49. Burung Dalam Sangkar

74 27 6
                                    

"Salam, Ayahanda."

Pagi ini langit berawan membuat suhu terasa menyengat. Azhara memasuki ruangan terbuka yang terhubung ke halaman samping kediaman ayahnya. Di sana, sosok tua itu menunggunya di sisi meja dengan jubah berlapis yang menghangatkan dirinya.

"Duduklah." Raja Amarhaz menghela napas, terlihat menampilkan raut lega. "Bagaimana kabarmu? Aku tidak datang di perjamuan waktu itu. Aku jadi merasa bersalah. Sebenarnya saat cuaca sedang baik aku ingin mengunjungimu, tapi tubuhku belum sepenuhnya pulih. Karena itu aku memintamu datang ke sini. Aku ingin mengucapkan sendiri selamat untukmu. Maaf karena sangat terlambat, tapi selamat ulang tahun, Azhara."

"Kesehatan Ayah adalah yang terpenting, jangan memikirkan hal yang tidak perlu. Asalkan Ayah sehat, Azhara akan senang." Azhara mengambil sisi lain meja sebagai tempat duduknya. Ditatapnya sendu tubuh tua yang dulu bugar itu, kini dia terlalu pekat dipenuhi aroma obat. Kondisi kesehatan yang tidak baik membuat wajah ayahnya tak sesegar dulu.

Raja Amarhaz tampaknya sadar jika ia sedang diperhatikan, jadi pria tua itu segera mencari topik lain. "Bagaimana pendapatmu tentang hadiah yang dikirimkan kemarin?"

"Mereka bagus, Azhara sangat menyukainya," jawabnya tanpa ekspresi. Sejujurnya pemuda perak itu termenung. Kecuali lonceng angin pemberian Lailla, hdiah yang dikirimkan orang-orang hanya akan berakhir di gudangnya. Mereka menumpuk satu sama lain dan tak pernah ia lihat. Azhara tidak pernah tertarik pada barang-barang semacam itu, baginya benda-benda mewah tersebut hanya seperti debu di sudut ruangan.

"Syukurlah jika kau menyukainya, tapi ingat jangan berlebihan. Kau tidak boleh menyukai sesuatu di luar batas. Kuharap kau hanya akan menganggap hadiah-hadiah itu sebagai bentuk kepedulian orang-orang padamu. Kau tidak akan menyimpan suatu perasaan kuat apapun."

"Aku mengerti." Mata Azhara terpejam, ia tak bisa menyembunyikan sorotnya yang mengatakan hal lain.

"Kudengar ada masalah dengan keamanan ganda  istana yang melemah. Setiap hari kita harus memeriksanya untuk memastikan bahwa itu tetap bekerja. Bagaimana pun para gadis suci adalah prioritas utama kita, tidak ada yang boleh melukai mereka sampai hari pemberangkatan. Mereka harus pergi ke sana apapun keadaannya."

"Tak peduli seberapa besar pemimpin berusaha, selalu ada rakyat yang tak puas. Tentunya karena raja juga seorang manusia. Dia tidak mungkin berada di dua tempat sekaligus, pilihannya adalah memenuhi kebahagiaan dirinya atau memberikan kebahagiaan orang lain. Karena kau adalah Puteraku, kira-kira apa yang harus kau lakukan untuk mengatasi hal ini?"

"Aku tidak tahu." Pemuda itu membuka pejaman mata saat rasa penasaran tampak di wajahnya.

"Azhara, kau harus siap mengorbankan diri sendiri seperti lilin yang habis untuk menerangi orang lain." Raja Amarhaz beralih memperhatikan ikan putih di dalam kolam. "Dulu ibumu adalah orang yang selalu menemaniku di saat aku muak dalam hidup. Dia tak pernah mengeluh meskipun tubuhnya sakit-sakitan. Ia akan tersenyum dan mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja. Saat itu aku begitu sibuk sehingga mengabaikannya. Aku memilih kebahagiaan rakyat dan menjadi lupa bahwa dia juga orang terkasihku."

Azhara tak nyaman berdiam diri tapi tak ada hal yang bisa ia ucapkan sebagai balasan.

Ayahnya melanjutkan, "Betapa aku ingin melihatnya lagi walaupun hanya sedetik. Dia adalah satu-satunya hal terindah yang pernah kumiliki. Aku merasa marah tapi tidak ada yang bisa kusalahkan. Sejak awal, kehidupanku memang untuk semua orang. Ibumu adalah orang yang selalu kumiliki di dalam hatiku, tapi rakyat adalah apa yang kutanggung di atas pundak."

Azhara turut memasuki pintu kenangannya, kilas demi kilas putar balik hidup tergambar di kepala. Dengan sorot isyarat, ia berujar lirih, "Setidaknya kau memilikinya di dalam hatimu."

Senyuman hadir di wajah redup Raja Amarhaz. Dia seperti sedang merasakan pilu yang tak tergambarkan dengan kata-kata. "Matamu adalah satu-satunya hal yang masih bisa kulihat darinya sekarang. Bahkan sebagai seorang ayah, aku masih belum mampu membuatmu bahagia. Seandainya saja kutukan itu bisa dipindahkan, aku siap menanggungnya."

"Jika itu memang bisa, Azhara tidak mungkin membiarkannya. Ini adalah takdir dan tidak ada yang bisa merubahnya," tukas Azhara.

"Bagaimana pun aku adalah raja, di sisi lain kau adalah darah dagingku. Tanggung jawab ini akan menghantuiku selama roh itu ada. Sebagai pemimpin, aku harus memastikan orang-orang akan selalu aman. Dan sebagai ayah yang menyayangi anaknya, aku harus memastikan kau selalu terjaga. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanya membatasimu dalam segala hal demi mencegah kutukan itu bangkit."

Azhara melonjak ketika sebelah lengannya digenggam ayahnya.

"Bertahanlah, Azhara. Sedikit lagi, kita pasti akan mendapatkan darah sucinya. Simpan dan jagalah hatimu seperti kau membawa berlian. Demi apapun, jangan biarkan sesuatu menggoresnya dengan perasaan yang merasuk. Bukan orang lain, jika sampai itu terjadi, seseorang yang paling terancam adalah dirimu sendiri," ujar Raja Amarhaz dengan raut keruh yang menyedihkan.

Pandangan Azhara jatuh ke bawah. Isi kepala peraknya mulai bertanya akan seperti apa jika ia abaikan aturan. Mungkinkah dunia akan hancur ketika dirinya mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan. Pemuda itu dilanda pening. Satu-satunya hal yang ia tahu adalah kedamaian tidak bisa terjadi tanpa pengorbanan. Jika ia ditakdirkan menjadi lilin, maka Azhara tidak pernah menyesal harus habis.

Lagipula, ia tidak pernah menyala.

Jika pengorbanannya menjamin orang-orang untuk hidup dengan tenang, maka tidak mungkin baginya memikirkan hal lain. Azhara siap membuang semua hal yang seharusnya tidak bisa ia miliki. Pada akhirnya, Azhara masihlah burung dalam sangkar. Ucapan mengenai kebebasan hanyalah angin semu di belakang telinganya.

   

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang