78. Sumbu Yang Baru

35 16 5
                                    

Suara hewan-hewan malam terdengar jelas di tengah keheningan. Azhara berdiri bak patung di tengah ruangan yurt, menatap kosong ke udara. Dia masih bergeming di sana, setidaknya sejak Nenek Manira dan Kakek Maral mengantarkan mereka ke tenda ini. Raut enggan terpampang jelas di wajahnya yang pucat. Sepertinya pemuda itu masih belum menerima keputusan Zhura untuk singgah di sini.

Di tempatnya, Zhura masih menggotong barang-barangnya ke sana sini. Setelah semua barangnya tertata rapi, ia mulai sibuk menggelar karpet tidur di lantai. Bahan karpet yang tebal membuat gadis itu kesulitan, bahan tebal tentu saja memiliki berat yang besar. Namun, dengan usaha ekstra akhirnya dia berhasil mengaturnya menjadi alas tidur. Dengan tambahan selimut hangat dan bantal bulunya, kini tempat tidur yang sempurna pun tercipta.

"Sampai kapan kau mau berdiri di sana?" Ia berbalik, menatap pemuda perak itu seraya mendelik. Zhura sadar kekakuan di antara mereka tidak boleh dibiarkan lebih lama. Dengan letih ia berjalan ke arah Azhara. Diraihnya tangan pemuda itu, memaksanya duduk di atas ranjang kayu. Meskipun Azhara tampak tidak niat dan cuma setengah hati, pada akhirnya ia bersedia dihela ke sana.

"Tubuhmu masih lemah, 'kan? Mari hentikan perseteruan ini dan beristirahat. Jangan biarkan dingin memperburuk kondisimu. Bisa-bisa aku nanti repot." Zhura menepuk bahu pemuda itu, lalu kembali ke tempat tidur karpetnya yang seadanya. Sesaat ia memeriksa pintu yurt mereka, memastikan pintu kayu berlapis kulit itu tertutup sempurna sebelum kemudian ia membaringkan diri.

"Karena hanya ada satu tempat tidur, maka aku tidur di lantai. Jangan khawatir, ini hangat." Gadis itu menaikkan selimutnya, lalu memejamkan mata. Hawa malam yang dingin semakin terasa karena angin berembus menghanyutkan. Api di lentera dan perapian yang dinyalakan pun bergoyang membentuk bayangan di dinding tenda. Namun, bukan suhu dingin. Dia tidak bisa terlelap karena punggungnya masih kaku. Tentu saja, bagaimana ia bisa tidur jika Azhara masih menatapnya?

Azhara yang sadar kalau Zhura belum tidur, lantas kembali bersuara, "Kenapa kau begitu berambisi untuk mendapatkan penawarnya? Racun itu sudah menyebar, cepat atau lambat teratai bulan akan mati."

"Itu belum mati, kau tahu sendiri bahwa itu adalah bunga yang kuat-"

Azhara menyela, "Apa karena aku, kau rela pergi sejauh ini?"

Zhura membuka pejaman matanya, melangah. "Kalau aku jawab iya, apa kau akan menusuk jantungku lagi? Aku bertanya, soalnya aku tidak mau dihukum untuk yang kedua kalinya karena berkata jujur."

Nyatanya meskipun embusan angin bertiup lembut, tapi hati Azhara tidak bisa diam mengendalikan degupnya yang menderu.

"Kenapa kau mencabut jarumnya dari jantungku, Azhara?" Zhura beranjak, duduk menghadap lurus pada Azhara. Semua rasa letihnya sudah lenyap. Kini tubuhnya begitu kehausan akan sebuah penjelasan seakan ia harus mendapatkannya sekarang.

Pencahayaan di antara mereka semakin remang-remang. Detik demi detik hanya terisi oleh suara penghubung malam di padang rumput dan deru angin yang bersautan. Mereka berdua berhadapan bersama hening hingga suara berat khas itu terdengar.

"Kau tidak perlu tahu."

Zhura menarik satu sudut bibirnya, tak puas dengan jawaban itu. "Tahukah kau bagaimana perasaanku saat jarum itu ditusukkan ke jantungku? Itu sangat sakit, tapi bukan itu yang membuatku ingin mati. Detik di mana aku melihat kau sendiri yang menusukku, adalah saat di mana hidupku berakhir."

Gemelut mengisi ruang kosong yang bercampur penat, Azhara mengembuskan napas gundah. Decakan keluar dari bibirnya karena ia marah pada dirinya sendiri saat mengingat kejadian itu.

Perkataan Ibu Suri terlintas, memecah kebuntuan di kepala Zhura. 'Tidakkah kau terpikirkan bahwa Azhara bisa saja menyembunyikan sesuatu? Dia mungkin memutuskan kau menjadi tersangka penyerangan itu untuk mencegahmu mendapatkan hukuman lain yang lebih menyakitkan.'

"Apa yang sebenarnya kau sembunyikan? Kenapa kau mengeluarkan jarum itu setelah menghukumku dengan sangat jahat? Kau membuangku begitu saja dan juga memutuskan semua hubungan di antara kita. Tapi sekarang, tiba-tiba kau datang lagi dan memintaku kembali bersamamu ke istana. Apa kau berniat mempermainkanku?"

"Hukuman yang kuberikan adalah bentuk tanggung jawabku sebagai gurumu, sementara untuk penarikan jarumnya, aku melakukannya sebagai balas budi. Tindakan yang lain kulakukan dengan banyak pertimbangan dan bertujuan menjauhkanmu dari bahaya. Tidak ada apapun lagi yang harus kujelaskan." Setelah mengatakannya, pemuda perak itu memilih berbaring memunggungi Zhura, mengabaikannya.

Zhura lantas mengembuskan napas lemah, tampak pias. Ia kembali berbaring lesu, kini matanya yang muram menelusuri ruangan tenda bundar tempat mereka bernaung bersama kesunyian. Meskipun Azhara mengatakan penjelasan sedemikian logisnya, tapi Zhura tetap yakin pemuda itu menyembunyikan sesuatu darinya. Namun, dengan situasi mereka sekarang, jelas mustahil membuat mantan gurunya itu untuk bicara.

Baiklah, tidak apa.

Jika masalahnya adalah waktu, maka Zhura akan menunggunya. Akan ia lakukan apapun untuk membuat mata biru Azhara kembali dan menatapnya seperti dulu.

***

Raja Amarhaz menatap ruangan tempat ia kini berdiri. Keadaan ruangannya yang begitu kosong, terlihat semakin lengang saat ia menyadari bahwa Azhara benar-benar kabur. Bayangan tentang malam di mana penyerangan itu terjadi membuat perasaan pria tua itu mengeruh. Kebangkitan roh jahat waktu itu menebarkan ketakutan lebih besar daripada melihat ribuan pedang beradu di medan perang.

Demi rakyat, Raja Amarhaz menghentikan roh jahat itu dengan mengerahkan seluruh kekuatannya. Pengendalian diri Azhara yang lemah pun memaksanya menarik kekuatan spiritual dan indra puteranya agar roh itu tertahan. Dan lagi, gugurnya teratai bulan menambahkan satu alasan kuat untuk menahan Azhara "Di mana kau sekarang?" tanya pria tua itu pada kegelapan. Sesuatu yang mengganjal mengenai pijakannya, Raja Amarhaz menemukan sisa lilin yang mengering.

Genangan air mata hadir ketika percakapannya dengan Azhara beberapa waktu lalu terngiang.

'Kau harus siap mengorbankan dirimu sendiri seperti seperti lilin yang habis untuk menerangi orang lain.' Ia sungguh benci melihat puteranya tidak berdaya, tapi jika itu berarti keamanan semua orang terjamin, maka Raja Amarhaz tidak punya pilihan selain menempatkan Azhara dalam belenggu. Benar, ia memang jahat. Raja Amarhaz bahkan sudah mendekte dirinya sebagai ayah yang terburuk karena mengorbankan kebebasan darah dagingnya.

Tapi sekarang kedua pundaknya sudah letih, ia hampir putus asa. Hanya jika kehidupan layak itu bisa dimiliki Azhara, berapa pun harganya, akan ia berikan. Hingga saat itu tiba, Raja Amarhaz harus tetap memenuhi tanggung jawabnya sebagai pemimpin, sekali pun ia harus kehilangan jati dirinya sebagai seorang ayah. Sebelah tangannya terangkat, ia memanggil satu anak buahnya untuk mendekat.

"Cari tahu keberadaan Putera Mahkota. Bagaimana pun caranya, bawa dia kembali ke sini!"

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang