88. Kelindan

34 8 0
                                    

"Aku Asyaralia, panggil saja aku Asya. Jadi, siapa namamu?"

Valea mendengkus, melipat kedua tangannya di depan dada. Diliriknya akses jalan keluar di sekelilingnya yang nihil, tertutup rapat. Sial, jadi ia benar-benar sudah tertangkap. "Kuberitahu kau, Asyaralia. Masalah yang sedang aku hadapi bukan masalah sepele. Bukannya aku peduli atau apapun, tapi kau harusnya berpikir dua kali untuk mencampuri urusanku," tegasnya.

Valea tidak mau tunduk kepada pemuda itu, bahkan meskipun ia adalah pangeran. Ia mengingat kejadian saat ia tak sengaja jatuh ke kolam di mana pemuda itu tengah mandi di sana. Meskipun dirinya geli setengah mati mengingatnya, tapi dari kejadian itu Valea tahu bahwa Asyaralia tidak berkaitan dengan masalah ini.

Pemuda bersurai hitam tersebut mengangguk, satu sisi bibirnya menyimpul semakin tajam. "Maksudmu aku tidak lebih kompeten dari seorang gadis belia sepertimu? Apakah aku tampak seperti pria ringkih yang akan mati jika ditendang?" tanyanya.

"Jangan bertele-tele!" Valea mengeluh dalam hati, kenapa juga pemuda itu menganggapnya sebagai gadis belia? Apakah ia terlihat seperti anak di bawah umur? "Kau hanya orang asing, selain itu aku sedang menyelidiki seseorang di istana dalam. Dengan kau ikut campur, aku takut penyelidikan ini akan terbongkar. Jika aku tidak memastikan ini, nyawa temanku akan terus terancam."

"Aku tidak ingin menggambat tugasmu. Seperti kau, aku juga harus melakukan kewajibanku untuk memastikan semuanya aman. Terlebih lagi, yang kau incar adalah tempat tinggal keluargaku. Ada lebih dari satu alasan kenapa aku harus mengetahui tujuanmu," timpal pemuda itu serius.
   
Sebagai satu-satunya pangeran yang ada di sini, tanggung jawabnya untuk memastikan segala sesuatu berjalan selayaknya bertambah dua kali lipat. Betapa sialnya ia karena dua saudaranya yang lain begitu sibuk, yang satu menemani perawatan ayahanda mereka, yang satu entah pergi ke mana. Yang jelas, Asyaralia tidak akan lari dari tanggung jawab pangeran meskipun harus menggunakan cara licik seperti ini.

"Apa kau sungguh-sungguh ingin mengetahui semuanya?" Sudah cukup, Valea tidak bisa berdebat lebih lama.

"Aku harus mengetahuinya."

"Akan kuberitahu semua yang kau inginkan, tapi ada syarat lain. Karena sudah terlibat, maka kau tidak punya pilihan selain membantuku untuk melakukan sesuatu." Kedua tangan si gadis merah luruh ke sisi tubuhnya. Ia berjalan mendekati pemuda itu. Dengan tatapan intens, dibisikkannya deretan gagasan tersembunyi pada pemuda itu. Asyaralia yang mendengar itu sontak saja tercenung.

"Bagaimana?!" tanya Valea berkacak pinggang.

Rambut yang diikat seadanya dan pakaian tidur yang berantakan. Liar dan tak terkendali, itulah kesan yang dapat digambarkan Asyaralia mengenai gadis di depannya. Dia adalah jenis orang yang harus dijauhi. Namun, satu bagian darinya merasa tertantang seakan terkena percikan sensasi asing. Ia terbiasa dikelilingi orang-orang yang memandangnya dengan aturan seperti bersikap hangat atau penuh tata krama.

"Sepakat." Asyaralia mengulurkan sebelah tangannya, "Jadi, siapa tadi namamu?"

Valea melirik tangan itu, dengan setengah hati ia meraihnya. Bagi Asyaralia gadis merah itu seperti tak tersentuh oleh semua peraturan.

"Valea."

Dan itu menarik.

***

"Kau sangat pandai memasak.

"Tidak juga, saya juga masih belajar," jawab Zhura seraya tersenyum kepada wanita paruh baya di sisinya.

"Aku berkata jujur, kau terlihat terbiasa dengan bahan-bahan dapur ini. Tidak seperti putriku Yara yang tahunya cuma garam."

Tawa kecil lolos dari bibir Zhura. Setelah mengatakan beberapa hal untuk membela temannya itu, ia pun melanjutkan kegiatan memasaknya. Saat ini dia dan wanita-wanita lain di suku Wiyyam sedang menyiapkan berbagai makanan untuk dibagikan sebagai bentuk rasa syukur. Meskipun mereka sempat sedih sebelumnya, tapi mereka tetap akan merayakan kedatangan satu anggota suku baru yaitu puteri Bibi Sarla.

"Wahai, Ibu-ibu! Kalian sedang apa?!" Yara datang ke tenda dapur dan mengagetkan semua orang.

"Dasar anak nakal, seharian berkeliaran dan bukannya membantu malah merusuh! Palingan kau datang karena mau meminta makanan." Bibi Harwa menunjuk Yara dengan spatulanya.

"Ibu, aku tidak sepicik itu! Lihat, aku membantu, 'kan?" Yara berpura-pura merapikan sayuran yang berserakan di baskom.

Ia melihat Zhura, lalu menghampirinya. "Apa Kakak Lailla pernah pergi ke kota?"

"Memang kenapa?" tanya Zhura.

"Tidak, aku cuma penasaran. Sejak kecil, ratusan tahun aku hidup, yang kumakan hanya ini dan itu. Tidak seperti di sini, pasti ada banyak makanan enak di sana, 'kan?" Yara muram, menghela napasnya.

Zhura mengangguk, "Ada banyak jenis makanan di kota, kau bisa menemukan apa saja yang kau inginkan. Bisa dibilang semuanya tersedia."

"Seandainya aku bisa ke kota. Suku kami memang berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain, tapi tetap saja kami selalu menetap di wilayah yang jauh dari pemukiman. Tahun demi tahun, yang kulihat hanya gunung dan padang rumput." Yara mengeluh, menatap panci sup yang kini mulai diturunkan.

"Sejujurnya kota tidak selalu lebih baik daripada desa atau bahkan wilayah terpencil seperti ini. Bagiku, asalkan kita merasa nyaman dan aman, di mana pun itu adalah tempat yang paling indah," ujar Zhura menyerahkan panci sup itu pada wanita-wanita yang sedang mengemasnya makanan di sudut tenda.

Yara memutar bola matanya, "Kau mulai lagi."

"Apa kalian sudah dengar? Beberapa pria yang mengambil tanaman herbal mengaku melihat orang-orang berpakaian aneh di hutan. Kelihatannya seperti seragam." Seorang wanita berujar sambil sesekali meniup kayu bakar di depannya.

"Siapa mereka?"

"Entahlah, tapi suamiku bertugas tadi malam, ia baru kembali pagi ini. Dia bilang ada beberapa pria berseragam hitam terkapar penuh luka di sana. Saat ia hendak menolong, mereka tiba-tiba menghilang. Itu sungguh mencurigakan."

Orang-orang di dalam tenda lantas saling bertukar pendapat dengan sedikit raut panik. Zhura juga mendengarnya. Ia mematung, tidak bisa mencegah pemikiran-pemikiran mengenai Shar bersarang di kepalanya. Mungkinkah penjahat-penjahat itu berhasil menemukan keberadaannya?

Seorang wanita lain menanggapi hal itu dengan tenang. "Apa mungkin mereka baru diserang hewan buas?"

"Selain jejak kaki, suamiku bilang tidak ada tanda-tanda kehadiran hewan buas atau makhluk lain. Terlebih lagi, ada senjata-senjata yang berlumuran darah manusia. Sepertinya mereka habis bertarung dengan seseorang."

"Ini gawat. Bagaimana bisa ada kejadian seperti itu? Sebenarnya apa yang terjadi?"

Nenek Manira datang dan menenangkan ibu-ibu yang dilanda ketakutan. "Kakek Maral sedang memastikan masalah ini dan meminta kita untuk waspada. Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja."

Yara melirik Zhura yang masih termenung. "Apa Kakak Lailla baik-baik saja?"

Kepala Zhura mengangguk saat ia masih belum sepenuhnya keluar dari pemikirannya. Jika orang-orang berseragam yang terluka itu karena ulah seseorang, maka hanya satu orang yang kemungkinan menjadi tersangkanya.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang