"Mohon terimalah pemberian dari saya, Yang Mulia!"Dengan gemetar samar di kedua tangan, gadis itu mengabaikan seluruh harga dirinya untuk menunduk sempurna pada sosoknya. Namun, faktanya daripada memberikan hormat, Zhura lebih berniat untuk membuang muka dari sorot pemuda sialan itu. Sejak terakhir kali mereka bertemu, tidak sedikit pun batinnya berdamai akan rasa gelisah bahkan saat Zhura meyakinkan dirinya kalau ia tidak bersalah. Meskipun kedatangan Zhura tidak bisa disebut pada waktu yang tepat, tapi sekarang juga bukan waktu yang salah.
"Lailla, apa yang sedang kau lakukan?"
Bukan Azhara, suara Ramia adalah yang menyahutnya. Padahal Putera Mahkota itu duduk tepat di depan Zhura. Gadis itu bahkan bisa melihat dengan gamblangnya ujung kaki Azhara ketika menunduk, tapi pemuda itu dengan sombongnya bersikap bak tokoh figuran. Mengabaikan rasa sakit hati, Zhura memberanikan diri mengangkat pandangan. Seolah-olah pemuda perak itu tengah berada di ruangan berwarna putih, di mana Zhura yang menjadi porosnya. Siapa sangka mata Azhara telak menatapnya juga, melekat dan tidak berpindah.
"Saya ingin memberikan hadiah sebagai ucapan terima kasih pada Yang Mulia karena sudah menerima saya menjadi murid Anda," ujar Zhura menyodorkan sebuah kandang kayu kecil yang susah payah ia buat dengan bantuan Inara dan Valea.
"Apa itu?" tanya Ramia seolah-olah menyuarakan isi hati tuannya.
Zhura terdiam, melirik ke arah pepohonan sakura di sekitarnya saat mencoba mencari kalimat yang cocok. Pada saat berikutnya, ia jatuhkan pandangan pada Azhara yang duduk dengan balutan jubah kehijauan sederhana. Di depannya terdapat meja kecil lengkap dengan secangkir teh yang masih mengepul. Terlihat banyak lembaran yang tertumpuk di sisi meja membuat Zhura yakin pemuda itu baru saja bersantai setelah menyelesaikan pekerjaannya. Suasana hati Azhara pasti membaik hingga memutuskan keluar dan menghabiskan waktunya dengan minum teh.
"Sebuah berkah." Zhura membuka kain penutup kandang kecil di tangannya. Makhluk di dalamnya langsung saja terungkap keberadaannya oleh mata dua orang itu.
Seperti biasa Azhara tidak mengatakan apapun, tapi anak buahnya terlihat sangat terkejut. Ramia mendekat, "Darimana kau mendapatkannya? Kau tahu, Lailla? Ini adalah burung osiris yang berasal dari Gunung Lan. Gunung itu berada di Dataran Tinggi Hou'dabor yang berada di atas awan," ujar Ramia menyebutkan nama tempatnya dengan jelas, seolah-olah sedang mengajari seorang anak kecil tentang urutan alfabet yang benar.
"Aku mendapatkannya di hutan dekat rumah jembalang pemasok rempah-rempah," jawab Zhura ikut mengamati makhluk kecil itu dengan puas. Sepertinya ia baru saja menangkap hal yang berharga. Namun, sejujurnya ia sedikit bingung dengan penjelasan pemuda di depan itu. Dia bilang bahwa burung yang ia bawa berasal dari sebuah dataran di atas awan. Entah wawasan Zhura yang terbatas atau memang ada tempat seperti itu di dunia ini. Bagi Zhura dataran itu adalah tanah, dan tanah itu hakikatnya di bawah langit.
"Setiap seratus tahun, burung osiris akan turun ke tempat yang rendah seperti empat dataran lain. Silvermist adalah salah satu dari tempat tujuannya. Mereka turun selama beberapa hari sebelum kemudian terbang kembali ke Gunung Lan. Kau beruntung bisa menemukannya," ujar pemuda berpakaian keabu-abuan itu seraya memasukkan jarinya ke dalam kandang. Ia mencoba memegang burung kecil yang mengerjap-ngerjap ketakutan itu.
Zhura mengulum senyumnya, sebelum Azhara mengeluarkan kata pertamanya pada Zhura. "Aku tidak bisa menerimanya."
"Memangnya kenapa?" tanya Zhura menatap pemuda itu yang hanya dibalas dengan tatapan datar.
Ramia menggeleng, berdiri kembali. "Tuan Azhara tidak diperbolehkan memelihara hewan. Kau paham, 'kan?" tanyanya.
Bahu Zhura luruh saat ia merasakan kecewa. Dirinya ingat batasan-batasan itu, segenap peraturan yang dibuat raja untuk Azhara agar pemuda itu terhindar dari pikiran maupun energi negatif lainnya. Semua hal itu dilakukan atas dasar tujuan baik, tapi entah bagaimana Zhura justru merasa itu tidak baik bagi Azhara. Dia seorang manusia, makhluk hidup, tetapi tidak pernah merasakan bagaimana hidup seperti manusia normal. Ia menjatuhkan pandangan pada kakinya yang hanya menggunakan kaus kaki putih. "Anggap saja burung ini seorang teman, seperti Anda menganggap Ramia. Biarkan dia berada di sisimu juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cursed Journey Of Zhura
FantasyFANTASI ROMANSA Zhura tidak pernah menyangka jika rumah misterius yang ia masuki justru membawanya ke dunia asing yang berpenghuni makhluk aneh. Dirinya dijadikan gadis yang akan dikorbankan dalam ritual maut, lalu ia tergabung dalam kelompok gadis...