"Orang yang tidak berkepentingan dilarang masuk, cepat pergi sana!"Teriknya mentari sudah cukup membuat sekujur tubuh Zhura merah tersengat hawa panas, dan sekarang ia masih dihadapkan pada cobaan lain di mana seorang pemuda berwajah kaku menahannya masuk ke paviliun Azhara. Gadis itu menghela napas, memperhatikan sosok yang kini erat memegang lengannya. Dirinya ingat pemuda itu adalah anak buah yang setia mengekor kemana pun langkah Azhara pergi.
"Kawan, aku harus menyerahkan gulunganku padanya. Tolong biarkan aku masuk," ujar Zhura melepaskan diri. Belum sempat ia melangkah masuk ke dalam bangunan besar di depan, tangannya sudah kembali dicekal oleh pemuda elf bernama Ramia itu.
"Nona, apa kau lupa Yang Mulia sudah menolakmu tadi? Tolong pergilah dari tempat ini. Jika kau berbuat kacau, aku terpaksa melakukan tindakan yang serius," ancam Ramia.
Zhura mengunci tatapannya pada bangunan besar yang berada di ujung istana itu. Begitu terpencil dan jauh dari keramaian, seakan-akan pemiliknya membuang diri dari masyarakat. "Aku tidak ingin mengacau, aku hanya ingin menemuinya untuk berbicara empat mata. Dia mungkin mempunyai kesalahpahaman denganku! Aku harus meluruskan semua hal secara lebih terperinci agar ia bisa berpikir ulang. Setidaknya beri aku kesempatan, aku akan melakukan apa saja agar aku bisa menjadi muridnya!"
"Kembalilah, sudah kubilang tuanku tidak akan mau menerimamu. Masih banyak pelatih tampan yang bisa kau pilih!" kata pengawal berseragam hitam itu.
Bagi Zhura, Ramia benar-benar minta dicekik. Dirinya repot-repot datang ke pavilyun Azhara yang terpelosok jauh di sisi istana adalah bukti bahwa ia sudah membulatkan keputusan. "Kau pikir aku mencari calon suami? Lagipula apakah aku terlihat sekuat itu hingga bisa menyakitinya?" tanyanya jengkel.
"Jangan keras kepala, perilakumu sungguh tidak terkendali. Aku penasaran bagaimana gadis sepertimu bisa-bisanya menjadi gadis suci." Dengan wajah datar, Ramia hanya menggelengkan kepalanya.
Zhura melebarkan pandangan, "Kau pikir aku mau jadi bagian dari mereka? Kalau aku bisa, aku juga ingin lari."
Ia tidak peduli pada alasan gadis asing di depannya, baginya tak ada apapun yang sebanding dengan keamanan tuannya. "Terserahmu saja, pokoknya kau tidak bisa masuk! Ini demi putera mahkota, ia tidak pernah diizinkan menemui sembarang orang. Jika kaisar tahu, dia akan menghukum kalian!"
Satu lubang bersarang di batin Zhura, ia tidak menyangka Azhara begitu terjaga sebegitu ketatnya. Apa yang terjadi hingga Azhara dikelilingi oleh berbagai macam keterbatasan. Permasalahan ini pasti tidak sepele, jika ia mengetahui apa yang sebenarnya menjadi masalah, Zhura mungkin akan lebih mudah menggapai batu biru Azhara. Tapi ini adalah satu-satunya yang bisa ia lakukan untuk memangkas jaraknya dengan putera mahkota itu, sekali pun beresiko, tapi Zhura tidak punya pilihan. Dirinya berlutut, memegangi gulungannya penuh harap. "Kalau begitu aku akan menunggu di sini, aku akan berlutut sampai Yang Mulia menerimaku menjadi muridnya."
Satu.
Dua.
Tiga.
Empat.
Lima.
Enam.
Tujuh.
Hitungan itu dimulai dengan mantap di hatinya, tapi siapa yang mengira ia masih harus menghitungnya hingga beberapa jam terlewat semenjak ia memutuskan untuk berlutut. Burung-burung kembali ke rumah mereka ketika langit menggelap. Sebelumnya Zhura terlalu polos dan mengira ia membutuhkan waktu satu hingga dua jam untuk membuatnya menyetujui permintaannya. Namun, belum ada tanda-tanda Azhara akan keluar atau setidaknya memberikan kejelasan situasinya. Bibir Zhura mengerucut ketika ia menyadari betapa sulitnya menembus dinding putera mahkota itu. Jika ia memang ingin melihat keseriusannya, ia tidak akan pernah bangkit sampai ia datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cursed Journey Of Zhura
FantasyFANTASI ROMANSA Zhura tidak pernah menyangka jika rumah misterius yang ia masuki justru membawanya ke dunia asing yang berpenghuni makhluk aneh. Dirinya dijadikan gadis yang akan dikorbankan dalam ritual maut, lalu ia tergabung dalam kelompok gadis...