135. Perlawanan Antar Gadis

0 0 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.

Suasana menegangkan pecah setelah seruan Aryana. Anak panah dan tombak dari para prajurit beterbangan melesat di udara. Senjata-senjata itu dikendalikan oleh para elf pengendali untuk menembus tubuh gadis-gadis suci terdahulu. Beberapa di antara mereka tertembak panah atau tombak terjatuh dari atas tumpangannya, tapi tidak ada satu pun yang mati. Gadis-gadis itu terus bangkit, seperti tidak terpengaruh oleh serangan.

"Mereka bangkit lagi?!" Luther, elf muda yang berdiri siaga di pasukan tengah berseru sambil melotot.

"Serangan pemanah sudah tepat, ditambah arah panahnya yang dikendalikan oleh para elf pengendali membuat keefektifan serangannya akurat. Bisa bertahan dan bangkit lagi dari serangan itu adalah sebuah kemustahilan." Asyaralia yang berdiri di sampingnya menelan ludah.

Teriakan terdengar dari beruang-beruang yang terkena lesatan anak panah maupun tombak prajurit. Laju mereka melambat, tapi getaran pada tanah justru menguat karena mereka berhasil memperpendek jarak dengan pasukan. Aryana kelimpungan mencari celah di mana ia bisa mengarahkan serangan. Berbagai serangan yang pasukannya berikan jelas-jelas tepat arah, ditambah oleh kekuatan para elf pengendali, seharusnya tidak ada satu pun dari serangannya yang gagal.

Memang tidak meleset, tapi kenapa serangan-serangan itu tidak mempan pada mereka?! Gadis suci terdahulu itu seperti boneka tahan banting. Tidak peduli dengan anak panah atau tombak yang menembusi dadanya, para gadis itu tetap bergerak seperti sedia kala.

"Ini gawat, mereka semakin dekat! Jika serangan jarak jauh tidak mempan, maka kita harus gunakan cara lain!" seru Jenderal Dima menangkis sebuah tombak hitam yang mengarah padanya. Aryana baru saja akan memikirkannya saat suara lesatan disusul bunyi teriakan terdengar. Beberapa saat Aryana memastikan situasi dengan melihat ke sekitar. Pada detik itu juga, tubuhnya terkesiap menyadari para elf pengendali tergeletak bersimbah darah.

Ia kecolongan!

Gadis-gadis suci terdahulu tidak mengincar apapun selain para elf pengendali. Mereka ingin mengecilkan dominasi pasukan istana "Akh!" Aryana jatuh tersungkur ke salju setelah menghindari sebuah tombak hitam yang melesat ke arahnya.

"Serangan jarak jauh tidak mempan, kita beralih menggunakan serangan frontal," ungkap Asyaralia berjalan ke sisi kakaknya.

"Yah, kita akan melakukannya." Aryana sendiri mengambil ancang-ancang setelah mengganti busur panahnya dengan pedang. Kedua kakak beradik itu kini memimpin di depan, bersama jenderal-jenderal lainnya. Terus dalam kesiagapan, mereka mengaturnya dengan baik. Tapi, entah bagaimana mereka merasa pemeran utamanya belum keluar di medan pertempuran.

Bunyi meriam berdentum dengan keras dari arah belakang, tanda bahwa pergerakan pasukan besar-besaran dimulai. Diawali dengan seru-seruan prajurit, mereka bergerak maju menerjang gadis-gadis suci terdahulu. Menebas, menusuk, atau bahkan mengoyak, semua itu menjadi hal biasa di tengah-tengah mereka. Melihat pergulatan sengit itu membuat Inara yang banjir peluh tak henti-hentinya menambatkan doa. Posisinya terbilang cukup aman, itulah kenapa dia masih bisa berdiri dengan kedua kakinya.

Pada saat itu, hawa keberadaan seseorang yang familiar terasa. Begitu samar-samar, tapi ia sudah dekat. Hal itu membuat kegelisahannya sedikit berkurang. Setidaknya sekarang Inara tahu bahwa sosok itu baik-baik saja.

"Akh!"

Inara terlonjak saat mendapati seorang gadis suci jatuh tersungkur ke salju. Di dadanya tertancap tombak yang menembus baju zirahnya, sudah jelas senjata itu berasal dari gadis-gadis suci terdahulu. Pertahanan pasukan kerajaan yang kuat ternyata tidak mampu membendung arahan tombak hitam musuh.

"Qixua!" Seorang gadis lain terisak di samping tubuh Qixua yang sudah tergeletak tak bernyawa. Kematiannya yang mendadak membuat para gadis lain terkejut. Baru beberapa menit lalu saja Qixua masih berdiri bersama mereka, dan sekarang dia sudah mati.

Teman Qixua, gadis bernama Helenia itu frustasi. "Qixua, bangunlah! Kenapa kau meninggalkanku sendiri? Bangun! Aku tidak mau ditinggal sendiri!"

Sebuah teriakan terdengar dari Arlia. Gadis elf itu kini terduduk di salju dengan lengan kiri yang bersimbah cairan merah.

"Arlia!" Inara mendekat, ia berusaha membantu menekan luka pada lengan kirinya, tapi sesuatu mendorongnya hingga tersungkur ke belakang. Inara mengaduh ketika sebelah lengannya terinjak oleh gadis-gadis yang berlarian panik. Suara geraman terdengar sangat dekat hingga telinga lancip Inara menegak.

Ctak!

Dentingan benda tajam yang saling beradu membuat Inara menoleh pada dua gadis yang tengah bergulat di dekatnya. Arlia tampak sibuk menahan serangan dari gadis berseragam biru yang menindih di atasnya. Inara menggelengkan kepalanya sembari mencari pedangnya yang terlempar. Sekarang ia paham siapa target para gadis suci terdahulu. Mereka semua bergerak untuk melumpuhkan gadis-gadis suci sekarang yang berzirah baja.

Ini pertarungan antar sesama gadis suci.

Siapapun dalang utamanya, dia sengaja menggunakan dua pion sekaligus. Beruang dan gadis suci terdahulu. Sementara yang satu mulai memberikan pengalihan serangan kepada pasukan istana, di sisi lain satu pihak akan mengincar para gadis. Sebenarnya bukan hanya Inara, hal barusan itu juga yang ada di pikiran semua orang. Mereka sadar, santapan utamanya adalah para gadis-gadis.

Inara menunduk, menghindari sebuah tombak yang melesat ke arahnya. Baru satu detik ia mengembuskan napas lega, tubuhnya kembali tersungkur oleh desakan kuat dari belakang. "Matilah kau!" Seorang gadis suci terdahulu yang berhasil menerobos dengan ganas mengayunkan belati padanya.

Inara menyelengkat kedua tangan sosok itu dengan kaki kanannya.

"Argh!" seru gadis suci terdahulu itu marah. Ia kembali mengayunkan belatinya, tapi Inara sigap mengatasinya dengan menahan belati itu menggunakan pedang. Kekuatan gadis elf itu hampir habis bahkan hanya untuk menahan ayunan belati. Daripada itu, tekanan aura gelap yang diberikan lawannya adalah faktor lain yang membuat Inara merasa lemah.

Mata mereka benar-benar mematikan.

Di sisi lain, Arlia dan lawannya terlihat babak belur. Wajah dan tubuh terkoyak di sana-sini, tapi tidak ada satu pun di antara mereka yang terlihat ingin menyerah. Malahan ada hawa membunuh yang sama kuat di masing-masing pihak. Tentu saja, karena dia Arlia. Selain terlatih dalam pertarungan jarak dekat, Arlia juga sudah menekatkan suatu hal pada dirinya.

"Tidak ada orang lain yang pantas menyadarkan ayahku. Jadi, jangan harap aku akan membiarkanmu membunuhku, bodoh!" teriak Arlia menusukkan pedangnya ke perut gadis suci terdahulu itu hingga menembus salju di bawah.

Sama-sama seorang gadis suci. Inara sadar bahwa bertarung dengan orang yang memiliki embel-embel sama dengan dirinya adalah hal yang merepotkan. Dia memusatkan seluruh kekuatannya untuk membalikkan serangan. Sedikit kalang kabut, ia mencoba mendesaknya, hingga belati milik lawannya itu terjatuh ke salju. Mendapat kesempatan, Inara menendang belati itu, memastikan tak ada senjata apapun yang dapat melukainya.

Satu detik saja, Inara mungkin sudah berhasil menusukkan pedang pada jantung lawannya, tapi gerakannya lebih dulu terhenti saat ia menyadari ada sesuatu yang aneh. Ada semacam besi kecil sepanjang puluhan centimeter mencuat dari leher belakang gadis suci terdahulu yang ia lawan. Jika perkiraan Inara benar, maka besi itu juga pasti menancap di leher semua gadis suci terdahulu.

Kenapa ia baru melihatnya? Mungkinkah itu ditancapkan oleh seseorang? Tapi, untuk apa?

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang