33. Penyerangan Malam

79 35 2
                                    


"Benci orang yang bernapas terlalu keras."

Seolah-olah kain hitam dibentangkan sejauh mata memandang, langit begitu gelap gulita karena mangkirnya bulan dan antek-anteknya. Akibatnya malam terlihat muram. Di tengah jalan sepi, Zhura menatap catatan yang Ramia tuliskan pada kertas untuknya. Di kertas tertulis bahwa Azhara tidak suka pada orang yang menghela napas terlalu kuat. Entah benar atau salah, itu yang Zhura tangkap dari pemahamannya karena pengabjadan yang terbatas. Selain poin itu, ada hal-hal lain yang disukai dan dibenci oleh Azhara. Jika dipikirkan lagi, sebenarnya ini sangat menggelikan. Semua poin yang tercatat di sini adalah bukti bahwa Zhura sama sekali tidak mengenal gurunya sendiri.

Bagi gadis itu, pikiran Azhara adalah sesuatu yang pantang untuk tersentuh. Saking tersembunyi tempat itu, palung terdalam di dunia saja kalah. Palung itu sudah pernah terjamah oleh manusia, tapi tidak dengan Azhara. Zhura mengira tidak ada satu orang pun di dunia, yang benar-benar mengerti jalan pikiran pemuda itu. Setelah memposisikan diri sebagai murid yang teladan, Zhura tentu tidak bisa diam saja. Karena itu, ia meminta Ramia menuliskan daftar yang ia ketahui tentang Azhara. Mirisnya, hanya sedikit ruang yang tersisa di kertas yang memuat hal yang dibenci. Sementara kertas yang memuat hal yang disukai masih kosong.

Tanpa sadar senyum jenaka Zhura mencair menjadi senyum miring. Saking tidak ada lagi keinginan untuk berharap dalam hidupnya, Azhara sampai tidak mempunyai apapun untuk disukai. Zhura menyadari perkara ini menjadi lucu sekaligus menyedihkan dalam satu waktu. Sudut hatinya jatuh ketika menyadari ia sudah membohongi pemuda itu dan menggunakannya sebagai tiket jalan pulang. Diremasnya kalung belati di lehernya, mencoba mencari pengalihan. Memikirkan sosok itu sungguh membuat dirinya kelelahan, ia bahkan hampir lupa bagaimana rasanya ketenangan.

Sialnya lagi, Ramia bertanya apakah sejak kecil Zhura hidup di dalam hutan, sampai tidak bisa baca tulis. Kepalanya segera dihantui oleh sebuah pertanyaan. Kenapa semua orang mengerti apa yang ia bicarakan? Padahal dirinya hanya orang asing, di mana--aku Zhura rasa-- ia selalu berbicara menggunakan bahasa sehari-harinya Saat Zhura menanyakannya pada Inara dan Valea, mereka bilang bahwa selama ini Zhura berbicara menggunakan bahasa mereka. Yang Zhura rasakan hanya mengerakkan mulut sesuai kalimat yang ingin ia ucapkan. Tanpa bisa dijelaskan, ternyata selama ini aku berkomunikasi dengan bahasa mereka.

Srak!

Sebuah suara membuat Zhura menghentikan langkah. Ia menahan napasnya ketika menelaah kembali suara yang baru saja ia dengar. Ia tidak yakin jika suara yang barusan adalah suara hewan malam, karena jika diperhatikan suaranya mirip seperti langkah kaki manusia. Saat ia menajamkan pendengarannya, kebisingan samar itu semakin jelas. Suara langkah kaki terdengar untuk yang kedua kali dan itu berasal dari arah jam empat, tempat teratai bulan berada. Gadis itu menggulirkan mata ke sekeliling lingkungan istana. Kenapa di saat seperti ini suasana justru sangat sepi?

"Di mana para penjaganya?"

Tidak ada waktu baginya untuk berburuk sangka, segera Zhura menuju ke barat istana tempat keberadaan teratai bulan itu. Ia berlari secara hati-hati karena kerikil dan tanah yang ada di jalanan membuatnya harus mengatur nada langkahnya. Pada tengah malam seperti ini, suara sekecil apapun bisa terdengar dengan baik. Meskipun sepele, itu bisa mengakibatkan risiko yang fatal, terutama jika yang mendengarnya adalah orang jahat yang sedang mengincarmu.

Zhura menyelinap di balik bayang-bayang bangunan, ia sapukan mata mengelilingi taman di depannya. Jika dihitung, mungkin luasnya lebih dari lima ratus meter. Berbagai tanaman berwarna-warni tumbuh liar atau mungkin--sengaja--ditanam di sisi taman. Tampak kolam teratai bulan berada di tengah-tengah seolah-olah menjadi objek yang harus diperhatikan. Suara langkah kaki sebelumnya jelas membawa Zhura ke tempat ini. Namun, ia berdiri sendirian dengan linglung, seperti orang yang baru saja bangun tidur. Tidak ada seorang pun yang terlihat penglihatannya, hanya ada ia seorang.

Srak!

Suara langkah kaki itu tiba-tiba kembali datang dari balik punggungnya. Kegelapan yang menggelayut menutupi penglihatan gadis itu, tapi itu belum cukup mengaburkan apa yang ada di hadapannya saat ini. Seolah ada ribuan paku yang menancap, Zhura membatu melihat banyak sosok berdiri menghadangnya. Mereka semua berpakaian seragam, hitam bertudung, lengkap dengan pedang mengkilat di tangan kanannya. Pada saat kesadarannya kembali, Zhura yakin bahwa dirinya sudah masuk ke dalam jebakan mereka.

"Siapa kalian?!" tanya Zhura mengangkat dagu. Mati-matian gadis itu menampilkan raut datar untuk menyembunyikan gusar yang mulai membuncah.

Hening, tidak ada satu pun dari mereka yang menjawabnya.

Pembuluh darah Zhura melesat di jantung, itu membuat detakannya cepat dan tak terkendali. Tanpa menunggu jawaban apapun, dirinya berlari menjauh dari orang-orang berpakaian hitam itu. Ia gerakkan kaki membabi buta, tak kenal arah dan kebisingan. Namun, kelincahannya tetap tidak sebanding dengan kecepatan dan ketangkasan orang-orang itu. Pada tikungan sempit dan gelap, Zhura terpojok.

"Apa yang kalian inginkan?!" serunya membuat posisi waspada. Zhura baru saja kembali dari paviliun Azhara setelah mencatat ratusan salinan sebuah buku, ia bahkan tidak tahu apa kesalahannya hingga berakhir dikejar oleh penjahat. Mengingat betapa niatnya mereka memburunya, Zhura yakin ada seseorang yang sengaja menjebaknya. Mungkinkah mereka yang dimaksud oleh Tabib Ma? Orang-orang yang memiliki niat buruk terhadap teratai bulan. Pasti karena keberadaan Zhura membuat rencananya terbongkar. Karena itu mereka berniat melenyapkan saksi supaya rahasianya tetap aman.

Tapi siapa orang yang ingin berniat buruk pada teratai bulan?

Belum sempat Zhura berpikir lebih lanjut, sosok-sosok bertudung itu tiba-tiba menghunuskan pedangnya. Zhura hanya bisa menguatkan mental dan menerjang mereka satu per satu. Berbekal latihan dan tekanan di paviliun Azhara beberapa hari terakhir, kesigapan tubuhnya untuk menerima serangan sedikit meningkat. Namun, suasana tikungan yang gelap menyulitkan gadis itu untuk melihat pergerakan. Karena itu, ia hanya dapat mengandalkan pendengarannya untuk membaca serangan yang musuhnya layangkan. Kepala, perut, pinggul. Zhura menyadari serangan mereka berpusat pada organ-organ penting dan terkesan buru-buru.

Entah apa alasan mereka ingin cepat mengakhiri pertarungan, tapi ini membuat Zhura semakin yakin jika peristiwa ini adalah rencana seseorang. Zhura menangkis sebuah pedang dengan menahan pergelangan tangan si penyerang. Sebelum dia melepaskan diri, ia putar lengannya sebalik arah jarum jam. Alhasil pedangnya lepas dan langsung gadis itu sambar dengan sebelah tangannya. Dengan kekuatan penuh, Zhura menendang perut orang itu hingga terdorong menimpa teman-temannya. Seorang berpakaian serupa lantas maju berlari mengarahkan pedangnya tepat ke arah jantung Zhura.

Gadis itu pun melompat mundur menghindarinya. Sosok yang mendapati targetnya lolos, kembali mengangkat tinggi pedangnya. Zhura menguatkan kuda-kuda seraya memegang mantap gagang pedangnya untuk menahan serangan sosok itu. Kaki Zhura bergesekan dengan tanah ketika tubuhnya terdorong mundur oleh kekuatan sosok itu. Seolah tidak letih, dia terus berusaha mendorong Zhura mundur. Hingga saat permukaan keras menabrak punggung gadis itu, ia benar-benar terjebak dengannya.

"Siapa kau?! Apa yang kalian semua inginkan?!" tanya Zhura masih berusaha bertahan di antara himpitan dinding pagar dan senjata lawannya. Sosok itu tidak tidak menjawab. Matanya yang hitam tajam menunjukkan membunuh adalah tujuan utama hidupnya. Zhura berdecak, menyadari bahwa ini tidak akan berhasil karena cara terbaik melawan segerombolan penjahat adalah kabur.

Cuh!

Ia meludah tepat ke mata sosok di depan. Memang menjijikkan, tapi ini berhasil. Terutama karena Zhura mempelajari cara meludah yang baik dan benar lewat Arlia, gadis angkuh itu terbiasa meludahi seseorang yang tidak disukainya, jadi ia sudah ahli. Sialnya, Zhura terpaksa menirunya. Saat sosok bertudung di depan sibuk mengerjap-ngerjapkan mata, dengan cepat Zhura hempaskan ujung pedangnya. Tanpa menunggu apapun juga, ia luruskan siku mendorong musuhnya ke belakang.

Tubuhnya yang besar jatuh menimpa sosok bertudung lain yang berdiri di belakangnya. Karena hal itu, lantas tercipta ruang lebih di hadapanku. Sebelum mereka sadar dan kembali menghunuskan pedang, segera Zhura keluar dari tikungan untuk melarikan diri. Terdengar umpatan-umpatan kasar khas orang marah. Si sela larinya, gadis zamrud itu menolehkan kepala ke belakang. Terlihat orang-orang itu tergopoh-gopoh bangkit lalu mulai berpencar mengejarnya.

"Ya Tuhan! Selamatkan aku!"

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang