138. Dataran Terkutuk

0 0 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.

Valea melongok ke bawah dengan gusar. "Apa yang terjadi?! Kenapa tanahnya tiba-tiba longsor?!"

"Saya tidak tahu, semuanya terjadi secara tiba-tiba." Elf tampan seumuran Ramia menjawabnya. Dia Vilois, sosok yang kebetulan ditugaskan Asyaralia untuk menemani Valea. Sebelum dataran itu runtuh ke bawah, mereka berdua sedang sibuk memeriksa portal di bagian belakang bersama para prajurit muda.

Valea mendengkus kala tak menemukan Inara dan Zhura di atas dataran bersamanya. Mereka berdua pasti jatuh bersama longsoran salju itu. Ditatapnya ke atas. Langit semakin petang, malam hampir tiba, bulan purnama merah juga tidak akan lama lagi. Ini akan buruk jika keadaan tidak segera berubah. Apapun yang terjadi, Valea berdoa semoga teman-temannya baik-baik saja.

Detik berlalu, suasana berubah drastis saat suara dentuman keras terdengar dari arah jam sembilan. Valea bangkit dari berlututnya. Suara dentuman itu diikuti langkah-langkah kaki besar. Menelan ludahnya gugup, gadis merah itu menoleh pada pasukan di sekitarnya. Mereka sudah mengambil ancang-ancang dengan mantap, meskipun raut ketakutan tidak bisa disembunyikan dengan baik di wajah mereka.

Ia dan Vilois saling memberikan kode lewat tatapan mata. Mulai dipersiapkan pedangnya sembari terus siaga. Kedua temannya memang menghilang, tapi dia masih belum sendirian. Masih ada musuh yang harus dilawan, tapi masih ada juga ribuan pasukan yang berdiri bersamanya. Valea yakin inilah saat untuk dirinya, saat di mana ia benar-benar harus tampil sempurna. Baginya, tidak peduli siapa dan sekuat apapun yang ada di depan, ia tidak berniat kalah untuk sekarang.

Di tempat longsoran, orang-orang mulai sibuk mencari jalan naik ke atas. "Percuma, esnya terlalu licin. Pakai tali pun tidak bisa, tingginya hampir delapan puluh dua kaki," ujar Ramia yang baru saja memeriksa dinding es setinggi dua puluh lima meter di sekeliling.

"Adakah cara kita untuk naik?" Asyaralia menimpali.

"Entahlah. Malam sudah menjelang, bulan purnama akan datang, kita tidak boleh diam saja." Aryana meletakkan lengannya di pinggang sembari mengedarkan pandangan. Terhitung sudah setengah jam sejak mereka jatuh bersama longsoran salju. Sejauh ini, tidak ada laporan orang terluka parah akibat itu, tapi sayangnya beberapa di antaranya mengalami cedera ringan.

Jenderal Dima adalah contohnya. Kaki kanannya mengalami nyeri setelah sebelumnya cedera tulang. Elf tua itu kini duduk di atas tumpukan salju dengan kaki lurus. Inara yang berdiri di samping Zhura. Sejak Aryana meminta semua orang berkumpul, gadis elf belum mengeluarkan sepatah kata pun.

Zhura pikir awalnya ia kelelahan, tapi semakin lama ia sadar kalau tubuh Inara semakin dingin. Pasti ada sesuatu yang salah. "Kau baik-baik saja?" periksanya.

"Tidak apa-apa, Zhura." Jawabannya sangat kaku. Inara juga menghindari kontak mata dengannya, seperti ia tidak ingin diajak bicara. Zhura hendak menanyakan keadaannya lagi, tapi atensinya dan semua orang lebih dulu teralihkan oleh teriakan Ra. Dari kejauhan dia melambaikan kedua lengannya.

"Ada sesuatu di sini!"

Mereka semua lekas menghampirinya dengan benak penuh pertanyaan. Raia menunjuk lambang aneh di bawah kakinya. Ukurannya sekitar satu meter diukir di atas lapisan es dengan benda tajam.

"Aku tidak bisa membacanya. Mungkin aksara kuno?" Ra memberi ruang pada semua orang untuk melihat lambang itu.

"Dari sini itu dibaca Zǐsè Shāngǔ. Artinya lembah ungu." Arlia menampakkan eksistensinya.

"Apa itu nama daerah di Firmest?" tanya Asyaralia.

"Bukan, tidak ada nama daerah seperti itu, setahuku," timpal Aryana pada adiknya.

"Itu nama legenda, 'kan?" kata Arlia lagi kini menatap lambang itu dengan raut keruh. "Kisah salah satu dewi agung dengan pemuda biasa. Nenekku sering menceritakannya, dan selalu ada teka-teki yang sama di akhir cerita. Jika dia ada, maka ada kehidupan. Jika dia pergi, maka ada kehancuran. Ketika dia tinggal, kematian pun tak dapat menghentikan impian. Jantung dari tubuh, mata dari hati, jiwa dari semesta. Sampai sekarang tidak ada yang tahu apa jawabannya."

"Jika dia ada, maka ada kehidupan. Jika dia pergi, maka ada kehancuran. Ketika dia tinggal, kematian tak dapat menghentikan impian, jantung dari tubuh, mata dari hati, dan jiwa dari semesta. Apa itu?" Ramia mengusap kepalanya bingung. Di sisinya, Aryana justru terlihat sibuk dengan pikirannya.

Mereka sibuk bergelut dengan benak masing-masing saat getaran besar terasa mengejutkan. Getaran itu diikuti oleh langkah-langkah kaki besar. Tidak berpikir dua kali pun, Zhura yakin sesuatu yang berjalan pasti sangat buruk.

"Sesuatu datang menyerang pasukan di atas, kita harus keluar dari sini dan bantu mereka!" ujar Aryana.

Inara jatuh bersimpuh seraya memegangi perutnya. Semua pasang mata sontak terarah padanya yang kini meringis kesakitan.

"Hei, perutmu berdarah!" Zhura melihat darah di telapak tangannya saat memeriksa baju di bagian perutnya.

Pangeran Aryana tergopoh-gopoh bersimpuh di sampingnya. Rautnya menampilkan sorot terkejut dan khawatir, "T-tunggu! Bagaimana bisa?! Kenapa kau tidak bilang kalau kau terluka?"

Meski raut kesakitan terpampang di wajahnya, tapi gadis elf itu berusaha menunjukkan senyumannya. "Jangan khawatir."

"Ini pasti karena kekuatanmu menghilang. Luka-luka ditubuhmu jadi semakin parah! Kita harus menghentikan pendarahanmu dulu."

"Balut lukanya dengan kain apapun, pastikan itu steril. Kita harus menghentikan pendarahannya lebih dulu. Ramia, aku mengandalkanmu," tutur pemuda itu.

"Baik!"

"Yang Mulia, tanahnya bergerak! Kita akan tertimbun jika terus berada di sini!" ujar salah seorang prajurit.

Dari balik butiran salju yang bertebaran di udara, langit terlihat menguning sebelum kemudian warna gelap mulai memenuhinya. Malam sudah tiba, mungkin belum lama, tapi ini tanda bahwa waktu menipis. Bulan purnama merah akan segera bersinar, dan jika mereka tidak mendapatkan darah sucinya, maka semuanya sia-sia.

"Semuanya tenanglah! Kita akan pikirkan jalan keluar! Hei, kau yang di sana, menjauh dari sisi tebing!" Aryana pontang-panting mengatur keributan yang muncul akibat kekhawatiran para pasukan. Ramia dibantu Luther masih belum selesai membalut luka Inara. Keterbatasan alat medis yang ada membuat prosesnya terhambat.

Zhura memungut sebuah bandul dengan ukiran gadis merak yang tergeletak di atas salju. Segera ia hampiri sosok gadis hazel yang kini berdiri membelakanginya.

"Ini milikmu."

Arlia melirik Zhura sebelum kembali membuang muka, "Aku sudah membuangnya."

Zhura menyodorkan benda bundar itu sekali lagi, "Kau harus menyimpannya, Arlia."

"Masa bodoh! Aku sendiri yang membuangnya, untuk apa aku harus menyimpan sampah?"

"Apa maksudmu? Ini adalah benda penting untuk menunjukkan identitas kita sebagai gadis suci! Lagipula, untuk orang susah, benda ini tergolong benda mewah karena bahannya dari perak. Jika di duniaku, benda sekecil ini bisa untuk membeli sebuah rumah besar."

"Ambil saja kalau kau mau, anggap saja sedekah untuk orang susah. Tidak bermaksud mematahkan keinginanmu untuk rumah besar, tapi kau yakin kita akan pulang hidup-hidup?" Arlia merotasikan bola matanya.

"Tentu saja! Kenapa kau itu tidak mau berharap dan selalu pasrah lebih dulu?"

"Ratusan tahun aku hidup yang aku pahami adalah kekuatan dan kekuasaan yang membuat hidupmu berkesan. Asal kau tahu, aku tidak pernah mengenal istilah 'berharap' sebelumnya. Semua yang kuinginkan, selalu kudapatkan dengan mudah."

Tidak menyangka, pemahaman Arlia ternyata memang seperti yang Zhura kira. "Orang-orang akan jadi penurut jika kau punya kekuasaan, tapi mereka melakukan itu karena takut. Jadi apa senangnya hidup jika ditakuti orang lain? Bukankah itu menyedihkan?"

Pupil mata Arlia membesar. Meskipun hanya sekejap, Zhura sempat melihat raut terkejutnya. Ia juga membuka bibirnya. Entah apa yang hendak ia utarakan, kalimat itu justru kembali tertelan ke tenggorokannya saat suara ledakan terdengar dari atas. Semua orang sontak memandang arah yang sama.

   

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang