60. Dirinya Yang Baru

80 25 3
                                    

Inara menyerahkan mangkuk berisi obat pada gadis di hadapannya.

"Ayo, minumlah selagi hangat," ujarnya.

Kedua tangan Zhura memegang mangkuk itu dengan hati-hati. Dia tersenyum kecil, tapi matanya sayu. Diminumnya obat itu perlahan, kernyitan muncul di keningnya karena merasakan pahit yang teramat.

Valea melihatnya, lantas berujar, "Tabib Ma yang membuatnya. Itu bisa mengembalikan stamina dan meringankan rasa sakitmu. Jadi, abaikan rasanya dan minum saja."

Matahari bersinar terang, tapi tubuhnya tidak merasa hangat. Entah bagaimana, Zhura tidak bisa merasakan bugar bahkan setelah ia menandaskan obatnya. Ditatap wajah-wajah temannya, "Sampaikan terima kasihku pada Tabib Ma, aku terlalu sering merepotkannya."

"Tentu saja," jawab Inara meraih mangkuk Zhura dan berjalan menuju nakas. Saat ia membungkuk untuk meletakkan mangkuk di nampan, sesuatu terjatuh dari sakunya. Itu adalah gulungan untuk bimbingan guru dan murid yang diberikan oleh Pak Dima.

"Apa itu?" Zhura memperbaiki posisi duduknya.

Inara lekas bertatap mata dengan Valea. Tak ada kesempatan untuk berbohong membuat ia terpaksa mengakuinya. "Ini adalah surat pengantar untuk pergantian pembimbing dari Pak Dima. Dia menitipkannya padaku. Mulai saat ini dia adalah gurumu."

Zhura melangah, "Aku mengerti."

Di tempatnya Valea menahan napas karena situasi berubah kaku. Inara mau tak mau mencari cara untuk melunakkannya. "Zhura, jangan khawatir. Kita akan selalu bersamamu. Tidak akan kubiarkan ada yang menyakitimu lagi, kita bertiga akan menjaga satu sama lain."

"Terima kasih banyak," jawab Zhura diikuti genggaman tangan yang erat. Ia seperti berada di titik bawah hidupnya dan membutuhkan banyak dukungan. "Maaf, karena aku, kalian jadi kesulitan."

"Jangan bilang seperti itu, sudah kubilang kita ini keluarga," timpal gadis elf itu.

Zhura mendongakkan kepalanya ke pepohonan yang rindang di depan jendela. "Sebelumnya kukira hati yang dingin bisa luluh dengan ketulusan, ternyata aku salah. Karena berjuang mengejarnya, hati terlalu keras itu justru melukaiku begitu kejam. Ini senjata makan tuan." Tawa parau lolos dari bibirnya.

"Sudahlah." Valea mendekatkan diri, duduk di sisi Zhura. "Kita tahu bahwa ini salah Carmina, dia pasti yang menjebakmu."

Inara mengangguk, "Benar."

"Seandainya itu benar, tetap saja yang memutuskan tersangkanya adalah dia. Bahkan setelah apa yang kami lewati, ia tetap tidak mempercayaiku. Karena baginya aku orang asing, ia jadi memilih membuangku. Luka ini adalah bukti bahwa aku bukanlah hal yang patut dihargai." Zhura menyentuh dada kirinya. "Kenapa juga aku masih bisa mengingatnya, padahal jarum itu ada di jantungku?"

Valea menelan ludahnya, ia yakin kalau jarum itu sudah diambil oleh Azhara. Itu sebabnya Zhura masih bisa mengingat semua perasaannya. Sepertinya pemuda itu tidak ingin Zhura melupakannya, karena dia juga mencintai Zhura. Haruskah Valea memberitahu temannya itu kalau Azhara datang dan mengeluarkan jarumnya?

"Sebenarnya jarum itu ...-" Tunggu! Jika Valea memberitahukan itu, sama saja ia mengungkapkan perasaan Azhara yang sebenarnya pada Zhura. Jika itu terjadi, nyawa Zhura terancam dilenyapkan. Tidak, Valea tidak bisa melanjutkannya. Lebih baik, ia menyimpan hal ini demi keselamatan gadis itu. Dia menggeleng, "Tidak apa-apa."

Zhura mencengkram jantungnya yang berdegup kencang, "Bahkan meskipun aku tahu semuanya di antara kami hanya kepura-puraan, tapi aku tetap saja hancur saat ia mengarahkan jarum itu padaku."

Pandangan Inara tergenang air mata, dengan lembut ia menggenggam tangan Zhura. "Semuanya butuh waktu. Lagi pula kau bukan Lailla, kau adalah Zhura. Perasaan dan kenangan itu adalah milik Lailla, yang ada di sini adalah dirimu. Aku yakin kau pasti bisa melepaskannya."

"Lebih baik fokus saja pada pemulihan dirimu. Perayaan tahun baru akan dilakukan beberapa hari lagi. Saat itu, kita akan kabur bersama-sama. Untuk batu birunya, kita akan cari cara lain. Yang terpenting kita harus keluar dulu dari sini," jelas Valea.

Anggukan Zhura berikan sebelum mengusap air matanya dengan lengan pakaian. "Kalian benar, aku adalah Zhura. Sejak awal misiku hanya untuk mencari jalan pulang. Aku tidak akan membiarkan ada gangguan menghalangi rencanaku." Gadis itu bangkit menuju sisi jendela, mata hijaunya menetap di antara awan putih yang melayang di langit.

"Saat di mana jarum itu menusuk jantungku adalah saat bagi Lailla mati. Mulai sekarang, yang ada hanya Zhura yang akan hidup untuk dirinya sendiri."

***

Ramia memperbaiki selimut yang membungkus separuh tubuh Azhara. Udara di luar begitu hangat, tapi tubuh bergeming itu tersapu dingin. Dengan lingkaran hitam di bawah mata, pemuda elf itu duduk termenung. Semua ini berawal sejak ia menemukan Azhara terkulai di depan paviliun di tengah malam. Ramia sangat terkejut menyadari ada jarum penyegel di dalam dada tuannya. Itu pasti jarum yang ia ambil dari Zhura.

Namun, tidak pernah ia sangka Azhara ternyata memasukkan jarumnya ke jantungnya sendiri.

Ramia tampaknya sedang kebingungan. Sesuai permintaan tuannya, ia tidak diperbolehkan memanggil tabib. Alhasil, ia hanya merawat Azhara dengan kemampuan medisnya yang terbatas. Sebenarnya dia membutuhkan orang yang lebih ahli dalam bidang ini agar tuannya bisa segera pulih. Namun, jika ia memanggil tabib istana, mereka akan tahu kalau Azhara mengambil jarum itu.

Suara ketukan terdengar, Ramia mengerutkan kening melihat seorang penjaga berdiri di depan pintu.

"Pak Dima meminta izin untuk bertemu Yang Mulia," jelas penjaga itu.

"Katakan Yang Mulia sedang tidak sehat. Minta dia untuk atur ulang pertemuan." Ramia tidak bisa membiarkan orang lain melihat kondisi tuannya.

"Tapi dia bilang ini sangat penting."

Ramia tercenung. Hal apa yang begitu penting sampai-sampai pria tua itu memaksa menemui tuannya?

   

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang