38. Kehangatan

77 30 6
                                    


Brengsek!

Bibir Zhura yang tertutup rapat diam-diam mengirimkan sumpah serapah pada Azhara. Tidak masalah, jika pemuda itu tidak bersedia membantunya, Zhura akan temukan cara lain untuk datang ke perjamuan. Hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda tapi dia sudah tak tahan berdampingan dengan gurunya. Gadis itu pun mengatur laju jantungnya yang menggebu untuk membuang emosi. Ia melihat kandang Rou-rou yang digantung di sudut ruangan bergoyang saat angin bertiup kencang.

"Ini sudah sangat larut, kenapa kau belum tidur dan malah berdiri di luar seperti tadi?" tanyanya mencari topik lain untuk mengisi keheningan.

Tanpa mengatakan apapun, Azhara mengusap pinggiran cangkir tehnya. Tampaknya ia sedang memperbaiki suasana hati. Zhura pun memperhatikan sosok di depannya. Sepertinya Ramia pernah bilang bahwa Azhara kerap terbangun di malam hari karena dihantui seorang gadis di mimpinya yang terjadi berulang kali.

"Mimpi buruk itu datang lagi, jadi kau tidak ingin kembali tidur. Aku benar, 'kan?" tanya Zhura membuat senyum remeh.

Azhara tidak terkejut saat mendapati Zhura mengetahui perihal mimpinya. Pada akhirnya dia pun membuka suara. "Itu bahkan bukan mimpi buruk, aku hanya kebingungan saat mengingatnya."

"Memangnya siapa yang kau mimpikan? Apakah dia gadis idamanmu atau mungkin dia orang yang sangat berharga bagimu?" Zhura menutup mulutnya dengan sebelah tangan ketika ia menguap.

"Tidak mungkin." Hujan di luar menjadi arah pandang Azhara yang tengah merasakan denyut di sudut perasaannya.

Zhura menunduk, mengusap sudut matanya yang berair. Iris hijaunya tenggelam di balik kelopak, menunjukkan raut kantuk yang mulai datang menghampirinya. "Apa kau pernah menceritakan ini pada orang lain?"

Azhara menggeleng. Selain Ramia, ia memang belum pernah mengatakan apapun mengenai mimpi itu pada orang lain.

"Mimpi yang terus berulang mungkin adalah kenangan yang terlupakan. Kau sudah hidup ribuan tahun, kukira ada banyak hal yang kau saksikan dengan mata kepalamu. Saking banyaknya, kepalamu jadi tidak bisa mengingat satu per satu kejadian. Bisa jadi gadis itu adalah orang yang kau cintai di masa lalu atau kau pernah berhutang budi padanya." Zhura merasakan percikan api di dalam dirinya ketika mengatakan kalimat itu.

"Jika seperti itu, kenapa aku merasa sakit hati? Seakan-akan ada masalah di antara kami. Suaranya masih terngiang samar, tapi wajahnya kabur. Ketidakberdayaanku untuk mengenalinya membuatku frustrasi dan marah setiap kali terbangun."

Zhura melipat tangan di atas meja lalu merebahkan kepalanya di sana. "Perasaan yang menimbulkan sakit hati tidak harus diartikan sebagai kemarahan. Kerinduan pada seseorang yang tidak bisa lagi kita temui, itu jauh lebih menyakitkan. Kau hanya terbangun karena jantungmu berdenyut tak karuan. Jangan khawatir, setiap orang bermimpi. Tidak ada salahnya bingung, tapi jangan memendamnya sampai menjadi kekhawatiran."

"Kerinduan?" Bibir Azhara menggumam.

Pandangan matanya melebur bersama tetes hujan yang menjatuhi tanah. Hal yang selalu ia rasakan saat terbangun dari tidur. Hati yang sakit dan tangisan yang keluar seperti mata air, itulah perasaan rindu yang selalu orang-orang rasakan? Ia tidak tahu apapun mengenai hal duniawi karena di hadapannya hanya ada jeruji tak kasat mata. Baginya dunia di balik jendela adalah sisi lain lautan yang tak tergapai. Sekian banyak orang di dunia, jarinya masih bisa digunakan untuk menghitung jumlah orang yang sudah ia temui.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang