31. Rencana Pelarian

76 33 4
                                    


"Valea, ada apa dengan wajahmu?"

"Bukan urusanmu!" teriak gadis merah itu seraya memalingkan wajahnya. Meskipun dia menyembunyikannya, beberapa luka goresan kecil di pipi bulatnya masih terpampang jelas di mata Zhura. Suara tawa renyah terdengar mendekat. Inara keluar dari balik rak dengan berbagai buku-buku besar di tangannya. Gadis elf lalu meletakkan buku-bukunya di meja, sebelum kemudian mengambil duduk di samping Zhura. Saat ini mereka sedang berada di dalam perpustakaan istana karena para jenderal sedang mengikuti pertemuan bersama raja untuk membahas evaluasi bulanan.

"Jangan ganggu dia, Zhura. Valea sedang marah besar," ujar Inara seraya membuka buku pertamanya. Zhura lantas mengintip pada halaman yang Inara buka. Melihat barisan tulisan itu, alisnya sontak menekuk. Semenjak datang ke dunia ini, ia jadi mengerti bagaimana perasaan orang-orang yang buta huruf.

"Kenapa dia marah besar?" tanyanya kembali menatap pada Valea.

"Tadi pagi ada kejadian unik. Ada seekor marmoset kabur dari tempat asalnya dan tersesat di kamar Valea. Karena mengira Valea adalah orang jahat, makhluk itu lantas menyerangnya dengan cakar yang tajam. Kau tahu, Zhura? Hewan itu ternyata adalah peliharaan Pangeran Asyaralia," jelas Inara menahan tawanya.

Zhura meletakkan tangan di dagunya, tampak berpikir, "Marmoset itu apa?"

Valea menggebrak meja, "Hei, berhenti bahas itu! Aku sungguh kesal! Kalian tidak tahu seberapa aku ingin menendang marmoset itu! Jika bisa bahkan dengan tuannya sekaligus!" seru gadis itu menghentakkan kakinya ke lantai dengan keras.

"Api yang kecil dapat memulai kebakaran di padang rumput yang luas. Aku tahu kau marah, tapi jangan berkata sembarangan di sini!" Zhura menyilangkan tangan di depan dada. "Aku bahkan tidak tahu apa itu marmoset."

Dengan wajah lelah, Valea menjambak rambut merahnya, "Marmoset itu monyet!"

"Yang benar itu monyet kerdil. Panjang mereka hanya sebesar jari telunjukmu," gumam Inara tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.

"Jadi monyet kerdil." Zhura mengangguk tidak ingin menambah masalah.

Valea membenarkan kursinya ke posisi semula. Gadis itu tampak meletakkan kertas, lalu mulai menggambar rute pelarian yang direncanakan. "Sudahlah, lebih baik kita bicarakan rencana kaburnya. Untuk jalurnya kita akan melewati darat dan air. Pertama, kita akan menunggu waktu yang tepat untuk menyelinap ke luar istana. Saat itu adalah ketika perayaan tahun baru beberapa bulan lagi. Istana akan membuka semua gerbangnya dan mengundang masyarakat untuk merayakannya bersama."

"Jadi, saat perayaan tahun baru itu kita bisa menyelinap keluar tanpa ada yang sadar?" Zhura mengamati gambaran Valea yang sangat artistik. Gadis merah itu pasti mempunyai bakat menjadi seniman atau kemungkinan besar ia sudah terlalu sering menggambar peta pelarian. Sementara dua gadis itu berkutat pada rencana kabur, Inara justru sibuk menghafal mantra seakan ia pasrah mengorbankan seluruh hidupnya di dataran terkutuk.

"Benar! Tapi bagaimana kita akan bertahan di luar adalah yang masalah yang kupikirkan! Setelah kita keluar dari istana, pastinya kita akan langsung menjadi buronan. Jika kita tertangkap, bukannya dihukum mati, kita justru akan tetap menjadi gadis suci. Bukankah itu membuang waktu?" tanya Valea dengan cekatan menggambar banyak lekukan garis yang terlihat seperti air.

"Lalu, bagaimana?"

"Aku punya ide cemerlang. Setelah keluar dari istana, kita akan pergi ke sungai terdekat dan berubah menjadi ikan. Dengan melewati jalur air, kita akan pergi ke luar jangkauan Sillvermist. Jadi, mereka tidak akan pernah menemukan kita."

Gadis bermata hijau itu melonjak, "Maksudmu kita akan menjadi ikan sungguhan dan berenang melewati sungai? Lalu, bagaimana jika ada buaya?"

Valea mengibaskan tangannya. Ia tampak begitu percaya diri dengan rencananya kali ini. "Percayalah, buaya di dalam sungai tidak lebih mengerikan daripada pergi ke dataran terkutuk. Hanya saja, aku masih mencari sungai lain yang menghubungkan wilayah ini dengan dataran tempatku berasal. Sungai di tempat pemasok sebenarnya adalah sungai yang paling tepat, tapi di musim sekarang arusnya sangat deras. Aku takut kita tidak bisa berenang dan malah terbawa arus."

"Begitu?" Zhura masih mencoba memasukan ide-ide Valea ke dalam tingkat kewarasannya ketika bahu kanannya ditepuk oleh gadis merah itu.

"Selama aku mencari jalur sungai untuk pelarian kita, ada cukup waktu bagimu untuk menarik perhatian putera mahkota. Gunakanlah kesempatan itu untuk mendapatkan hati gurumu itu dan pastikan kau mengantongi batu birunya saat kita kabur."

***

Lentera di tangan Zhura bersinar menerangi lorong panjang yang ia lalui. Aktivitas istana hari ini tampaknya mulai sepi sehingga tidak ada lalu lalang siapa pun di depannya. Menggunakan pandangannya sebagai acuan berjalan, Zhura tak berhenti menyapukan mata, memerika apakah ada teman yang menyadari kehadirannya. Ketika ia sampai di depan bangunan besar yang merupakan perpustakaan, ia matikan lenteranya dan masuk ke dalam. Gadis itu disambut oleh kesenyapan yang menenangkan. Langkah kakinya perlahan berjalan menyusuri rak demi rak berisi buku-buku bersampul kecokelatan.

Satu per satu buku berdebu itu tak lepas dari perhatiannya. Sepertinya Zhura sangat serius mencari referensi untuk sebuah gagasan. Ketika ia sampai di rak paling ujung, mata hijaunya berbinar bak melihat hal yang paling ia cintai. Zhura bergegas memeriksa masing-masing literatur itu. Beberapa saat berlalu, ia akhirnya menemukan buku yang ia cari. Berbekal pelajaran baca tulis dari Inara berikan tadi siang, ia mulai menghafal sedikit pengabjadan. Dengan hati-hati ia buka halaman pertama, lalu mencoba menerjemahkannya dengan pelan-pelan.

"Sedang apa kau di sini?"

"Ah!" Zhura melonjak ketika seseorang menginterupsinya. Gadis itu berbalik dan melihat seorang penjaga perpustakaan berdiri dengan memegang alat bersih-bersih.

Wanita paruh baya itu memperhatikan Zhura dari atas sampai bawah. Dari tusuk rambutnya, dapat ia ketahui bahwa sosok yang berdiri di antara rak itu adalah gadis suci. Namun, melihat gantungan kecil di pakaian santai Zhura yang terbilang sederhana, langsung saja membuat wajah sang penjaga perpustakaan ketus. "Jam tidur gadis-gadis sudah tiba, kenapa kau tidak masuk ke kamarmu dan malah berkeliaran?! Mungkinkah gadis rusa sepertimu mempunyai jadwal yang begitu padat?"

Zhura yang menyadari sindiran itu, lekas berjalan mendekat seraya mengulas senyum. "Bibi, maaf. Nama saya Lailla, saya tidak berniat menganggu pekerjaan Anda. Saya hanya datang ke sini untuk meminjam buku," jawab gadis itu menunjukkan bukunya.

"Tips memengaruhi dan memikat lawan jenis." Bibi penjaga perpustakaan membaca judul buku yang Zhura pegang. "Siapa yang ingin kau pikat?" tanyanya penasaran.

Zhura mengangkat dagu, mempertahankan harga dirinya. "Buku ini untuk temanku, dia mempunyai masalah relasi dengan seseorang. Saya hanya ingin membantunya."

"Puluhan tahun mengurus tempat ini, baru sekarang aku menemukan gadis yang peduli dengan relasinya." Meskipun tampak curiga, tapi penjaga perpustakaan itu ternyata memilih untuk tidak memikirkan itu lebih lanjut. "Segera urus peminjamannya, langsung kembalikan sesuai waktunya."

Zhura mengangguk, senyumannya terbit begitu lebar ketika ia menatap buku di tangannya. "Lihat bagaimana aku akan mengalahkanmu, Guru."




The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang