46. Kebebasan

66 24 9
                                    

"Jika tidak melihatnya sendiri, saya tidak akan percaya jika cangkir teh ini dipenuhi racun. Saya sangat heran, siapa sebenarnya Nona Lailla hingga banyak sekali orang yang ingin mencelakainya?" Dengan wajah tak habis pikir, Tusk meletakkan cangkir kosong itu kembali ke atas meja.

"Ini mengerikan. Aku akan memanggil Lailla ke sini untuk meminta penjelasan," timpal Pak Dima.

"Tidak perlu." Azhara mengangkat sebelah tangannya, menahan niatan pria paruh baya yang juga seorang jenderal itu untuk keluar dari ruang pertemuan.

Pak Dima tampaknya tidak setuju. "Yang Mulia, racun ini memenuhi hampir setengah isi gelasnya. Lailla adalah gadis suci yang sudah mempelajari hal mendasar tentang racun dan penawarnya. Aku yakin dia sadar kalau ini termasuk tindak kriminal. Menyembunyikan peristiwa ini bisa membuatnya lebih dalam masalah."

Azhara meraih cangkir kosong itu ke dalam genggaman, ditatapnya dengan tajam. Ada aroma pahit yang menyengat ketika ia mendekatkan hidungnya ke benda itu. "Lailla pasti sudah mengetahuinya, itulah alasannya pergi dari acara perjamuan. Namun, dia tidak mengatakan apapun, itu tandanya dia tidak ingin melibatkan orang lain dengan masalah ini. Lagipula, ini masih abu-abu. Pura-pura saja kalau kita tidak tahu apa-apa."

Tusk berujar, "Yang Mulia benar. Menurut saya dia sudah tahu dirinya terancam, tapi dia masih tidak tahu alasannya dijadikan sasaran. Karena itulah dia tidak ingin membebani orang lain dengan masalahnya dan memilih menghadapinya sendiri. Hanya saja, saya sedikit terkejut dengan identitas orang-orang yang menyerangnya."

"Apa maksudmu?" tanya Pak Dima.

Tusk menggelar sebuah gulungan di atas meja, lantas ketiga pria itu memandangi tulisan yang tercantum di dalamnya. "Setelah mengirimkan anak buah saya ke beberapa wilayah, mereka akhirnya mendapatkan informasi mengenai identitas pelaku yang menyerang Nona Lailla. Mereka adalah orang-orang yang tergabung dalam organisasi bernama Shar. Sebuah organisasi gelap yang terletak di dekat Desa Ular."

"Tapi kenapa mereka menyerang Lailla? Itu bukan hanya sekali, jelas-jelas mereka ingin mencelakainya," tukas Pak Dima.

"Kami masih belum mengetahui alasan serangan mereka dan apa hubungan Nona Lailla dengan organisasi itu. Anggotanya juga tidak diketahui dengan jelas seolah-olah identitas mereka dilindungi."

"Dan lagi, kita masih belum punya gambaran mengenai tujuan mereka membuat banyak senjata. Jika ternyata mereka berkolusi untuk tindak kriminal, maka kita harus menindaklanjuti ini segera."

Tusk memberikan persetujuan atas ucapan Pak Dima. "Untuk mendapatkan pencerahan, tak ada jalan lain selain mengeceknya sendiri. Kita harus menyiapkan rencana matang dan menyusup ke sana."

Azhara mengangguk, tapi keningnya membentuk kerutan seakan ada pening yang bersarang di kepalanya. Dengan tubuh yang letih, ia bangkit dan berjalan ke arah jendela. Ruang pertemuan yang berada di lantai lima membuat kota yang ramai akan kegiatan penduduk terlihat seperti kerubung semut kecil. "Untuk sementara, gali informasinya lewat jalur luar untuk menghindari keributan. Racun dan Organisasi Shar, informasi tersebut hanya ada di antara kita. Saat waktunya tiba, mari membahas lagi soal pergi ke sana."

"Baik, Yang Mulia." Tusk dan Pak Dima tak menyanggah, mereka berdua mengiyakan perintah Azhara.

Di tempatnya, Putera Mahkota itu mengusap dadanya yang sedikit sesak. Sinar mentari sore yang kemerahan pun tak cukup membuat Azhara menghangat. Di seluruh tubuhnya, gigil meresap bahkan saat ia sudah menggunakan tiga lapis jubah. Kurang tidur karena terlalu banyak hal yang bersarang di kepalanya membuat ia kelelahan dua kali lipat. Ia sayu menatap lalu lalang kehidupan di bawah. Mata birunya melebar ketika ia menemukan Lailla tengah berjalan dengan langkah ringan membelah keramaian.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang