64. Mendayu

62 26 6
                                    

Mata birunya terbuka lebar mengamati berkas-berkas yang baru saja diberikan Ramia. Di sana tersaji berbagai data yang cukup membuat Azhara tercengang. Dia tidak mengira bahwa asal-usul anggota Shar berasal dari satu lingkup lingkaran yang sama. Fakta tentang perekrutan prajurit baru yang dilakukan secara resmi membuatnya semakin heran karena identitas mereka tidak dipublikasikan.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" gumam Azhara beralih membaca lembaran lain. Kali ini ia menemukan gambar seseorang yang ia tidak asing tertera dengan kode nama Sin.

"Saya pikir dia adalah Ranzak, apakah Anda mengenalinya?" tanya Ramia yang berdiri di samping tuannya.

Azhara memejamkan mata mencoba mengingat wajah pemuda itu. Bagaimana bisa Ranzak berada di daftar anggota Shar yang digambarkan Tusk? Bukankah dia adalah prajurit istana?

Melihat kening tuannya yang mengerut, Ramia lantas menunjukkan sebuah berkas lain. "Ini adalah daftar informasi mengenai Ranzak yang saya dapatkan dari beberapa sumber. Di sini tertulis lengkap nama, keluarga, tempat asalnya, dan lainnya."

Sembari Azhara membaca tulisan demi tulisan itu, Ramia kembali berujar, "Saat mendengar ada perekrutan prajurit baru, saya tidak merasa ada yang aneh. Namun, setelah mengetahui kalau mereka ditempatkan di bagian utama kediaman raja, saya merasa curiga."

"Mereka yang bertugas di istana dalam biasanya dipilih langsung oleh raja." Azhara membaca informasi mengenai masa lalu Ranzak yang pernah menjadi korban penjualan budak. Ia lahir di desa kecil yang dipimpin oleh pemimpin yang jahat. Dia meninggalkan rakyatnya dalam kemiskinan dan pergi membawa semua uang pajak. Desa yang melarat itu menjadi kekurangan sumber daya.

Ranzak beserta adik dan kedua orang tuanya pergi ke wilayah lain memulai hidup baru. Namun, keadaan yang tidak stabil membuat mereka kesulitan bertahan hidup. Ibunya sakit-sakitan dan ayahnya pergi ke kota untuk mencari pekerjaan layak. Setelah ibunya meninggal, ia dan adiknya memutuskan pergi ke kota untuk menyusul ayahnya. Namun, belum diketahui apakah mereka bisa menemukannya. Sudah ratusan tahun sejak ayahnya terakhir mengirimkan kabar.

Suatu hari, adiknya terpilih menjadi peserta gadis pengorbanan, sayangnya dia gugur di sana. Ranzak menjadi sebatang kara, dia tidak mempunyai keluarga. Kemungkinan ia pun dijebak oleh orang jahat sehingga dirinya dijadikan budak. Entah apa yang sudah ia lalui hingga akhirnya bisa menjadi prajurit seperti sekarang.

"Kisah hidupnya begitu pelik," komen Azhara setelah membaca informasi di berkasnya.

Ramia mengangguk. "Saya setuju, tapi saya tak menyangka bahwa orang yang membebaskan Ranzak dari perbudakan adalah Tuan Minra."

Azhara termenung. Pamannya adalah orang baik hati, jadi wajar saja jika ia membebaskan seorang budak dan menjadikannya prajurit. Yang membuat Azhara berpikir keras adalah kenapa nama Ranzak ada di daftar anggota Shar. Mungkinkah Tusk melakukan kesalahan? Tapi, identitas Ranzak dan semua prajurit baru yang dirahasiakan adalah poin yang paling mencurigakan. Semuanya terlihat membingungkan. Jika seperti ini sepertinya Azhara harus bertanya sendiri pada ayahnya.

***

"Saya berhenti di sini."

Zhura mengulurkan kotak kayu berisi batu kuning itu pada Ibu Suri. Wajah gadis muda itu muram, tampak jelas aksinya ini adalah salah satu hal berat yang ia lakukan.

"Kenapa?" tanya Azadilla. "Apa ini karena masalah itu?"

Zhura termenung, ia sedikit terkejut mendengar masalahnya terdengar hingga ke kediaman Ibu Suri.

"Zhura, aku tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Aku yakin kau tidak akan melakukan hal sejahat itu. Tolong pikirkan lagi." Ibu Suri mencoba membuat Zhura mempertimbangkan rencananya untuk berhenti melindungi teratai bulan. "Kalau perlu aku akan menemui Yang Mulia dan membujuknya untuk menarik status tersangkamu. Dengan begitu, namamu akan kembali membaik."

"Maaf, keputusan saya sudah bulat. Anda adalah ibunda Raja Amarhaz, saya tidak ingin membuat reputasi Anda memburuk karena terlibat dengan masalah saya." Zhura menggelengkan kepalanya, terlihat sangat menyesal. Yang ia butuhkan bukan lagi citra baik, segala sesuatu di hidupnya terasa sangat berat, ia hanya ingin berhenti.

"Apa kau yakin?" Ibu Suri memastikan sekali lagi.

Zhura menatap kanopi berbahan lembut di atasnya dengan mata berkaca-kaca. Ia memang tidak melakukan tindakan jahat seperti yang dituduhkan, tapi dirinya tetap dihukum. Itu semua karena ia jatuh cinta. Disentuhnya dada kirinya yang sakit. Angin bertiup menemani suara Zhura yang kembali keluar lirih, "Luka ini adalah bukti bahwa Lailla sudah mati. Dia tidak ada lagi. Sekarang hanya ada Zhura, seseorang yang harus hidup untuk dirinya sendiri. Maaf."

"Kau pasti sangat terluka," timpal Azadilla ikut sedih. Dirinya bisa membayangkan rasa sakit yang Zhura alami dengan jarum itu di jantungnya. Sekarang ia merasa terbebani untuk membuat Zhura tetap melakukan tugas yang ia berikan. "Karena kau sudah memutuskan, aku tidak akan memaksamu. Simpanlah batu ini, mulai sekarang ini milikmu."

Zhura menolak, "Tapi saya tidak melakukan tugas yang Anda berikan."

"Ini adalah bentuk balas budiku karena sudah menempatkan dirimu dalam bahaya. Lagi pula kau membutuhkan ini untuk pulang 'kan? Simpanlah, aku akan merasa tenang jika batu ini ada di tanganmu." Ibu Suri meletakkan kotak kayu itu di tangan Zhura. Ia tersenyum hangat.

"Semoga keselamatan selalu tercurah padamu, Nak."

Air mata Zhura mengalir. Ia kehabisan kata-kata untuk menyampaikan rasa syukurnya. "Anda Sangat baik. Saya harap saya bisa membalas ini."

"Selalu ada waktu untuk berbalas budi. Untuk sekarang, aku akan merasa lega jika kau baik-baik saja."

Zhura mengusap air mata di pipinya, "Terima kasih banyak."

"Namun, ada hal lain yang ingin aku tanyakan. Maaf jika ini membuatmu tidak nyaman, tapi apakah kau sungguh-sungguh mempunyai perasaan pada Azhara?" tanya sosok tua itu dengan nada hati-hati.

Zhura terdiam sejenak, menahan gejolak menggebu di hatinya. Dengan raut kaku, ia pun mengangguk kecil.

"Apa kau pernah mendengar mengenai aturan yang membatasi Azhara untuk merasakan kasih atau perasaan lainnya? Entah itu benda hidup atau mati, kau tahu konsekuensi apa yang akan diterima hal yang disukai olehnya?"

Lagi-lagi dia mengangguk. Kini matanya turun, ia menelan ludahnya sebelum kemudian menjawab dengan suara parau, "Itu harus dilenyapkan, Zhura tahu aturannya."

Ibu Suri menghela napas, matanya tertuju lurus memperhatikan gadis di depannya. Dirinya yakin bahwa Zhura adalah orang yang baik. Dulu, aura Zhura begitu hangat memancar setiap kali dia berinteraksi dengannya. Dengan kenyataan itu, rasanya masuk akal jika Azhara juga merasakannya. Hatinya memang dingin, tapi kehangatan Zhura bisa menjadi lilin yang akan menerangi kegelapan hidup pemuda itu.

Azadilla menerawang, "Azhara adalah orang kuat, tapi juga lemah. Kenyataannya dia sama seperti kita, dia bisa merasakan apapun yang datang di hatinya. Namun, dia memilih menyembunyikan semua itu untuk mematuhi aturannya. Menurutmu, apakah dia benar-benar menganggapmu sebagai penjahat hanya karena kau jatuh cinta?"

"Apa maksud Anda?" Benak Zhura meratapi degup kencang jantungnya yang kini terasa lebih menguras jiwa.

"Tidakkah kau terpikirkan bahwa Azhara bisa saja menyembunyikan sesuatu? Dia mungkin memutuskan kau menjadi tersangka penyerangan itu untuk mencegahmu mendapatkan hukuman lain yang lebih menyakitkan."

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang