Zhura berusaha memotong gelang Arbutus di tangannya dengan pedang yang pernah diberikan Ibu Suri. Bahan pedangnya yang keras terasa sangat menyakitkan untuk dipegang. Belum lagi bilahnya yang tajam terus menggores kulit lengannya hingga terluka. Ia tahu gelang itu hanya bisa dilepaskan oleh orang yang memasangnya. Namun, gadis itu tetap gigih untuk melepaskan benda pemberian Azhara itu dari sana.
Inara berniat mengantarkan sarapan ketika ia melihat temannya itu bersimpuh tergenang darah. Segera Inara berlari dan mengambil pedang itu.
"Apa yang kau lakukan?!" tanya Inara saat melihat sebelah tangan Zhura terluka parah
"Berikan padaku!" Zhura berusaha mengambil kembali pedangnya.
Namun, Inara membuangnya menjauh. Melihatnya, Zhura lekas terisak menundukkan kepala. Suara tangisannya lirih tapi bahunya bergetar seakan ia merasakan penderitaan yang luar biasa besar. "Aku takut. Tak peduli seberapa keras aku mengabaikannya, dia terus datang. Dia ada di mana-mana bahkan saat aku tidur. Aku tidak bisa menahannya, jika seperti ini bagaimana aku bisa melupakannya?" tutur Zhura frustasi seraya menjambak rambutnya.
"Hentikan!" Inara mengambil lengan Zhura, lalu membalut luka itu dengan perban untuk menghentikan pendarahannya.
Zhura terengah-engah menggelengkan kepalanya, ia menatap marah gelangnya yang kini berubah merah. "Ini semua karena gelang ini! Azhara sangat kejam! Setelah menusuk jantungku, ternyata dia masih ingin menyiksaku untuk terus mengingatnya! Bahkan saat aku tahu perasaanku hanya akan berakhir sepihak, tapi tak kusangka bahwa dia akan sebegini membenciku! Apakah aku benar-benar tidak bisa hidup tenang?!"
"Zhura, tenanglah!" Inara mencoba menenangkannya. "Kau adalah orang baik dan kuat! Kau sangat layak untuk bahagia! Tolong, berhentilah mencoba melepaskan gelang ini, kau cuma akan terluka! Jangan menyakiti dirimu sendiri, kumohon!"
Mata hijau gadis itu tenggelam di kubangan duka. Dengan itu, ia tersenyum miring menatap perban yang kini melilit pergelangan tangannya. "Aku sudah terjebak. Tak pernah kukira aku akan termakan rencanaku sendiri dan berakhir hampir terbunuh oleh orang yang kucintai."
Karena ucapan itu, Inara turut terseret pada kesedihan yang mendayu. Diusapnya bahu Zhura berharap temannya itu akan lebih tegar, kemudian ia memeluknya berbagi kekuatan. Dia berkata, "Semuanya butuh waktu, kau akan melupakannya saat kita sudah kabur dari sini. Ingat, kita akan melewati ini bersama."
Di balik pintu, Valea menahan diri untuk tidak mengatakan apapun. Gadis merah itu tidak pernah setakut ini saat menyimpan sebuah rahasia. Tentu saja, karena ia sedang memegang takdir dua orang yang jika rahasianya terbongkar akan menimbulkan malapetaka yang lebih besar. Karena itu, dengan risiko yang terpampang jelas di balik bibirnya, Valea akan berusaha untuk terus bersembunyi di balik punggung teman-temannya.
***
"Semua persiapan sudah lengkap, Tuan."
Sosok tua yang berdiri dengan tongkat kayu itu mengangguk, ada senyum lebar yang menandakan kepuasan di wajahnya setelah mendengar kabar dari anak buahnya. "Ini adalah saatnya untuk perubahan, setelah ini seluruh dunia akan mencapai puncak kejayaan yang sesungguhnya," ujarnya.
"Saya sudah menempatkan rekan-rekan saya untuk mengamati situasi. Kita tinggal mengeksekusi rencananya di malam perayaan tahun baru," timpal sosok bertudung itu.
Mereka berdua berdiri di lantai atas bangunan yang menghadap langsung ke wilayah penduduk. Sosok tua bertongkat kayu lekat memperhatikan kehidupan di bawah sana, "Kehidupan yang damai ini tidak akan selalu berjalan mulus, terutama karena ini bergantung pada pengorbanan para gadis tak bersalah. Yang aku inginkan hanya dunia baru yang tidak harus mengorbankan nyawa gadis-gadis itu."
"Jika saja Amarhaz bijak, kita semua harusnya sudah terlepas dari kutukan ini sejak ribuan tahun lalu. Tapi yang ia lakukan hanya membuat peraturan ini dan itu atau menjadikan gadis sebagai tumbal. Kau ingat apa yang terjadi pada adikmu? Ritual pengorbanan itu adalah bentuk ketidakmampuan Amarhaz untuk mendapatkan kedamaian dengan cara yang layak."
Mata gelap sosok bertudung menjadi semakin tenggelam dalam bayangan tudungnya karena ia menunduk.
Sosok tua itu memukulkan tongkatnya pada lantai mengkilap di bawahnya hingga berbunyi keras. "Hanya karena takdir mengatakan dunia butuh nyawa gadis-gadis untuk melawan kutukan, Amarhaz terus saja membuat mereka berbaris menjemput ajal. Karena itulah, aku terpaksa turun tangan. Hanya dengan menyerahkan Zhura pada Sacia, kita akan mendapatkan dunia baru itu."
"Kenapa Sacia begitu menginginkan Zhura? Saya mengerti bahwa Zhura berasal dari tempat asing, tapi ada hubungan apa di antara mereka? Apa yang akan Sacia lakukan setelah mendapatkan Zhura?" tanya sosok bertudung mengerutkan keningnya.
"Itu semua tidak penting! Kenyataannya takdir gadis itu terhubung pada Sacia, dan dia akan kembali padanya. Lagi pula kenapa kau begitu memperhatikan gadis itu? Jangan-jangan kau sudah terpengaruh padanya?"
"Tidak mungkin, saya selalu patuh pada perintah Anda," jawab sosok bertudung menundukkan wajahnya lagi.
Jari telunjuk pria tua itu terarah lurus ke wajah anak buahnya. "Tugasmu hanyalah mengawasi gadis itu dan memastikannya tetap dalam jangkauan. Bagiku kau adalah orang yang kupercaya untuk mengantarkan kita ke dunia baru itu. Jika kau ketahuan menyimpan perasaan lebih padanya, siap-siap saja untuk akibatnya, Sin."
Sosok bertudung meletakkan sebelah lengan di dada kirinya. "Aku mengerti."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cursed Journey Of Zhura
FantasyFANTASI ROMANSA Zhura tidak pernah menyangka jika rumah misterius yang ia masuki justru membawanya ke dunia asing yang berpenghuni makhluk aneh. Dirinya dijadikan gadis yang akan dikorbankan dalam ritual maut, lalu ia tergabung dalam kelompok gadis...