121. Danau Misterius

0 0 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.

"Selain mengacaukan persediaan, para Hel juga melepaskan kuda-kuda kita," gerutu Asyaralia sambil menyalakan api pada sebatang kayu.

Aryana membenarkan posisi tasnya, "Tidak apa-apa. Berkat penglihatan Inara, kita bisa meminimalisir risiko korban karena lebih dulu bersiap. Terima kasih, Inara."

"Saya hanya melakukan tugas saya, Yang Mulia," jawab Inara tersenyum manis.

Pada saat yang sama, mata Zhura justru mendapati drama curi-curi pandang antara gadis merah dan si pembuat obor. Terkadang Valea yang diam-diam memerhatikan setiap gerakan Asyaralia, tapi ketika pemuda itu mengangkat pandangan padanya, gadis merah itu pura-pura memeriksa perlengkapannya.

"Karena kuda-kuda kita pergi entah ke mana, jadi kita akan berjalan kaki. Pastikan sepatu kalian terpasang dengan nyaman atau kaki kalian akan sakit. Periksa juga barang kalian, jangan sampai ada yang tertinggal. Kita harus keluar dari wilayah ini sebelum pagi datang, jadi kita mungkin akan berjalan cepat."

Mendengar penuturan Aryana, Zhura lekas mengencangkan rambutnya yang diikat ekor kuda. Asyaralia pun sudah menyelesaikan dua buah obornya dengan raut bangga. Setelah itu, rombongan kembali dihela untuk berjalan. Aryana dan Ramia yang memimpin di depan, sementara Asyaralia, Luther, dan Vilois yang mengakhiri di ujung belakang.

Menit demi menit berlalu, mereka beruntunan menyusuri pepohonan hutan yang gelap gulita. Yah, mereka tidak bisa mengandalkan cahaya bulan untuk perjalanan kali ini, karena Ilyza tidak mungkin harus terus mengendalikan awan. Gadis itu kini berjalan dua baris di depan Zhura dengan sempoyongan akibat kelelahan. Tentu saja, siapa yang tidak kelelahan setelah menarik awan?

Cahaya kekuningan kecil berkedip-kedip, seekor kunang-kunang hinggap di bahu Zhura. Dia menggapainya selembut mungkin, agar kunang-kunang itu tidak sesak napas akibat himpitan jemarinya. Memperhatikan makhluk itu lebih lanjut, pikiran Zhura seketika terkilas pada kejadian beberapa hari yang lalu. Malam saat Azhara merayakan ulang tahunnya. Pemuda itu memberinya ribuan kunang-kunang yang ia tangkap sendiri agar Zhura bisa menyampaikan harapannya ke langit.

"Hei."

Zhura terkesiap. Arlia yang ternyata berjalan di sampingnya tampak ingin mengajaknya bicara. "Gelang itu dari kakakku, 'kan?" tanyanya.

Dengan gugup Zhura menyilangkan tangan di depan dada, menyembunyikan gelang perak itu dari Arlia. "Aku tidak tahu kau begitu tertarik dengan hidupku. Lagipula tidak penting juga dari siapa gelang yang kupakai."

Arlia tertawa mengejek, "Padahal jawabannya hanya iya atau tidak, tapi kau malah memutar-mutarnya."

"Terserah," Zhura mengalihkan wajah, berusaha menjaga gelang perak itu tetap tersembunyi.

"Arbutus adalah azimat suci dari kuil Azalea di selatan Silvermist. Sepertinya kau tidak tahu, ya? Hanya satu banding jutaan orang yang bisa mendapatkannya, karena dibutuhkan ujian kekuatan spiritual yang sulit. Kakakku Azhara adalah orang yang memenuhi kriteria, jadi sangat wajar kalau ia memilikinya," jelas Arlia.

"Aku tahu." Gadis itu menatap lekat gelang peraknya. Satu banding jutaan adalah angka yang sangat banyak untuk sebuah perbandingan.

"Aku tidak terkejut jika saja benar dia yang memberikan gelang itu padamu. Lagipula semua di antara kalian sangat jelas." Arlia mengangkat bahu, "Yah, nama kuil Azalea berarti keselamatan atau kehati-hatian. Tentu itu menjelaskan bagaimana cara kakakku memandangmu, Zhura."

Mendengar penuturan itu sontak membuat Zhura menelan ludah.

"Jangan menampilkan raut wajah itu padaku, menyedihkan. Aku tidak tahu akan seterkejut apa kau saat mendengar apa arti kata Arbutus, nama gelang perak itu."

"Memang apa artinya?" Untuk menghindari batu besar di tengah-tengah jalan setapak, Zhura melangkah sedikit ke pinggir. Tersenyum misterius, Arlia tiba-tiba mendekatkan bibirnya pada Zhura. Saat itu dia membisikkannya. Tidak perlu menunggu lama hingga jantung Zhura seperti ditarik keluar karena tiga kata itu meluncur dari bibir Arlia. Dirinya kelimpungan mencari oksigen untuk bernapas, karena kepalaku yang panas dingin terpusat pada bayangan Azhara. Jelas dan singkat, telak membuatnya membeku tak bisa bergerak.

Perjalanan berlanjut hingga akhirnya mereka keluar dari wilayah mengerikan itu. Pagi ini rombongan sedang beristirahat di dekat sungai. Inara datang menyodorkan ubi bakar. Gadis elf itu kemudian duduk di sampingnya, tersenyum kecut. "Maaf, aku terlalu memikirkan orang lain dan jarang menemanimu. Kau jadi banyak melamun, Zhura."

Kedua tangan Zhura melambai di depan wajah Inara. "Jangan khawatir. Aku tidak menuntut apapun, lagipula aku tahu kau sangat sibuk, Inara. Menjadi satu-satunya elf penglihat di rombongan, pasti membuatmu kelelahkan. Aku malah merasa malu karena tidak bisa membantu."

"Syukurlah kalau kau tidak marah, Zhura. Seperti katamu tadi, memang sedikit melelahkan untuk melakukan semua dalam satu waktu. Banyak hal terjadi juga. Tapi selama orang lain terbantu, aku akan melakukannya dengan hati ringan." Inara mengusap wajahnya dengan kain yang ia basahi dengan air.

Zhura meniupi ubi bakar yang masih sedikit panas di tangannya. "Jangan menyimpan banyak pikiran, Inara. Kau juga harus mengisi perutmu," kata Zhura sebelum kemudian melahap ubi bakar itu langsung karena Inara sudah lebih dulu mengupaskan kulitnya. Di sela-sela obrolan mereka, dia mendapati Valea dan Arlia yang sedang berdebat di sisi sungai. Terlihat kedua gadis itu memegangi ujung kail yang berlawanan. Jelas mereka sedang meributkan pasal siapa yang seharusnya memancing.

Sudut bibir Zhura tertarik. "Mereka terlihat akrab," katanya menahan gelak.

Tuk!

Tuk!

Tuk!

Matahari sudah naik beberapa jam yang lalu, tapi cahayanya tidak mampu mengusir hawa dingin yang menusuk kulit. Ada embun yang menempel di bulu mata saat gadis itu mengeratkan mantelnya. Suara ketukan yang intensif terus diperdengarkan oleh seseorang membuatnya yang kebisingan menengok ke belakang.

"Tolong, bisakah kau diam? Suara ketukanmu membuatku tidak nyaman," pintanya.

Arlia berdecak, menarik jari telunjuknya dari lambung perahu. "Aku tidak pernah memintamu mendengarnya, ini sudah jadi kebiasaanku. Lagipula, siapa suruh duduk di dekatku!"

"Semua tempat di perahu sudah diduduki gadis-gadis, hanya ada tempat paling ujung bersamamu. Aku tidak punya pilihan lain, kau tau!"

"Kalau begitu, kau mau berenang saja? Aku bisa melemparmu ke danau ini jika kau mau." Arlia mengacungkan tangannya seolah bersiap menyerang.

"Tidak, terima kasih." Gadis zamrud mendelik sebelum kemudian kembali mengarahkan kepalanya ke depan. Semua yang ada di sekitar mereka hanya air dan kabut yang mengambang di atas. Jika dibandingkan dengan sebelumnya, maka ini tempat terbasah. Dibagi dalam dua perahu berbeda, mereka semua menyebrangi danau dengan seorang centaurus bertopi bulat besar sebagai juru kemudi.

Aryana, Luther, Inara, Valea, Arlia dan enam gadis duduk bersama Zhura di perahu berukuran besar ini. Sementara Asyaralia, Ramia, Vilois, Ilyza, dan tujuh gadis suci lainnya duduk di perahu kedua. Air danau terlihat tenang, tidak menampakkan tanda-tanda keberadaan buaya. Itu baik juga tidak. Yah air yang terlalu tenang terkadang justru menyimpan sesuatu yang lebih berbahaya daripada buaya. Dan Zhura yakin sesuatu yang lebih berbahaya dari buaya pastilah sangat buruk.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang