59. Sisa Pendar

104 32 3
                                    

Dengan keringat dingin pemuda perak itu terperanjat bangun dari tidur. Ia terduduk, mengusap dadanya yang berdenyut. Udara begitu menggigit, kandelir di atas bergoyang karena angin berembus kencang. Suara kelenteng pun terdengar dari lonceng angin yang tergantung di sisi ranjangnya, begitu tenang menembus malam.

Pemuda itu terenyuh.

'Ini disebut lonceng angin. Salah satu penyebab mimpi buruk adalah udara dingin. Letakkan benda ini di sisi tempat tidur, ini akan bergoyang saat udara bertiup lebih kencang. Begitu kerang-kerang ini bersentuhan, akan terdengar bunyi relaksasi. Suara itu akan menemani tidurmu sehingga kau tidak akan bermimpi buruk. Mulai sekarang kau bisa tidur nyenyak.' Suara itu terdengar di relungnya.

Senyum pahit terlukiskan di bibirnya yang kering. Entah saat sadar atau tidur, ia tidak bisa melepaskan diri dari bayangan Zhura. Nestapa Azhara semakin menggeliat saat teringat bahwa dirinya adalah orang yang melukai gadis itu. Meskipun pemuda itu sudah membulatkan tekad untuk melepaskan semua, tetap saja dirinya takut gadis itu tidak akan lagi mengenalnya.

'Lilin yang dinyalakan sudah padam. Lailla yang selalu menemanimu akan mati di sini.'

Azhara menggelengkan kepalanya. Padahal ia sudah mendapatkan banyak hal, tak bisa dihitung sebesar apa hutang budinya pada gadis itu. Zhura selalu menghujaninya dengan senyuman, tapi yang ia lakukan justru memberinya rasa sakit. Hari penuh kepalsuan sudah selesai, ia lelah berpura-pura baik-baik saja. Tanpa berpikir panjang, Azhara bangkit dan berjalan keluar kamar. Dengan jubah tidurnya yang tipis ia melangkah membelah malam.

Perjalanan pemuda itu berlanjut hingga ia sampai di depan ruangan itu. Sesaat ia melihat ke sekeliling, kemudian langkahnya terhenti di dalam ruangan di mana Zhura terbaring dengan lelap. Kini tinggal mereka berdua. Azhara tidak bisa menahan getir saat melihat tubuh yang biasanya segar bugar itu memucat.

Ia tidak menyangka bahwa hatinya tidak bisa melepaskan Zhura. Kenyataannya ia juga tidak ingin gadis itu melupakannya. Ya, ia egois. Perasaan itu adalah bentuk ketidakpuasan diri terhadap apa yang sudah ia miliki, tapi Azhara tidak pernah memiliki apapun. Hanya ketika bersama gadis itu, ia merasa bisa menjadi dirinya sendiri. Naasnya, tidak punya kekuatan untuk melanggar aturan.

Demi keamanan Zhura, ia akan tetap berada di sangkar. Hanya saja, biarkan ia tetap berada di sisi gadis itu dengan caranya.

"Aku tidak akan membiarkan orang lain menyakitimu, tapi aku juga tidak ingin kau melupakanku," ujarnya menahan napas. Hanya ini yang bisa ia lakukan sebagai bentuk balasan kebaikannya. "Maafkan aku."

Pemuda itu berdiri, ia mengucapkan mantra sebelum kemudian cahaya tampak bertebaran di sekitar tubuh Zhura. Otot-otot Azhara mengeras ketika kedua tangannya menarik jarum itu keluar dari jantung Zhura. Erangan kesakitan gadis itu lolos, tapi Azhara tak mengindahkannya dengan tetap melanjutkan aksinya. Beberapa saat kemudian jarum itu berhasil ia tarik keluar.

Benda berlumuran darah itu kini melayang, Azhara melesatkan jarum tersebut ke jantungnya sendiri. Tubuh pemuda itu lekas tersungkur dengan darah yang keluar dari mulutnya. Dicengkeram dada kirinya yang sakit luar biasa, rasanya ada ratusan paku yang ditusukkan di sana. Merasakannya lebih dalam, air mata Azhara pun mengalir diterpa kesedihan.

"Inikah penderitaan yang kau alami?"

Tertatih dilangkahkan kaki pada pembaringan Zhura. Azhara tersenyum kecil menyadari ia dan gadis itu kini berbagi rasa sakit dari jarum yang sama. Hatinya bergetar karena ia sampai pada puncak kerinduan. Sialnya jarum itu bekerja dengan baik mengirim rasa sakit hingga Azhara kesulitan bernapas. "Seperti yang kau bilang, kita selalu berbagi beban yang sama. Sekarang, aku menepatinya," lirihnya.

Disentuh kening yang mengerut itu dengan jari telunjuknya. Mulai saat ini, mereka akan berjalan di sisi yang berbeda. "Lilin kita memang sudah padam, tapi tak akan kubiarkan itu mendingin. Dosa dan hukumannya, biar aku yang menanggungnya."

Ditatapnya wajah Zhura untuk terakhir kali sebelum kemudian ia keluar dari kamar itu. Tubuhnya lunglai, melewati satu langkah disusul langkah lain yang menyiksa. Jantungnya berdenyut hebat mengoyak jiwanya yang bergejolak menolak dikekang. Tak peduli seberapa besar keinginannya untuk bersama Zhura, rasa sakit memaksanya berjalan tanpa menoleh ke belakang.

Valea keluar dari tempat persembunyiannya, ia mematung menatap punggung yang membungkuk itu. Sebelumnya ia tengah menjaga Zhura, tapi malam yang sunyi membuatnya mengantuk, jadi ia pergi mencuci wajah. Siapa yang sangka Valea akan menemukan pemuda itu keluar dari ruangan. Bergegas ia masuk ke dalam, matanya melebar panik ketika menemukan darah keluar lagi dari tubuh Zhura.

"Apa yang terjadi?"

Dengan cekatan Valea memeriksanya. Begitu terkejutnya ia menyadari jarum itu sudah hilang. Pikirannya langsung tertuju pada Azhara. Ia melihat pemuda itu berjalan tertatih dengan luka parah di tubuhnya. Mungkinkah dia mengeluarkan jarum itu dari jantung Zhura? Tapi bukankah dia sudah menunjuk Zhura sebagai tersangka dan bahkan dia sendiri yang melesatkan jarum itu?

Kenapa sekarang ia menariknya?

Mata merah Valea hinggap di gelang Arbutus itu. Ia tahu sekarang, satu-satunya jawaban yang tepat adalah kecurigaannya mengenai Azhara dan Zhura ternyata merupakan kebenaran.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang