81. Uluran

47 20 5
                                    

Mereka berjalan beriringan menuju ke pemukiman. Sebenarnya jaraknya tidak jauh, tapi jalanan yang terjal membuat mereka harus mengeluarkan tenaganya dua kali lipat untuk melewatinya. Azhara tidak mengatakan apapun dan bungkam saat Yara yang digendongnya tak berhenti berbicara. Di belakang, Zhura tampak kepayahan. Sesekali gadis itu berhenti untuk membenarkan posisi dua keranjang di punggungnya. Angin yang sejuk menerpa tak lagi terasa karena seluruh perasaannya kini panas.

Keadaan ramai menyambut mereka di padang rumput. Orang-orang sudah menata yurt mereka dengan indah, sementara sisanya ada menyiapkan berbagai kebutuhan untuk perayaan.

"Bibi, ini sayurannya. Kakak Lailla yang memanennya. Dia benar-benar bersemangat!" ungkap Yara menunjuk dua keranjang berisikan sayur-mayur, menarik turunkan alisnya pada Zhura.

"Wah, terima kasih, Nak. Kau sangat baik!" Ibu-ibu di bagian dapur tampak tersenyum ramah dan hangat.

"Tidak masalah, saya senang bisa membantu. Yara juga sangat bersemangat." Zhura mengangguk, diam-diam ia melenguh kesakitan karena pundaknya terasa sangat kaku. Setelah lebih dulu pamit, ia pun berjalan keluar. Dari depan tenda dapur, ia terperangah melihat keramaian pria-pria yang tengah sibuk pada sesuatu. Ada banyak kuda yang di atur berdampingan di pinggir, sementara di tengah padang ada bola yang ditancapkan di tongkat kayu.

Zhura mengamati aktivitas di depannya dengan bingung. "Hei, mereka sedang apa?"

Yara yang melihatnya lantas menarik Zhura dan Azhara untuk mendekat ke sana. "Paman, tolong jelaskan apa yang sedang kalian lakukan," pintanya pada seorang pria berkumis tipis yang berdiri di sisi kuda-kuda itu.

"Kalian berdua orang baru itu, ya?" Dia menatap Zhura dan Azhara. "Kami sedang bersiap untuk lomba pacu kuda. Ini adalah lomba rutinan yang biasa kami lakukan untuk perayaan tahun baru. Caranya adalah dengan memacu kuda sekencang mungkin, lalu siapa yang pertama mengambil bola sutra di padang dialah yang menang. Pemenangnya bisa mendapatkan bola sutra itu dan juga seekor kuda malwari."

"Itu menarik, bisakah aku ikut?" tanya Zhura antusias.

Pria itu tampak tergelak, "Kompetisi ini khusus untuk pemuda, Nona. Setiap keluarga di suku Wiyyam ini harus mengirimkan anak laki-laki di keluarganya yang masih lajang. Kau adalah perempuan, jadi tidak bisa ikut."

Sayang sekali, padahal kuda Malwari itu begitu berharga. Akan sangat beruntung jika ia bisa mendapatkannya. Dengan kuda itu, Zhura bisa melanjutkan perjalanan ke tempat Sanguina tanpa takut kudanya kelelahan. Melihat kekecewaan di mata Zhura, Yara pun menepuk bahunya dua kali. "Jangan sedih, bagaimana kalau Kakak Vi saja yang ikut! Tidak ada persyaratan khusus untuk pesertanya selain harus lajang. Jadi, Kakak Vi bisa ikut, 'kan?"

Bagaimana bisa Zhura membiarkannya. Jika keadaannya seperti dulu, akan sangat mudah bagi pemuda itu untuk memenangkan pertandingan ini. Tapi sekarang Azhara bahkan tidak bisa melihat, semua inderanya mati. Zhura takut kalau dipaksakan, Azhara hanya akan berakhir terluka.

"Tidak, tidak apa-apa, dia juga tidak bisa ikut," ujar Zhura menunjukkan wajahnya yang lebih terang. "Kalian lanjutkan saja persiapannya, semangat!"

"Kakak yakin? Bukankah kau bilang pada nenek Manira bahwa kalian sedang menuju ke suatu tempat? Dengan kuda itu kalian bisa pergi ke mana pun, tahu," timpal Yara menahan lengan Zhura, berusaha membuatnya memikirkan lagi.

"Tidak masalah. Selama kita berusaha, ada banyak cara untuk bepergian bahkan ke ujung dunia." Gadis bermata hijau itu melenggang begitu saja.

***

"Dengan bantuan beberapa perawat, aku sudah memeriksa para petinggi kerajaan. Tidak ada satu pun yang melaporkan melihat lambang bunga peony di tubuh mereka. Jadi, hanya tinggal dua orang yang tersisa."

"Raja Amarhaz dan Tuan Minra," timpal Valea.

Tabib Ma menggelar sebuah gulungan yang berisi hal-hal mengenai istana dalam. "Setelah penyerangan itu, kondisi Raja Amarhaz kian memburuk. Apalagi karena ia mengerahkan hampir seluruh kekuatannya untuk menghentikan roh jahat yang bangkit, kesehatannya sekarang semakin memprihatinkan. Kini, dia sudah kembali menjalani perawatan di paviliun pribadinya di luar kota."

"Jadi, kita harus pergi ke sana langsung untuk menyelidikinya?"

"Benar. Setiap satu minggu, para Tabib di sana akan diganti dengan tujuan memaksimalkan kinerja. Aku tidak bisa pergi dari sini, karena orang-orang akan langsung menyadarinya. Maka dari itu, aku minta bantuan kalian."

"Biar aku yang pergi ke paviliun perawatan Raja, aku bisa menyusup sebagai perawat." Inara berujar sebelum menghadapkan tubuhnya pada Valea. "Tidak apa-apa jika kau yang memeriksa Tuan Minra?"

"Serahkan padaku!" tukas Valea menjetikkan jarinya.

Tabib Ma tersenyum, ia bersyukur ada banyak orang yang membantunya menegakkan keadilan atas kematian Ibu Suri. "Baiklah, sekarang kita akan berjuang bersama-sama. Seperti Zhura, kita tidak akan takut mengungkapkan kebenaran."

"Kira-kira bagaimana kabar Zhura? Apa yang sedang ia lakukan sekarang?" Inara menghela napasnya. Ruangan obat yang menjadi tempat pertemuan mereka begitu sunyi sehingga terdengar jelas bagaimana rasa gundah di dalamnya.

Wanita tua bermata abu-abu itu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Bayangan akan Zhura segera datang dan membawanya pada perasaan kemelut. Ia sudah menganggap gadis itu sebagai puterinya sendiri. Seperti halnya menerbangkan layangan yang tidak sanggup ia tahan terbangnya hingga menembus awan, hatinya terus menerus dilanda khawatir pada keadaan Zhura saat ini.

"Semoga dia selalu baik-baik saja."

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang