"Dia dikirim ke sana dan tidak pernah kembali ke sini. Entah apa sekarang ia masih hidup atau tidak. Menyadari bahwa dia tidak akan pulang ke sini, kadang-kadang membuatku marah. Tidak tahukah mereka bahwa gadis-gadis juga punya perasaan, kehidupan, impian dan juga orang-orang yang menunggu kepulangan mereka di rumah?"
Azhara menunduk, wajahnya tersembunyi di balik selendang hitam di kepalanya. Zhura yang tidak mempunyai rencana untuk mendengarkan kenyataan sedemikan rupa, tak dapat berkata apa-apa.
"Tapi, itu sudah berlalu, semuanya sudah terjadi. Aku pun bisa tenang untuk enam belas tahun ke depan sebelum pemilihan gadis lagi. Aku penasaran dengan gadis-gadis yang terpilih di periode ini, mereka pasti sedang sangat ketakutan karena pemberangkatan yang semakin mendekat," tambah Yara.
Azhara yang mendengar itu mendongak, melirik ke arah di mana kira-kira Zhura berada.
"Takut atau tidak, itu belum pasti. Yang jelas mereka pasti berjuang dengan sekuat tenaga, bagaimana pun itu adalah tindakan yang dilandasi harapan," timpal Zhura memilih mengalihkan pandangannya.
"Kakak Lailla benar. Harusnya aku tidak menceritakan masa lalu seperti itu pada orang baru seperti kalian. Gara-gara aku kalian jadi merasa tidak nyaman, maaf." Yara menyatukan kedua tangannya membuat pose mohon ampun. Selanjutnya, ia kembali membuka senyuman lebar. Ditunjuknya ladang sekitar dengan semangat. "Daripada berkubang pada cerita kelam tadi, ayo kita fokus saja pada tugas ini!"
Yara menyenggol tangan Zhura dan Azhara yang masih bergeming, "Yara punya ide, bagaimana kalau kita bertanding?"
"Bertanding?"
Alis Yara melompat-lompat, gadis itu pasti memiliki banyak energi di tubuhnya. "Ayo berlomba mengisi penuh keranjang masing-masing. Dia yang mengisi paling banyak akan digendong oleh orang yang isi keranjangnya paling sedikit."
***
"Jadi, Ibu suri mencurigai bahwa dalangnya ada di istana?"
Tabib Ma mengangguk merespon gadis muda di hadapannya. "Setidaknya sudah beberapa dekade sejak dia berkonflik dengan orang-orang istana dalam. Tapi, bukan berarti dia tidak peduli dengan mereka. Bagaimana pun dia tetaplah anggota kerajaan. Yang Mulia tetap memantau situasi dari kejauhan. Kejanggalan demi kejanggalan memuncak membuat ia memutuskan untuk menyelidikinya. Namun, penjahat itu lebih dulu sadar. Mereka membunuh Yang Mulia sebelum dia mengungkapkan siapa yang ia curigai."
"Ibu Suri dibunuh karena dia mencurigai dalangnya ada di istana dalam. Bukankah ini semakin jelas? Pelaku pembunuhnya pasti juga merupakan orang dalam istana," timpal Inara.
"Benar, itu juga yang kucurigai. Tapi, siapa sebenarnya yang mengendalikan semua kekacauan ini?"
"Yang jelas dalangnya pasti orang yang kuat dan berani mengambil risiko." Valea bertopang dagu dengan kedua tangan. Mata merahnya anteng menatap satu titik saat isi kepalanya justru berputar-putar bersama banyak hal. Ini sangat aneh, penyerangan istana malam itu terlalu menghebohkan, seakan-akan diatur agar semua perhatian hanya terpusat pada itu. Lalu, saat semua perhatian terlalihkan, aksi peracunan bunga itu pun dilakukan.
Inara mengembuskan napas berat. "Tidak kusangka Zhura menanggung tugas seberat ini, pantas saja dia selalu tampak kebingungan. Kenapa ia tidak memberitahukannya pada kami?"
"Zhura mempertaruhkan segalanya demi ini, dia pasti tidak ingin kalian terlibat dengan bahaya musuh yang mengancam. Dia tidak ingin lebih banyak orang terluka." Tabib Ma mengedarkan pandangannya, seakan memeriksa situasi mereka. Bagaimana pun percakapan ini tidak boleh didengar oleh orang lain.
Inara membuat keputusan. "Kita harus melakukan sesuatu."
Valea mengangguk, "Pertama, kita harus tahu petunjuknya."
"Aku mendapatkan beberapa informasi. Akibat penyerangan malam itu, Pak Dima terluka cukup parah dan aku yang ditunjuk sebagai perawatnya. Setelah membuatnya tidur menggunakan obat khusus, aku menyelinap ke ruang rahasia dan menemukan petunjuk ini." Tabib Ma mengeluarkan berkas-berkas ke atas meja. Ada data mengenai informasi sebuah organisasi gelap dan beberapa anggota-anggotanya. Lalu, ada juga informasi yang menyebutkan bahwa ciri khas dari kelompok itu adalah bunga Peony.
"Tapi bagaimana kita memastikan dalangnya dengan petunjuk sekecil ini?" timpal Inara, gusar.
"Satu-satunya yang pasti adalah terdapat lambang bunga Peony di tubuh anggota Shar. Jika orang yang mendalangi aksi penyerangan malam itu adalah anggotanya, maka dipastikan bahwa ia juga mempunyai bunga itu di tubuhnya."
"Maksudmu kita harus memeriksa satu per satu tubuh orang istana?" sahut Valea.
"Tidak, karena Ibu Suri hanya mencurigai seseorang di istana dalam, maka kita hanya perlu memeriksa tubuh orang-orang di sana."
***
"Ayo, cari yang benar atau aku yang akan digendong oleh Kakak Vi."
Yara mencabut sebuah lobak besar dengan satu tangan seakan-akan itu hanya sehelai rambut dari kulit kepala. Dia bisa berkata seperti itu karena Azhara hanya diam di tempatnya. Ia tidak berniat mengikuti kompetisi ini, yang menjadikannya pihak yang akan menggendong. Mau tidak mau, keputusan ada di tangan Yara. Bagaimana pun dia tidak terbantahkan.
Tidak bisa dibiarkan! Dengan cekatan diambilnya segala macam sayuran di dekatnya, apapun itu asalkan keranjangnya penuh. Zhura bukannya tidak suka jika Azhara menggendong gadis lain, tapi kekalahan karena tidak berusaha lebih keras adalah hal yang pantang ia lakukan. Lagipula, siapa yang bisa menandinginya dalam hal kecepatan?
"Aku menang!" seru Yara meletakkan keranjangnya yang sudah dipenuhi sayur dan buah yang berukuran besar.
"Tunggu! Kerranjangmu hanya diisi lobak dan buah besar. Pantas saja itu cepat penuh!" tukas Zhura tak terima.
Yara tertawa, menatap keranjang gadis di depannya yang hanya terisi separuh. "Yang penting penuh. Iya, 'kan?"
Zhura berkacak pinggang, menampilkan wajah sebal yang dibuat-buat. "Dasar curang, sebegitu inginkah kau digendong olehnya?"
"Tentu saja, kapan lagi aku digendong pemuda tampan dan hebat seperti Kakak Vi?" Yara melompat ke punggung Azhara, lalu mengedipkan sebelah matanya pada Zhura. "Jangan khawatir, aku tidak akan merebutnya. Lagipula, Kakak Vi adalah kakakku juga."
Azhara berdecak, ia benar-benar tak terbiasa dan situasi ini. Sejak kecil, ini adalah kali pertama ia membawa seorang gadis di punggungnya.
"Kakak Lailla, tolong bawakan keranjangku juga. Dan kali ini aku yang akan jadi mata untuk Kakak Vi, jadi ikuti saja arahanku, ya?"
"Siap." Zhura menyunggingkan senyum kaku, ia tak punya pilihan selain mengikuti arahan bocah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cursed Journey Of Zhura
FantasyFANTASI ROMANSA Zhura tidak pernah menyangka jika rumah misterius yang ia masuki justru membawanya ke dunia asing yang berpenghuni makhluk aneh. Dirinya dijadikan gadis yang akan dikorbankan dalam ritual maut, lalu ia tergabung dalam kelompok gadis...