147. Sang Cahaya

0 0 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.

Kelopak-kelopak putih melayang. Terbang serempak menuju kanvas keunguan. Air setinggi mata kaki kini menguarkan aroma nestapa. Seperti kepedihan sangat lama tergenang di sana. Zhura menghela napas saat wanita bermata violet itu terus saja tersenyum di depannya.

"Mereka semua sudah berangkat." Wanita itu membuka suara seraya mengulurkan lengan, seolah-olah berusaha menggapai kelopak-kelopak putih di udara.

Zhura melangkah menyibak air ke sisinya. Panggilnya, "Macia."

Macia abai, "Setelah ini siang akan berhenti merajuk karena angin yang datang kembali sejuk."

"Macia!" ulang Zhura dengan nada berapi. Saat itu juga Ia menyadari iris violet sosok itu diderai air mata.

"Kita menang, Rahien. Cinta kita bukan kutukan. Semua hal di dunia akan kembali berwarna. Perasaan hangat akan mekar menyatukan seluruh masa, kedamaian itu datang."

"Macia, tolong dengarkan." Zhura memaksa sosok itu untuk memberi perhatian.

Macia mengusap dadanya yang kembang kempis, "Dipisahkan oleh ruang dan waktu, sepasang jiwa yang melintasi masa akhirnya mengakhiri perjalanan panjang membawa takdir semua orang. Mimpi buruk berlalu, musim demi musim akan menjadi berkah. Tidak ada lagi ketakutan atau pun kutukan. Kita sudah menang."

"Apa maksudmu?" Zhura tak mengerti, apa sebenarnya yang dimaksud olehnya?

"Kau, aku, dan semua orang akan bebas. Tak terkecuali." Satu tetes air menuruni pipinya, jatuh menyatu bersama genangan. Tepat setelah itu aroma nestapa lenyap, hanya kebahagiaan yang penciumannya rasakan. Wanita itu menggenggam kedua tangan Zhura. Ada kehangatan dan rasa bersalah yang bercampur di sana.

"Tapi ada satu hal yang tersisa sebelum semuanya benar-benar selesai."

Suasana menjadi lebih senggang, bahkan meskipun tidak ada suara siapapun selain mereka sejak awal.

"Apa itu?" Zhura memberanikan diri bertanya, hanya untuk mendapat pelukan erat Macia.

"Maaf! Maafkan aku!" Macia terisak dalam pelukannya yang semakin sesak. "Dia mungkin benar, ini semua salahku! Jika saja aku bisa memilih, aku ingin ini tidak dimulai sama sekali! Mimpi buruk dan rasa sakit. Biar aku saja yang menanggungnya!"

"Kau meninggalkan tugasmu sebagai dewi karena seseorang? Itukah kesalahanmu?" Zhura teringat oleh sepenggal kalimat Sacia.

Macia melepaskan pelukannya, tersenyum sedih. "Dia hanya pemuda biasa. Satu hal yang terpatri jelas adalah senyumnya yang persegi. Setiap saat, yang ia lakukan adalah tersenyum. Bagiku, dia adalah segalanya."

"Itu alasanmu meninggalkannya?"

"Dulu, aku hanya anak kecil yang senang bermain mencari kumbang atau capung, hingga semua tugas itu datang. Kami tidak lagi bisa hidup normal. Kami tumbuh bersama segala hal yang menjadi aturan bahkan bernapas. Tapi aku tidak seperti Sacia."

"Kenapa kalian harus saling membunuh?" timpal Zhura.

Kepalanya menggeleng, "Di dunia kami, Sacia mempunyai jati diri yang paling tinggi. Segalanya menjadi A jika ia berkata A. Kami tertekan dan sekarat. Tidak ada perasaan apapun yang boleh dirasakan oleh semua orang. Dengan kekuasaannya, ia membuat dunia yang suram agar semua orang merasakan kuatnya diri tanpa pengaruh perasaan mematikan seperti kasih sayang."

"Bahkan cinta?"

"Bahkan cinta." Diturunkannya mata violet itu untuk Zhura. "Tapi Rahien, ia satu-satunya orang yang tidak tersentuh aturan Sacia. Ia pemuda biasa, yang senang menguarkan aura hangat dan senyum tulus pada semua orang. Sang Pencipta entah bagaimana menjadikan hatinya terlalu murni. Ia seperti kertas kosong yang tahan akan tinta. Ladang selalu menghijau setiap kali ada kehadirannya. Rahien menjadi satu titik biru tersisa di antara kelabu."

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang