96. Serbuan

8 1 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.

Segerombol pasukan mendekat ke pemukiman suku Wiyyam. Api yang dinyalakan di obor sebagai penerangan mereka membuat hutan terang benderang. Hewan-hewan di pohon yang terusik berlarian menjauh, kesunyian yang tentram seketika hilang. Azhara menajamkan pendengarannya. Pasukan itu berjumlah ribuan, terlalu besar untuk pasukan yang ditugaskan menangkap dua orang yang kabur.

"Aku akan mengatasi ini, kau pergilah dan evakuasi warga. Sembunyikan diri kalian di sisi selatan bukit," tutur Azhara lalu berniat pergi, tapi Zhura menahan tangannya.

Gadis bermata hijau itu menggelengkan kepalanya, "Mereka ada banyak, dengan keadaanmu sekarang kau tidak akan sanggup melawannya! Kita peringatkan saja warga dan kabur bersama mereka, setidaknya kita semua akan baik-baik saja."

"Kita bisa terus kabur, tapi Yara dan yang lain tidak. Mereka butuh rumah dan tempat yang aman untuk tinggal. Dengan adanya kita, mereka akan terancam. Satu-satunya jalan adalah dengan menghentikan musuh di tempat ini juga. Sebagai gadis suci kau harusnya paham." Azhara melepaskan tangannya dari Zhura.

Kesedihan yang tergambar di wajahnya. Ia pikir Azhara terus menerus mengatakan hal yang tak bisa ia tepati termasuk untuk bersamanya. Meski begitu ia tidak bisa melakukan apapun. Seraya terisak kalut, "Pergilah!" Ia harus mengalah pada egonya.

Azhara merasakannya, sorot ratapan Zhura.

"Kau akan baik-baik saja." Perlahan jemari Azhara mengusap kening itu, menyampaikan bagaimana perasaannya yang tak lagi dapat dibendung. Dengan lembut, ia mendaratkan bibirnya pada pucuk kepala si gadis.

"Hm." Kenyataan bahwa yang ia katakan tetap baik-baik saja bukanlah dirinya sendiri membuat Zhura terbenam kekalutannya.

"Aku sangat Senyuman terbit di sana saat air matanya justru keluar. Bagaimana hatinya yang bergetar menandakan rasa sakit yang akan segera membunuhnya. Setidaknya ia bisa tenang karena ia hidup di hati Zhura.

"Jangan takut, ini akan segera berlalu." Azhara menarik dirinya, berjalan menjauh tanpa memandang gadis itu lagi.

Di tempatnya Zhura menyentuh satu tetes air mata Azhara yang sempat menetes di pipinya. Ia melepaskan Azhara yang terlihat semakin jauh dan jauh. Mengabaikan getir di hatinya yang menggebu, ia bergegas kembali ke pemukiman. Pasukan Shar itu sudah melancarkan anak panahnya ke tenda-tenda warga. Saat Zhura sampai di sana orang-orang riuh saling berlarian. Sementara orang-orang dewasa mencari perlindungan, anak-anak mereka menangis ketakutan.

"Kau darimana saja, Kak?!" tanya Yara melihat Zhura. Elf muda itu tengah berlari untuk menyelamatkan diri. "Orang-orang bersenjata itu, kenapa mereka menyerang kita?! Siapa sebenarnya mereka?!"

"Itu tidak penting! Sekarang suruh semua orang ke sisi selatan bukit!" seru Zhura mengedarkan pandangannya. Keadaan di sekitar sungguh porak-poranda. Deretan yurt yang dibangun rapi sudah tak berbentuk. Pasukan Shar benar-benar berniat membunuh semua orang.

"Kenapa ke sana?!" Yara tidak paham.

"Lakukan saja!" Zhura meraih anak kecil yang hampir terkena anak panah dari pasukan Shar. Gadis itu membawa anak kecil itu bersamanya, seraya terus berteriak pada orang-orang untuk menuju selatan bukit. Hawa panas lain datang dan bertabrakan dengan situasi kacau. Zhura melihat pasukan itu sudah memasuki wilayah pemukiman.

Yara pun berteriak, "Telepati! Siapa pun elf yang bisa telepati cepat ke mari!" Ia terus menyerukan itu berulang-ulang hingga seorang gadis seusianya mendekat. Ia berkata bahwa dirinya bisa telepati. Yara pun menjelaskan kalau ia harus mengumumkan kepada semua orang untuk bersembunyi di sisi selatan bukit. Mendengar pengumuman itu di dalam kepalanya, semua orang pun langsung menuju ke tempat itu.

"Di mana Kakek Maral?" tanya Zhura.

Yara mengerjap saat asap dari tenda yang terbakar mengenai matanya. "Dia bersama para pria melawan orang-orang jahat itu!"

"Lalu, Nenek Manira?"

"Dia tadi mengamankan orang-orang yang saling berlarian, kupikir dia ada di sana," tunjuk Yara ke suatu arah.

"Bagus, minta dia pimpin kalian ke sisi selatan bukit. Jangan kembali ke sini sampai semua benar-benar aman," ujar Zhura seraya menyerahkan anak kecil digendongannya pada Yara.

"Aku pergi dulu."

"Apa? Kau mau ke mana lagi?!" Yara berdecak, tak bisa menahan kepergian Zhura. Dia pun tak punya rencana selain berlari menuju Nenek Manira.

Zhura mencari-cari keberadaan Azhara, tapi ia tak menemukannya. Luluh lantaknya pemukiman membuat segalanya terlihat kabur. Dengan senjata seadanya yang ia temukan di rumput, ia menyerang orang-orang bertudung itu. Zhura mengambil pedang milik Shar yang tergeletak di tanah, lalu menghalau lesatan anak panah yang menuju kepala Kakek Maral.

"Nak, kenapa kau ada di sini?! Cepat berlindung bersama yang lain!" seru pria tua itu.

"Jangan khawatir, saya baik-baik saja." Zhura menunduk ketika sebuah anak panah melesat padanya.

"Aaakh!" Seorang rekan Kakek Maral terjungkal dengan  tombak yang menancap di dadanya. Kakek Maral yang melihat itu marah besar, pria itu lekas maju menyerang para Shar. Zhura termenung, ia melihat sekelilingnya dengan sedih. Bau darah, api, dan besi yang tajam menusuk hingga ke dalam dirinya. Sekarang ia paham kenapa dulu Azhara kekeh tidak mau tinggal. Kehadiran mereka berdua di sini ternyata merupakan ancaman, kenapa ia baru menyadarinya sekarang saat semuanya sudah terjadi?

Sebuah anak panah menancap di bahunya, Zhura pun jatuh. Ia masih bisa bangkit hendak menjauh, tapi puluhan orang Shar lebih dulu menghadangnya. Zhura mencabut anak panah di bahunya, untuk kemudian mengayunkan pedang melawan musuh. Tapi, satu gadis berlawanan dengan tiga puluh pria bukanlah perbandingan yang setara. Ia kalah dengan telak. Rintihan keluar dari bibir Zhura saat orang-orang Shar itu menginjakkan kaki mereka di punggungnya.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang