92. Melebas

38 10 0
                                    

Aryana melihat ke sekeliling kedai. Keadaan benar-benar porak-poranda seakan badai besar baru saja mengamuk di dalam sana. Sebelumnya hiruk pikuk orang-orang terdengar menyeruak di telinganya yang berdengung. Kini saat semuanya menjadi tenang, ia sadar bahwa Inara benar-benar menghilang. Aryana sempat kembali ke paviliun untuk memeriksa keberadaan gadis itu, tapi dia tidak ada di sana. Fakta bahwa berita kebakaran tadi adalah kebohongan menambah kecurigaannya.

Mungkinkah situasi ini adalah ulah seseorang?

"Hei, tenanglah, Callan!" Aryana menahan rubahnya yang terus memberontak. Ia begitu heran kenapa akhir-akhir ini hewan peliharaannya sangat tidak ramah. Saking kuatnya, pemuda itu tak bisa menahan tali kendali dan ikut terseret Callan yang berlari. Hewan itu membawanya ke sisi meja di mana ada banyak bercak darah yang sedang dibersihkan oleh pelayan. Seakan mengenalinya, rubah itu mengendus darah itu lalu melompat-lompat kecil.

Tunggu!

Aryana berjongkok memperhatikan bercak darah itu. Ia melihatnya tadi, tapi pikirnya itu milik orang lain yang tak sengaja terluka karena kekacauan sebelumnya. Kenapa ia baru terpikirkan sekarang kalau itu mungkin milik Inara? Jika diingat-ingat, Inara juga bersikap gugup sebelum ia mengajak kembali. Sepertinya benar ada yang terjadi padanya. Aryana menepuk kepalanya kesal, dia pikir ini semua salahnya. Jika saja ia tidak memaksa Inara pergi bersamanya maka gadis itu pasti akan baik-baik saja.

Tidak masalah, ia hanya harus menemukan gadis itu lagi. Diambilnya secarik kain lalu mengusapkan itu lada bercak darah yang tersisa di lantai. Jika ini memang darah Inara, maka Aryana pasti akan segera menemukannya. "Callan, tolong, ya." Pemuda itu mendekatkan kainnya pada hidung Callan. Beberapa saat kemudian, makhluk itu pergi mengikuti ke mana aroma tersebut pergi. Aryana pun tak membuang waktu, ia bergegas mengikuti langkah kaki makhluk berbulu merah keemasan itu dengan gundah gulana.

***

"Kau siap?"

"Tentu saja!"

Asyaralia meletakkan kumbang merah alias Valea di balik lengan bajunya. Pemuda itu kemudian berjalan dengan santai menuju ke tempat tinggal pamannya. Beberapa orang terus saja menyapanya dan mengajaknya bicara, Valea lantas mendengkus sebal. Ketika akhirnya mereka berdua sampai di tempat Tuan Minra, tanpa berpikir macam-macam Asyaralia hanya masuk saja ke dalam. Ia tidak mempunyai kecurigaan apapun dengan pamannya, semua tindakannya ini adalah untuk membuktikan bahwa pamannya itu tak bersalah.

Ia melangkah lebih dalam. Dicarinya sosok tua itu yang tak kunjung terlihat. Ia mengeluarkan Valeaa dan membiarkan itu terbang.

"Ingat, aku tidak akan tanggung jawab kalau kau tertangkap," ujar Valea berputar-putar mengelilingi Asyaralia.

"Seharusnya aku yang mengatakan itu," timpal pemuda itu tertahan.

"Terimalah!" ujar Valea menyerahkan kumbang berwarna hitam pada Asyaralia.

"Kau mengejekku?"

"Itu kumbang jantan. Akan sangat berguna jika seandainya suatu hal terjadi. Selebihnya, ia peliharaan yang jinak." Valea tertawa jenaka.

Senyum hangat yang dibuat-buat diberikan Asyaralia. 'Terima kasih banyak, tapi maaf. Aku sudah punya Lily, dia tak tergantikan apalagi dengan kumbang seperti ini."

"Sudahlah, kalau aku tidak kembali dalam dua jam, maka kau punya dua opsi, pulang kembali ke rumahmu atau menolongku. Sampai jumpa!"

Dengan demikian, mereka berpisah di sana. Valea terbang menelusuri ruangan demi ruangan lain. Sekarang ia harus menuju ke tempat di mana aroma harum yang samar terus tercium. Aroma ini sudah pernah ia hidu pada sisa dupa di kamar raja, jadi ia sangat familiar dengannya. Meskipun demikian, hidung kumbangnya yang kecil tidak dapat diharapkan untuk mendapatkan banyak petunjuk, tapi hanya ini cara agar ia bisa menyusup.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang