89. Derana

27 10 3
                                    

"Maaf bolehkah aku kembali sebentar? Aku merasa sedikit pusing."

"Kau sedang sakit, Nak?" Nenek Manira dan ibu-ibu menatapnya khawatir. "Maaf, sudah merepotkanmu. Terima kasih juga atas bantuannya, sekarang kembalilah dan istirahat."

"Baiklah." Zhura berbalik, berjalan keluar. Tapi ia dicegat oleh Yara, gadis itu meletakkan semangkuk besar sup hangat di tangan Zhura.

"Makanlah yang banyak, Kak," katanya.

Zhura menerimanya dengan senyum tipis, "Kau yang terbaik. Baiklah, aku kembali dulu." Ia meninggalkan tenda dapur, dan kembali ke yurtnya. Banyak anak-anak kecil yang menyapa Zhura, dengan ramah dia memberikan sapaan balik.

"Azhara, aku membawa sup hangat. Kau cobalah." Saat sampai di tendanya, ia melihat ke sekeliling ruangan. Gadis bermata hijau itu mengerutkan kening saat tak menemukan Azhara. Ia mulai panik. Diletakkan supnya di atas meja, lalu keluar mencarinya. Namun, di depan tenda, ia terkesiap melihat pemuda itu berjalan dari kejauhan ke arahnya.

"Darimana saja kau?" tanya Zhura menghampirinya.

Azhara yang terlihat sempoyongan menunduk dalam. Ada ringisan yang ia sembunyikan dari balik selendang hitam yang membungkus kepalanya. Zhura yang melihat kejanggalan pada tingkah lakunya lantas memeriksa sekujur tubuh Azhara dengan matanya. Ada aroma tanah yang bercampur darah saat ia mengendus. Diraihnya sebelah tangan Azhara yang sejak tadi disembunyikan.

"Tanganmu terluka," ungkapnya.

"Aku merasa pengap di dalam dan memutuskan keluar mencari udara segar. Namun, tanpa sengaja aku berjalan ke arah jerat serigala," jelas Azhara sembari membuang pandangannya.

Bohong.

Zhura tahu betul bahwa Azhara tidak terkena jerat serigala. Jika itu yang terjadi, maka seharusnya bagian yang terluka adalah kakinya, bukan tangannya. Dan lagi, luka di telapak tangannya jelas adalah sayatan. Kebetulan yang sangat pas dengan orang-orang berseragam yang ditemukan terluka di hutan. Kecurigaannya mengenai Azhara pelakunya kian bertambah besar. Entah apa yang sebenarnya terjadi, tapi untuk sekarang ia harus berpura-pura percaya.

"Ayo ke Nenek Manira, kita obati ini, ya!" ajak Zhura menarik lengan Azhara, tapi pemuda bertudung itu menggeleng. Zhura yang menyadari sorot keengganan tersebut langsung menghela napas. Ia pun menuntun Azhara kembali ke yurt mereka. Dihelanya pemuda untuk duduk. Pada akhirnya ia sendiri yang mengurusnya. Dengan telaten ia bersihkan darah di telapak tangan pemuda itu, lalu membungkusnya dengan perban.

"Lain kali kalau kau ingin mencari udara segar, katakan padaku. Aku akan membawamu ke tempat yang aman."

Azhara menatap gadis di depannya yang sedang berusaha keras menahan rasa kesal. Ia benar-benar panik saat tak menemukan keberadaan pemuda itu tadi, dan

"Maaf." Azhara membuka suara. Dari sekian banyaknya penjelasan mengenai masalah ini yang Zhura tunggu, tapi malah maaf yang ia katakan. "Untuk hukuman waktu itu, aku sungguh minta maaf."

Zhura menyadari hal yang dimaksudkan Azhara adalah saat pemuda itu menusukkan jarum penyegel itu ke jantungnya. "Aku tidak pernah bilang jika aku tidak pernah marah karena itu, aku cuma sudah melupakannya. Kejadian itu sangat disayangkan karena semuanya hanya berjalan tidak sesuai harapan."

"Aku tidak pernah ingin melukaimu, sejak awal semua yang kulakukan adalah untuk melindungimu." Jika saja tatapan Azhara bisa berbicara, maka sorotnya itu pasti menyiratkan hal yang sama gelapnya dengan badai. "Aku tidak bisa menyimpan terlalu banyak hal lagi." Azhara mengusap tangannya yang terbalut perban. Sudut hatinya berdenyut saat ia mengutarakan sedikit hal yang terus bergejolak di sana. Ia tahu bahwa harapannya tidak pernah bisa menjadi kenyataan, karena itu ia harus mengatakannya setidaknya sebelum ia mati.

Mengembuskan napas berat, Zhura mengerjapkan matanya yang pedas akibat berkaca-kaca. Jadi, apa yang dikatakan oleh Ibu Suri adalah kenyataan. Azhara masihlah pemuda yang ia kenal?

"Apa yang sebenarnya kau sembunyikan? Kau ingin melindungiku dari apa?"

"Kau tidak perlu tahu."

Perkataan Azhara menciptakan keheranan pada Zhura tentang bagaimana ia harus bersikap. Pada akhirnya ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, kesal. "Ini mengecewakan. Dengan mengatakan hal barusan, kau membuatku bersalah karena pernah mengutukmu yang menusuk jantungku. Tapi, saat aku menanyakan alasannya, kau bilang kalau aku tidak perlu tahu. K
Itu berarti kau punya jawabannya, tapi tidak kau tidak mau aku tahu."

"Lailla, jawabannya tidak sepenting nyawamu!" Azhara mendongakkan kepalanya, kini raut wajahnya yang pias terlihat lebih jelas. Menyadari keterkejutan gadis di depannya, Azhara langsung memperbaiki raut wajahnya menjadi lebih lembut.

"Katakan, apa itu?" tanya Zhura menegaskan.

Azhara membuang arah pandang ke sudut ruangan, mengabaikannya. Dengan dada yang naik turun, ia mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.

Tak adanya jawaban yang diberikan sebagai respon untuk pertanyaan membuat Zhura menggeleng lemah, muram. Gadis itu bangkit, memunggungi lawan bicaranya. "Kau masih saja sama dengan yang dulu. Bagaimana pun aku berusaha, aku tidak pernah bisa memahamimu. Sekarang kau tidak perlu menjelaskan apapun. "Kalau begitu pembicaraan kita hanya sampai di sini. Aku tidak akan peduli lagi padamu."

Dibuka langkahnya untuk meninggalkan tenda mereka, tapi tangannya tertahan oleh genggaman Azhara yang bergetar. "Kau adalah orang yang berharga bagiku," ujarnya penuh kesenduan.

Zhura membeku, di sisi lain akalnya giat berjuang untuk tetap bekerja tepat saat telinganya mendengar deretan kata tersebut. Sementara itu, Azhara merintih menahan nyeri sebelum senyum sedih tercetak di bibirnya yang terbuka kembali, "Aku tidak bisa mengatakan apapun lebih dari ini, tapi jangan pernah berpikir bahwa aku tidak memperhatikanmu. Lailla, aku tidak ingin melihat kau menderita. Seandainya saja aku bisa kembali ke masa di mana semuanya baik-baik saja di antara kita."

Bertarung, membunuh, bertahan hidup. Dalam kamus hidupnya di dunia ini, Zhura belum menemukan masa di mana semuanya baik-baik saja. Berbagai hal berjalan sangat kacau, sampai-sampai ia lupa kapan terakhir kali hidupnya terasa tenang. Bahkan ia harus mengakuinya bahwa bertemu dengan Azhara adalah salah satu hal tak ia rencanakan. Ia pikir dengan berjuang lebih keras, ia dapat melalui hal-hal yang datang tak sesuai rencana. Namun, takdirnya terus dipermainkan dan sekarang ia berakhir di sini

"Kenapa sekarang kau memilih mengakuinya?" Zhura menyelami iris putih kelam pemuda layu di hadapannya.

"Percaya atau tidak, aku tidak bisa menyembunyikan ini lebih lama." Kedua tangan si pemilik surai perak tergenggam di samping tubuh, menutup rapat, menyembunyikan kecanggungan atas situasinya.

Zhura mengusap matanya yang basah, lalu berdiri menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Seandainya ada kesempatan untuk kembali seperti dulu, apakah kau akan mengambilnya? Bagaimana jika semuanya terulang dan kau berakhir menyakitiku lagi? Apa yang akan kau lakukan jika suatu hari justru kau sendiri masih menyakitiku?"

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang