58. Melebur

107 33 7
                                    

Angin berembus menghanyutkan, Azhara menyadari dia sedang berada di atas awan. Tubuhnya yang terbungkus jubah putih diterpakan sinar mentari sore kemerahan. Bukankah ia harusnya sedang tidur? Kenapa sekarang ia ada di sini? Pemuda itu menoleh ke kiri, seorang gadis bermata hijau tampak berdiri merasakan kesejukan. Senyum manis terpancar di wajahnya yang bersinar. Ketika melihatnya lebih lama, Azhara merasakan damba yang bergejolak.

Ada tawa yang pecah ketika gadis itu beralih menatap Azhara. "Guru sangat baik, Lailla sangat senang," ujarnya penuh riang.

"Kau ada di sini?" Azhara mengamati sosok di sampingnya, rasanya sudah lama sejak ia melihat mata yang dipenuhi cahaya itu menatapnya.

Zhura mengusap sebelah telinganya yang memerah, tersipu. "Ini adalah hari yang terindah di sembilan belas tahun hidupku. Terbang dan berdiri di atas awan bersamamu terasa sangat menyenangkan. Saking senangnya, aku hampir mengira jika ini adalah mimpi. Sepertinya aku mungkin akan mengingat ini selamanya."

Sepasang tangan mungil itu lalu meraih tangan Azhara. "Bagaimana denganmu, apa kau akan mengingat hari ini selamanya?"

Pandangan Azhara tidak berpindah seakan-akan gadis itu akan pergi jika ia mengedipkan mata. Kerinduan, suatu perasaan yang Azhara yakini adalah bentuk kelemahan seseorang, ternyata datang menyerangnya.

"Saat dunia benar-benar sudah damai, bisakah kita menghabiskan waktu bersama untuk berkeliling dunia?" Gadis itu menunduk, menunjuk pemandangan di bawah mereka. "Lihatlah, itu sangat indah!"

Azhara membawa tangan Zhura pada genggaman erat. "Tentu saja, ayo kita lakukan itu."

Zhura menyimpulkan senyuman lebar hingga sudut matanya melancip. Azhara menyelami iris hijau yang menggelora itu. Mereka beradu pandang, saling berbagi perasaan yang menentramkan hati.

"Azhara!"

Suara lain memanggilnya, begitu keras menggaung di langit. Zhura yang ada di genggamannya tiba-tiba menghilang, kepergiannya tergantikan oleh Zhura lain yang berbeda. Azhara menoleh ke arah jam enam. Di sana, Zhura lain berdiri menatapnya penuh kebencian. Tubuh gadis itu sekarat, dipenuhi luka yang darahnya menetes hingga menembus awan.

"Lailla?" Azhara melihat pemandangan itu dengan kecamuk dalam kepalanya. Bahkan saat angin bertiup kencang, perasaannya panas seakan ada bara yang dibakar di dalam dadanya.

Zhura menunjuk jantungnya yang berlubang. "Jarum ini adalah bukti dari keteguhanmu. Sebuah tekad yang kau bangun atas nama kemanusiaan, yang justru berakhir menyakitiku. Inikah balasanmu atas apa yang selalu kuberikan?"

"Lailla, aku ...-" Azhara mendekat, tapi Zhura mundur dengan wajah muak.

"Bisa menghabiskan hari bersama denganmu adalah saat terbaikku. Namun, setelah semua yang kita lewati, ternyata kau masih tidak mempercayaiku. Seburuk apa aku di mataku hingga kau terus menginjak-injak harga diriku di depan semua orang?!" Zhura mulai terisak, terkadang ia merintih kesakitan saat lukanya mengeluarkan darah lagi.

"Lailla, aku tidak pernah berniat menginjak-injak harga dirimu." Pemuda itu membuat sangkalan.

"Kau melakukannya!" Tawa parau keluar dari bibir Zhura yang basah akibat cairan merah. Ia menegakkan punggungnya, menunjukkan sorot menantang. "Satu-satunya yang kulakukan hanyalah jatuh cinta, tapi kau tetap menghukumku! Jadi, aku adalah seorang penjahat karena punya perasaan?!"

"Tidak," ujar Azhara, tapi suaranya yang terlalu lirih menghilang tertiup angin senja.

Lagi-lagi Zhura tertawa, tapi kali ini matanya terbuka penuh kesedihan. "Aku tidak percaya kalau kau benar-benar membuangku. Karena kau sudah memutuskan hubungan kita, sekarang kita adalah orang asing. Kita akan melewati jalan masing-masing. Tapi sebelum itu, aku ingin bertanya."

Jemari Zhura yang memucat kini bergetar mengusap udara. Angin lekas menerpa wajah Azhara yang mendingin. "Azhara, ribuan tahun sudah kau lalui, pernahkah sesuatu menggoyahkan keteguhanmu? Apa kau pernah sekali saja ingin melanggar aturan untuk hal yang sangat berharga di hidupmu? Pernahkan kau ingin melarikan diri dari belenggu yang membatasi keinginanmu?" tanya gadis itu.

Azhara ingin menjawabnya, tapi bibirnya kelu. Seluruh tubuhnya seperti lumpuh melihat kehancuran gadis itu.

"Lihat, kau tidak punya jawabannya." Zhura menggelengkan kepalanya, kecewa. "Sekarang aku lega, kau tidak akan merasa kehilangan saat aku pergi."

"Tunggu!" Azhara patah hati melihat Zhura melangkah menjauhinya. "Jangan pergi."

Pakaian putih gadis itu memerah tersiram lembayung di sisinya. "Tali yang mengikat takdir sudah terputus, hubungan yang terjalin pun hancur lebur. Inilah saatnya, perpisahan ini adalah tanda bahwa kita menjadi orang asing. Mulai sekarang, aku akan melupakanmu, begitu juga perasaanku. Lailla yang baru akan menjadi Lailla yang hanya akan hidup untuk dirinya sendiri."

"Lilin yang dinyalakan sudah padam, kuharap kau akan tetap teguh meski berjalan di kegelapan. Lailla yang selalu menemanimu akan mati di sini." Tubuh Zhura memerangkap sinar matahari yang hampir tenggelam, siluetnya jadi terlihat seperti malam tak berbintang. Di ujung awan, gadis itu tersenyum untuk terakhir kali. Ia lalu menutup mata dengan tangan yang merenggang ke udara.

"Jangan lakukan itu!" Sadar pada apa yang akan dilakukan Zhura, Azhara sontak berlari menerjangnya.

"Selamat tinggal, Azhara." Setelah mengucapkannya, Zhura melepaskan pijakan kakinya dan terjun ke bawah bersama kepasrahan.

Azhara menjulurkan lengannya untuk meraih tubuh itu, tapi ia terlambat. Hanya kukunya yang sempat menyentuhnya, sebelum gadis itu jatuh begitu cepat.

"Tidak!!"

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang