150. Rahien

0 0 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.

Kebersamaan dan perpisahan manusia menjadi makanan sehari-harinya di alam surgawi. Matahari dan awan terlalu ramah memberikan kehangatan, atmosfer syahdu tercurah indah. Kerlip bintang terlihat bahkan di siang hari, tentu saja karna ia ada di istana langit. Menjadi dewa membuatnya memikul segunung tanggung jawab besar. Lelah dan sedikit kepayahan ia simpan atas nama pengabdian.

Suatu ketika di alam surgawi, pertempuran antar klan langit pecah. Beberapa klan menginginkan pemberontakan yang ditentang oleh klan lain. Sacia dan Macia ditugaskan memadamkan pergolakan. Dengan perjuangan keras, mereka berhasil menaklukkan pemberontakan klan tersebut. Dari peperangan itu juga menyelamatkan banyak sandera yang sebelumnya tertahan oleh pihak pemberontak.

Para tawanan yang berhasil diselamatkan dibawa ke istana langit untuk menerima perawatan khusus. Tak lama setelahnya di hadapan penghuni alam langit, Sacia dan Macia diangkat menjadi Dewa Agung atas prestasinya meredakan perang dan menyatukan semua klan. Hari berganti, tiba pertengahan musim semi. Para tawanan perang sudah kembali ke tempat masing-masing, kecuali satu orang.

Dia seorang anak laki-laki. Senyum persegi tak pernah luput dari wajahnya yang hampir mendekati cantik, kedewasaan nanti mungkin akan berperan menempa elok rupanya. Semua rekannya sudah pergi, ia tertinggal sendiri. Bukan tak ingin, ia cuma tak bisa. Ia adalah keturunan klan merpati langit, tempatnya kembali ada di sarang langit bawah. Karena sebelah sayapnya rusak terdampak perang, kini ia cacat. Tak ada jalan kembali, atau setidaknya melihat keluarganya lagi.

Macia dan Sacia diutus untuk menjaga anak laki-laki itu. Seperti halnya para kakak, mereka ditugaskan memastikan bahwa keadaan anak laki-laki itu aman bahkan saat ia jauh dari keluarganya. Namun, Sacia memiliki terlalu banyak kedisiplinan yang membuat ia abai pada anak laki-laki itu. Ia lebih mementingkan kepentingan dirinya sendiri. Alhasil, Macia menjadi satu-satunya yang berperan sebagai teman bagi anak laki-laki itu.

"Aku tidak punya nama. Sejak kecil aku tidak tahu namaku."

Anak laki-laki itu menjawab pertanyaan Macia yang menanyakan identitasnya di pertemuan pertama mereka. Duduk di sisi kolam, mereka bersanding. Dengan tegar dia bercerita semua mengenai masa lalunya yang kelam. Mulai dari kurangnya perhatian ayahnya yang seorang pejuang hingga ia mengatakan impiannya untuk melihat seluruh dunia. Macia menjadikan dirinya tempat berbagi cerita baik suka dan duka. Hari itu berjalan dengan cepat, mereka harus mengakhiri pembicaraan.

"Mulai sekarang namamu Rahien, bagaimana?"

"Itu bagus sekali!" Anak laki-laki itu berjingkrak senang mendapat nama baru.

"Kalau begitu, sampai jumpa besok." Macia tersenyum tipis, berbalik meninggalkan bocah itu dan kembali pada kesibukannya yang lain. Rahien menatap punggung Macia yang menjauh dengan sorot penuh kagum. Lalu, hari berikutnya Macia juga datang menemui anak itu lagi. Entah itu berbincang atau mengajarinya beberapa keahlian yang berguna untuk hidup, kebersamaan mereka terjaga untuk waktu yang lama.

Bertahun-tahun lamanya begitu seterusnya hingga tanpa sadar ikatan lain terjalin di antara mereka, dan itu adalah rahasia umum. Bagaimana pun hukum langit adalah mutlak, Sacia yang menduduki kursi singgasana lantas menetapkan larangan bagi para dewa untuk menjauhi segala hal yang berhubungan dengan perasaan. Baik itu kebencian maupun cinta. Dia membuat semuanya berada di titik tengah dengan alasan menjaga keabsolutan alam langit.

Beberapa kali Macia diperingatkan oleh Sacia dan Dewa Agung lain untuk berhati-hati dan menjaga jarak dari Rahien, karena bagaimana pun bocah itu sudah tumbuh menjadi remaja tanggung yang suatu saat akan menjadi pria dewasa. "Itu tidak akan terjadi, semua yang terjalin di antara kami hanyalah sebatas hubungan kakak adik." Macia membela diri saat orang-orang mulai berpikir berlebihan.

Dunia berjalan dengan kaku sejak saat itu. Tak ada senyum atau kasih sayang, tapi hati yang panas justru kehausan pada hakikatnya. Macia tak dapat memahami keditaktoran Sacia yang semakin meningkat. Dengan tanpa merasa bersalah, dia bahkan berkata kalau Rahien adalah ancaman bagi penghuni istana langit. Dengan tanpa izinnya, Sacia mengirim Rahien kembali ke tempat asalnya di sarang langit bawah.

Bertahun-tahun lamanya, langit mengalami keterpurukan. Macia menjadi sosok dingin seiring dengan menggelapkan alam surgawi. Ia tak punya pilihan selain mengikuti arahan kakaknya. Para dewa bahkan selalu mengutarakan betapa buruknya alam langit sekarang. Semuanya berjalan di satu garis, terkendali oleh satu syarat mutlak Sacia bahwa setiap hati harus dikosongkan. Bukannya mendapatkan kedamaian, aturan itu justru membuat dunia sekarat.

Peperangan santer terjadi, klan-klan yang pernah tenang kini kembali bergejolak. Para Dewa Agung lekas disibukkan oleh segenap tanggung jawabnya memastikan kedamaian kembali. Macia tak ingat kapan ia mulai menggenggam senjata, yang ia tahu peperangan sudah terjadi ribuan tahun lamanya. Seakan menjadi Dewa Perang, sebagai saudara Sacia, ia harus selalu berjuang di garis depan. Suatu hari, ia terlalu letih hingga tak dapat mengimbangi serangan lawannya di pertempuran yang membuatnya terjatuh ke bawah langit.

Dengan pasrah ia jatuhnya dirinya berharap untuk lenyap.

Namun, ternyata dirinya jatuh di hamparan rumput yang membentang sampai cakrawala. Luka dan rasa sakit Di tubuhnya membuat ia tak sadarkan diri. Seorang pemuda melihatnya, ia pun menyelamatkan Macia dan membawanya ke tempat tinggalnya. Luka yang parah membuat Macia begitu menderita. Butuh beberapa waktu untuk membuatnya cukup kuat untuk menanyakan tempat keberadaannya.

"Kau tidak terlihat seperti gadis rumahan, tapi dari penampilanmu kau jelas tidak berasal dari sini. Tidak apa-apa, biar kuberitahu kau. Wilayah ini adalah tempat tinggal klan burung. Kau bisa sebut tempat ini sebagai sarang."

Macia mengangguk, diam-diam menyimpan banyak sekali gagasan di benak setelah mendengar penuturan pemuda di depannya. Semua pertanyaan dan spekulasi bercampur membuatnya tak bisa berkata-kata. Melihat raut aneh yang tampak pada Macia, pemuda itu mengasumsikannya sebagai kebingungan. Ia tersenyum khas, menampik deret giginya seraya mengulur sebelah tangan, mengajaknya berkenalan.

"Namaku Rahien. Siapa namamu?" tanyanya.

Tubuh Macia menegak. Ditatapnya wajah pemuda di hadapannya dengan terperangah. Bibirnya yang senantiasa tertutup kini terbuka disertai gemetar.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang