap gusar pemandangan di depannya. Jika Zhura sendiri sudah menyerah, maka satu-satunya jalan adalah menghilangkan penyebab jarum di jantungnya aktif. "Aku akan menghapus semua ingatannya!" ujar Valea.

Inara mengusap air matanya. "Apa kau lupa Zhura lebih memilih menerima hukuman daripada menyembunyikan perasaannya? Itu berarti dia sungguh-sungguh dengan perasaannya. Kalau kau menghapusnya, bagaimana kita menjelaskannya? Dia mungkin juga akan melupakan kita!"

"Itu tidak penting! Zhura kehilangan jantungnya karena ia mempertahankan perasaannya pada Azhara! Dan, aku tidak bisa membiarkan temanku mati begitu saja!" seru Valea.

"Tidak! Aku tidak akan membiarkan kau melakukannya! Jika Zhura memang ingin melupakan semuanya, biarkan ia melakukannya sendiri!"

"Kau ...-"

Suara ketukan pintu menghentikan perdebatan Inara dan Valea. Seorang wanita tua lain masuk ke dalam ruang rawat Zhura. Dia adalah Nyonya Li, sosok yang juga berperan mengantarkan Zhura masuk ke dunia ini.

"Kau sudah datang?" tanya Tabib Ma.

"Aku sudah mendengar kabarnya." Nyonya Li menatap wajah Zhura yang memutih pucat. "Tidak kusangka takdir terulang lagi dan kali ini kau masih harus menderita."

Tidak ada yang memahami kata-kata Nyonya Li. Mereka semua hanya terdiam saat sosok tua itu mengeluarkan sehelai rambut hitam dari telapak tangannya. Nyonya Li mengucapkan mantra singkat yang membuat rambut itu berubah menjadi sinar keunguan. Dengan dua tangan ia mendorong sinar itu ke dalam tubuh Zhura.

Tubuh Zhura mulai menghangat, tapi kulit pucatnya belum berubah banyak.

"Rambut itu adalah ujung serpihan jiwa Zhura di masa lalu. Itu akan bersanding bersama jiwa aslinya yang terkoyak akibat jarum penyegel. Dengan itu, ia bisa sembuh. Namun, jarumnya masih ada di sana, kecuali Zhura melupakan semua perasaannya, rasa sakit itu akan terus menyiksanya," jelas Nyonya Li.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Inara.

Tabib Ma tampak berpikir, ia mencari solusi. "Yang terpenting jiwanya sudah stabil. Untuk jarumnya, aku akan berikan dia obat penghilang rasa sakit. Itu bisa diberikan saat ia sadar, semoga saja obat itu bisa membantunya menahan rasa sakitnya."

Inara dan Valea mengangguk, raut mereka berdua lebih tenang.

Nyonya Li menatap Zhura, lekat. Setelah sekian lama, ia tak menyangka bisa melihat keyakinan yang begitu besar itu lagi hingga cukup untuk mempertaruhkan nyawa. Bahkan setelah terlahir sebagai manusia, gadis itu tetap saja tak bisa menghindari kutukan cintanya. "Sekarang kita bisa lega karena Zhura selamat. Untuk rasa sakit dari jarumnya, itu tergantung dari keputusan apa yang hatinya buat."

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang