123. Arus

0 0 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.

Byur!

Tubuh Zhura mengejang tidak lama setelah ia melompat. Dari bawah air, perahu terlihat seperti bayangan besar yang tidak stabil. Terombang-ambing ke kanan dan ke kiri. Air danau dengan cepat menyerap ke dalam, membawa suhu dingin untuk menusuk tulangnya. Ia tidak begitu pandai berenang, tapi sistem pergerakannya masih bekerja, jadi ia bisa mengusahakan tubuhnya tidak tenggelam.

Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Enam gadis lain terlihat sedang beradaptasi dengan air. Tak lama setelahnya Valea menunjuk dasar danau. Mereka semua mengerti, lantas mulai berenang ke dasar. Di dasar danau tersebut terlihat ada eksistensi sebuah objek. Benda berkilauan, yang dikira adalah barang yang sengaja dibuang ke danau ternyata adalah cermin besar. Seorang gadis mengulurkan jemarinya mengusap permukaan cermin itu. Tak disangka tangannya menembus.

Mereka semua sontak saling bertemu pandang, kemudian memberikan kode satu sama lain. Diawali Valea, satu per satu gadis suci masuk ke dalam cermin. Zhura mengambil urutan terakhir. Detik berikutnya, sensasi aneh tiba-tiba menyerang tubuhnya. Seperti terbang dan dihempas oleh angin ribut yang berputar.

"Akh!" Dia menghantam permukaan keras. Dengan sisa keterkejutannya, Zhura mendapati permukaan tempatnya terbaring kini ternyata dipenuhi air. Basah dan lengket. "Ini di mana?" gumamnya memerhatikan sekeliling dengan waspada.

"Tentu saja dunia bawah, atau alam bawah. Entahlah!" jawab Valea yang ternyata sudah berdiri di sampingnya. Rambut merahnya terurai berantakan, sementara pakaian gadis itu sama basah kuyupnya dengan para gadis.

"Jadi, ini dunia mereka?" Zhura mengibaskan-ngibaskan lengan seragamnya yang basah. Gelap dan pengap, tempat mereka berdiri sekarang adalah gua. Siapa sangka cermin terhubung ke dalam gua dengan dinding batu dan langit-langit yang tinggi pun tidak tergapai. Zhura mengangkat satu kakinya, melihat apa yang sebenarnya terasa lengket dan basah di tanah.

"Kuharap itu bukan lendir," ujarnya.

"Apa pedulimu? Ramuan pak tua tadi hanya bekerja lima belas menit. Kita harus segera menemukan si payah itu dan keluar dari sini."

"Sebenarnya kita sudah menghabiskan hampir tiga menit untuk berenang dan masuk ke cermin, ditambah satu menit berdiri di sini. Jadi, waktu kita tersisa sebelas belas menit," timpal Yiwen, gadis suci dengan mata jingga menyanggah ucapan Valea.

"Wah, jadi kita sudah membuang-buang waktu." Zhura membuka langkah berjalan ke sekitar gua hendak mencari petunjuk. Namun, dia berhenti saat menemukan lipan seukuran tangan orang dewasa tengah menyendiri di sudut gua. Tanpa pikir panjang, segera ia mendekat kembali pada gadis-gadis. Diam-diam ia melirik ke sudut-sudut gua yang lain. Mengantisipasi kehadiran makhluk aneh yang belum mengeksistensikan diri.

"Teman-teman! Kemarilah!" seru Daisy yang sebelumnya juga pergi melihat-lihat ke sekeliling gua. Zhura dan gadis suci lain segera menuju ke sumber suara. "Lihatlah!" ulang Daisy seraya menunjuk cahaya yang terpantul di dinding gua.

"Jalan keluar!"

Bak semut yang menemukan teh manis dalam gelas, mereka segerombol dengan cepat menuju ke arah cahaya. Dan benar saja, cahaya yang awalnya samar itu semakin menguat. Bahkan Zhura dan gadis-gadis lain harus menyipitkan mata saat sampai di ujung. Sekarang tanah lapang dengan kerikil hijau langsung menyapa di balik pintu keluar. Suara air terdengar sangat jelas, langit-langit dipenuhi oleh air.

Terdapat sekat transparan yang memisahkan air di langit dengan tanah tempat mereka berpijak. Cukup bayangkan kau ada dalam stoples dengan tutup transparan yang diletakkan dalam akuarium. Tutup stoples itulah ilustrasi paling relevan untuk langit dunia ini. Zhura pun keheranan, karena daripada dasar danau, tempat ini justru terlihat seperti dunia manusia. Tidak ada bedanya. Yah, kecuali kerikil hijau yang memenuhi tempat lapang ini.

"Apa yang akan kita lakukan?" tanya Yiwen membuyarkan pikirannya.

"Kita jemput dia di sana," jawab Valea menunjuk arah jam sepuluh. Sebuah bangunan megah terlihat berdiri kokoh di antara lapangnya tanah.

"Tapi, bagaimana kita tahu Pangeran Asyaralia ada di sana?" timpal seorang gadis yang berdiri di sampingnya.

Zhura berdehem, melegakan sakit tenggorokannya akibat air danau yang tak sengaja tertelan. "Juru kemudi bilang bahwa Pangeran Asyaralia mungkin dibawa oleh ratu untuk dijadikan pasangan. Apa masuk akal kalau dia ada di tempat ratu itu? Mungkin istananya?"

"Karena itu aku menunjuk tempat itu! Dilihat dari kemegahan dan eksistensinya yang hanya satu-satunya, membuat siapa pun tahu bahwa itu bukan bangunan biasa." Valea mengarahkan jemarinya lebih tajam ke arah bangunan itu, "Lihatlah, ada penjaganya!"

Para gadis menyadari keabsahan perkataan Valea. Tiba-tiba suara langkah terdengar dari dalam gua. Mereka bertujuh sontak bersembunyi di balik batu. Dua sosok asing tampak berjalan dari gua seraya menenteng bingkisan besar. Dari suara celotehannya, Zhura yakin mereka adalah gadis. Wajah dan tubuh mereka tertutupi oleh jubah, jadi tidak diketahui pasti apakah mereka manusia.

Dari gelagat dan tingkah laku mereka pun, sepertinya gadis-gadis itu kurang awas dengan kehadiran mereka. Sepertinya dugaannya benar, gua di depan mereka itu adalah pintu masuk dan keluar dari dunia bawah. Pada saat gadis suci lain sibuk menyembunyikan pucuk kepala, Valea justru terlihat mengangguk-angguk dengan bibirnya yang dihiasi seringai merepotkan.

"Teman-teman, aku punya ide."

Sementara di tempatnya dan rombongan, Inara mengembuskan napasnya, menatap gusar pada danau dari atas perahu. Juru kemudi dan sisa gadis suci lainnya juga tampak melakukan hal serupa. Mereka duduk diam, menunggu dengan tidak sabar kemunculan batang hidung tujuh gadis manusia dari danau.

"Apakah mereka baik-baik saja?"

Aryana menepuk bahu Inara dua kali. "Mereka pasti baik-baik saja," ujarnya menghibur.

"Tapi sudah lebih dari lima menit. Aku tidak bisa diam saja, bagaimana jika mereka dalam kesulitan sekarang?"

Pangeran kedua itu tersenyum kecut, menunduk. "Begitu pun kami, Inara. Asyaralia adalah adikku. Sebagai kakaknya, aku merasa kesal karena tidak bisa memastikan dia baik-baik saja. Tapi, jujur dia memang ceroboh."

Gadis elf itu meremas jemarinya, tertunduk lesu, "Jika mereka tidak muncul dalam sepuluh menit, saya akan menyusulnya."

Mengabaikan percakapan dua orang itu, Arlia memilih duduk di ujung perahu. Menyudutkan diri sembari terus mengetuk-ngetukkan jemarinya pada lambung perahu. Wajah gadis elf itu semakin keruh karena kerutan yang mulai hinggap di keningnya. Dia tidak acuh, itu adalah tampilan yang ia perlihatkan pada semua orang. Tapi jauh pada lubuk hati Arlia, untuk pertama kalinya ia terus berdoa memohon keselamatan seseorang.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang