56. Padam

87 25 7
                                    

"Karena kau adalah gadis suci, ada perundingan untuk meringankan hukuman." Azhara menunjukkan gulungan kecoklatan yang berisi perjanjian antara guru dan murid yang pernah Zhura serahkan. "Jika kau bersedia, aku akan membantu menghapus seluruh perasaanmu. Dengan syarat kau berjanji tidak akan membuat kesalahan yang sama."

Zhura yang berdiri di tempat eksekusi lekas mengeluarkan tawa kering. Di sekeliling gadis itu terdapat sekat berkilauan yang membatasinya untuk keluar. Ia terkurung di dalam mantra pembatas. "Kenapa kita harus berunding? Bukankah sejak awal aku tidak bersalah? Hanya karena aku mengakui perasaanku, kalian jadi menjadikanku kambing hitam!"

Para saksi seperti Raja Amarhaz hingga para tetua terlihat tak menyangka dengan jawaban gadis itu.

"Segala bentuk ancaman harus dimusnahkan," ujar pemuda perak itu getir. "Kau sudah melanggar hukum dengan menyakiti rekanmu karena kedengkian, tidak ada alasan bagiku untuk membela kemungkaran."

"Hei, Azhara. Satu-satunya yang kulakukan hanyalah jatuh cinta, apakah itu kejahatan?"

"Itu kejahatan!" sentak Azhara. "Itu yang terburuk."

"Lalu, kenapa Carmina boleh merasakannya, tapi aku tidak?" Zhura tak mengira akan sesakit ini membahas gadis lain di hadapan orang yang ia cintai.

"Itu karena dia menjaga perasaan itu tetap di tempatnya. Sedangkan kau memilih menggunakan kekerasan untuk meraih obsesimu."

Semua pasang mata memandang perdebatan itu dengan benak bermacam-macam.

"Saat-saat di mana kita bersama dalam damai terasa menyenangkan. Aku penasaran apakah sampai sekarang kau sungguh tidak mempercayaiku? Apa kau sangat membenciku?! Seburuk apa aku di mataku hingga kau terus menginjak-injak harga diriku di depan semua orang?!" Zhura terisak.

Azhara mengalihkan pandangan, ia tak sanggup melihat tangisan Zhura. Meski pemuda itu mengerahkan segala usaha pengendalian dirinya agar terlihat teguh, faktanya bersikap dingin seperti ini terasa sangat melelahkan. Sialnya ia tak punya pilihan, ia harus melakukan ini agar gadis itu menyerah pada perasaannya. Jika orang lain sadar bahwa Azhara sudah goyah, maka Zhura akan dilenyapkan menjadi abu.

Satu-satunya jalan keluar adalah menjadikan Zhura sebagai tersangka kasus penyerangan. Meskipun hukumannya menyakitkan, tapi setidaknya ia masih punya kesempatan untuk selamat. Lebih baik Azhara melihat gadis itu membencinya, daripada ia yang harus melihatnya mati.

"Waktu berunding habis, apa kau benar-benar tak ingin berubah pikiran?" tanya Azhara menunjukkan gulungan itu lagi.

Zhura menggelengkan kepalanya. Seruan keras datang dari para gadis suci. Sebagian merisak Azhara untuk mempercepat eksekusi, sisanya berseru meminta Zhura berubah pikiran.

"Kau sudah memutuskannya. Detik ini juga hubungan yang pernah terjalin sudah putus, kita adalah orang asing." Api biru yang panas muncul dari tangan Azhara, membakar gulungan perjanjian itu dalam sekali kejap. Abunya berjatuhan layaknya serpihan hati Zhura. Sebuah cahaya menyilaukan pun berpijar dari tangan Azhara yang lain. Jarum kecil dan tipis kini ada di genggamannya.

"Sekarang waktunya untuk hukumanmu."

"Ada hal terakhir yang ingin kutanyakan." Satu lagi tetes air melesat di pipi Zhura yang memucat. "Apa ada sesuatu atau seseorang yang pernah menggoyahkan keteguhanmu? Apa kau pernah ingin melanggar aturan untuk sesuatu yang sangat berharga di hidupmu?"

"Tidak."

"Ternyata kau benar-benar tak tergoyahkan, kuharap kau akan selalu teguh," jawab Zhura. Jika pemuda itu sudah membulatkan tekadnya, begitu juga dirinya.

"Tolong hentikan!" seru Inara dan Valea berlari ke arah Zhura, tapi aksi mereka ditahan oleh Arlia dan teman-temannya.

Azhara menatap gemetar di jemarinya. Ada banyak perasaan segan saat ia mengarahkan benda itu pada gadis di depannya. Zhura kini pasrah, bersiap pada apapun yang akan terjadi. Suara lesatan terdengar, Azhara melepaskan jarumnya. Itu melayang dengan cepat dan menembus jantung gadis itu. Rasa sakit segera menyebar ke seluruh tubuh, tak perlu menunggu lama hingga darah keluar dari mulutnya.

"Argh!" Zhura tersungkur ketika nyeri luar biasa bersarang dalam dadanya.

"Kau tidak pernah mengecewakanku." Raja Amarhaz menepuk bahu Azhara, lalu berlalu.

Tuan Minra berada di belakangnya. Ia berujar, "Tidak ada apapun yang pantas dipertaruhkan demi kedamaian dunia. Seperti yang selalu Yang Mulia katakan, segala macam ancaman harus dimusnahkan. Keteguhan Anda sungguh luar biasa." Setelah menunduk hormat, pria elf itu turut pergi dari tempat eksekusi. Di tempatnya, Carmina tak kuasa menahan senyum kemenangan.

Ketika puncak nestapa itu datang, semua yang Azhara lihat menjadi kabur tergenang air mata. Tak ingin membuat orang menyadarinya, ia berbalik. Dengan wajah kosong, ia berbisik pada udara, "Bersama jarum itu, kau akan melupakan semuanya. Tidak ada lagi ingatan mengenai hari-hari menyenangkan itu. Kau tidak akan merasa takut lagi, karena setelah ini kau akan mulai hidup untuk dirimu sendiri.

"Lailla!"

Seruan Inara dan Valea terdengar samar karena telinga Zhura berdengung. Dengan payah ia menilik Azhara. Pemuda itu pergi menjauh, meninggalkannya. Bibir Zhura yang berlumuran darah kini tersenyum. Tidak peduli seberapa keras usahanya mengejar Azhara, ia hanya akan selalu berakhir menatap punggung pemuda itu. Jika saja dirinya tahu akhirnya akan seperti ini, lebih baik ia tidak perlu mengenalnya sama sekali.

"Lilin merasa bahagia jika dia menyala untuk orang yang mengagumi cahayanya."

Rasa sakit yang dahsyat membuat Zhura kehilangan senyuman, wajahnya kini dipenuhi kemarahan. Mata hijaunya nyalang, terpaku pada sosok perak yang tak lagi mengindahkannya.

"Karena orang yang mengagumi cahayanya pergi, tak ada lagi alasan untuknya tetap menyala."

Mulai detik ini, ia padam.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang