141. Lelap

0 0 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.
Zhura mundur selangkah. Jadi dia adalah sosok yang menjadi legenda bagi para gadis. Keterkejutan menciptakan satu perasaan gelap di sudut hatinya, ketakutan. Wanita bergaun merah yang baru saja datang itu tak terlihat seperti teman, tapi ada bagian dari Zhura yang merasa sudah lama mengenalnya. Kepalanya terus menerus menyebutkan satu nama yang entah bagaimana bisa terus tengiang.

Sacia.

"Selamat datang aku ucapkan bagi kalian para tamu. Maaf atas ketidaksopananku yang tidak mampu menyambut kalian dengan memuaskan," ujar Sacia membuka suara dengan anggun untuk pertama kalinya. Tubuhnya ramping dengan rambut hitam yang memanjang hingga ke mata kaki. Dibalut gaun yang bisa dibilang indah ia seperti bunga mawar merah yang segar, tak terpengaruh dengan suasana membekukan di sekitarnya.

"Jadi kau yang ada di balik semua ini?!" Pangeran Asyaralia menggeram marah.

Sacia tertawa terlihat geli, "Jadi begitu cara seorang pangeran kerajaan terbesar di Firmest berbicara pada seorang wanita? Tidak masalah, kita hanya tidak mengenal. Perkenalkan aku Sacia. Aku adalah penjaga dataran ini."

"Mungkinkah kau adalah dalang dari kutukan selama ini?" Asyaralia menyela.

Sacia menatap tubuh-tubuh tak bernyawa yang tersebar di seluruh dataran. Suaranya keluar dari bibirnya dengan ringan, "Jika ada racun maka ada penawarnya. Ketahuilah kehadiranku hanya untuk memberitahu kalian bahwa aku bisa menghentikan ini semua. Tragedi ini tidak perlu dilanjutkan. Termasuk ritual pengorbanan dan juga pengiriman gadis. Tidak akan ada lagi peperangan dan ini tidak akan menjadi lebih buruk bagi kalian. Hanya saja, untuk terciptanya semua itu aku memerlukan bayaran yang setimpal."

Aryana membalas, "Apa maksudmu?!"

Wanita bergaun merah mengangkat sebelah lengan menunjuk ke arah pasukan Aryana. Angin tiba-tiba berputar membawa salju yang berterbangan menutupi penglihatan. Dalam keriuhan itu, Sacia memanggil sebuah nama dengan lantang seolah-olah teman akrab. "Zhura!" Butuh beberapa detik hingga salju putih yang mengaburkan pemandangan itu tersingkap, menampilkan seluruh pasang mata kini tertuju pada gadis itu.

Kabut memudar seiring Sacia yang mendekat. Seolah mendapat ancaman dari auranya yang kuat, seluruh pasukan lekas bergerak mundur. Zhura yang juga ingin menjauh, entah bagaimana lumpuh, seluruh ototnya mati. Inara dan Valea yang menyadarinya lekas berdiri di depannya. Mereka merentangkan tangan, mencegah Sacia bertindak lebih nekat.

"Menjauh kau dari Zhura!"

Valea mengacungkan pisaunya, sementara Inara menghunuskan dua pedang dengan tangan gemetar. Zhura masih berusaha menggerakkan kakinya saat kedua temannya itu terlempar ke belakang. Hawa menusuk dapat jelas ia rasakan saat kuncian tubuhnya kembali terbuka. Sacia berdiri tepat di depannya, rautnya yang kaku tersapu angin menjadi keruh berkaca-kaca.

Sentuhan dingin ia berikan di pelipis hingga turun ke pipi. Jemari rampingnya menetap di sana, sebelum kemudian disusul usapan. Satu bulir air terlihat menuruni mata merahnya saat ia berujar, "Dengan napas hangat, kehidupan kembali. Mata menggugurkan bunga, tetapi menyuburkan tumbuhnya dedaunan. Seorang gadis rusa. Siapa yang menyangka kau akan datang dalam bentuk anak adam, makhluk yang paling lemah."

"Menjauh dari, Lailla!" tukas Ramia berjalan mendekat tapi tubuhnya juga terpelanting menjauh ke belakang. Tidak ada apapun yang terlihat, tapi seperti ada sekat tipis yang memisahkan Zhura dengan mereka.

"Sepertinya aku ... pernah melihatmu. Tapi kapan ...-" Zhura belum sempat kalimatnya hingga genggaman di wajahnya menguat.

"Tidak peduli siapa pun dirimu, kau adalah bagian dariku. Kita berdua terhubung melalui takdir. Kehidupan kita adalah kesatuan," kata Sacia berkilat. Kalimatnya lirih di akhiran hingga ia terlihat menggelengkan kepala. "Aku tidak akan melepaskan kau lagi."

"Jangan percaya, Zhura." Inara bangkit dengan susah payah seraya memegangi kepalanya.

"Dia orang jahat." Valea yang juga sudah sadar, kini ia terbaring tak berdaya.

Sacia menggerakkan tangan membentuk segel. Dinding salju setinggi puluhan meter lekas berdiri di antara Zhura dan teman-temannya. Mereka memanggilnya dari balik dinding itu seraya berusaha memecahkannya. Zhura merasakan gemetar rasa takut yang membuncah di telapak tangan, "Aku tidak paham. Maksudku apa hubungan kita? Apakah kau yang menyebabkan semua ini? Kau adalah sosok di balik kutukan firmest?"

Sacia menggulirkan matanya dari ujung kepala hingga kaki Zhura, untuk kemudian menunjukkan deretan giginya dengan tatapan nyalang, "Benar, aku orangnya!"

Zhura menepis tangannya lalu mundur, "Itu berarti kau yang mengutuk Azhara? Kau juga sosok pemilik darah suci?"

Tawa bebas tercurah dari bibir merah Sacia, "Macia, inti sari jiwamu mengalami kerusakan, kau lupa siapa tokoh utamanya sekarang. Dua pertanyaan itu bahkan mempunyai jawaban yang berbeda. Memang aku yang mengutuk Azhara, tapi ...-"

Ia sengaja menggantung ucapannya.

"Tapi apa?"

"Sekarang hanya ada kita berdua. Biar kuperjelas. Pilihannya hanya ada dua. Yang pertama, perang ini akan berlanjut dengan memakan lebih banyak korban. Pilihan yang kedua, seluruh dunia akan kembali damai, dengan syarat kau ikut aku. Khusus untukmu saja, akan aku beritahu rahasianya. Seluruh dunia ini akan tertidur dan semua orang bahagia dalam mimpi indah. Tidak perlu ada lagi penderitaan dan pengorbanan."

"Membuat orang hidup dalam mimpi. Bukankah itu sama saja kau membunuh mereka?"

Sacia mengedarkan pandangan, "Tidak, itu berbeda! Kedamaian mutlak tidak pernah ada. Pada jiwa makhluk hidup terdapat sifat alami yang bisa tumbuh bersama penyimpangan moralitas. Hal indah di kehidupan bersifat terbatas, dan sesuatu yang jauh dari realita hanya akan terlihat lebih nyata di alam mimpi. Ketahuilah, hal itu adalah yang mereka inginkan."

Zhura menggelengkan kepala hingga salju dari rambutnya berjatuhan, "Tidak."

Meletakkan jemarinya di bibir, wanita bergaun merah itu tersenyum. Kemudian, ia mengusap kelopak mata Zhura dengan lembut. "Harus ada pengorbanan besar untuk melihat hal yang mustahil. Dalam tidur, kau bisa melihat siapapun yang kau rindukan, membersamai yang tercinta sepanjang waktu. Itu setimpal, 'kan? Kau juga punya seseorang yang ingin kau temui. Ibumu mungkin?"

Wajah ibunya terlintas. Perasaan gelap dan menyakitkan terlintas saat Zhura terpikirkan keadaannya. "Kau bisa mempertemukan aku dengannya?"

"Siapa pun yang ingin kau temui." Ditunjukkannya bulan yang hadir di langit malam. Sinar keemasan muncul di sisi bundarnya, bergerak sedikit demi sedikit menuju ke pusat lingkarannya. "Ikutlah denganku dan temui ibumu. Bersama orang-orang yang kita cintai, kita semua akan hidup bahagia. Aku akan ikut bersamamu selamanya. Pertempuran ini akan berakhir di sini. Tidak ada orang yang perlu berjuang lagi. Apa kau bersedia?"

"Tidak ada lagi pertempuran?" Zhura memerhatikan benda bersinar itu lamat-lamat. Awan pasti enggan menemani dan malah membiarkannya melayang seorang diri mewarnai langit dingin malam. Bayangan wajah orang-orang yang kusayangi tergambar di antara kabut tipis. Senyum lebar dan bebas menciptakan hangat di dada. Pada saat yang sama, sentuhan lembut terasa di tengkuk disertai jemari yang merambat di sana dengan halus.

"Di antara embusan angin, suara datang menandakan malam. Segala hal di dunia yang kabur akan terlelap dalam dekapan sasakala."

Hawa sejuk menenangkan menyebar di seluruh tubuh. Saat itu juga kepala Zhura terasa berat bersamaan dengan datangnya pelukan Sacia. Wanita itu melingkarkan tangannya dengan hangat seakan-akan takut kalau Zhura akan pergi. Dari sudut pandang, terlihat bagaimana sorot Sacia yang berkaca-kaca.

"Masa berlalu. Dalam kehidupan abadi, tidak ada penantian yang akan terasa berharga. Kehidupan hanya akan menjadi cobaan bagi mereka yang menyimpang dari takdir. Malam dan siang akan bertanya mengapa kau datang dan pergi, dan aku masih tidak bisa memberi alasannya. Tanpamu musim semi akan menjadi abu-abu. Tapi aku tidak punya kekuatan. Yang harus kulakukan hanyalah menyingkirkan kabut ini darimu, Adikku."

Kata demi kata itu tersampaikan dengan suara lirih. Terdengar berat, tapi juga ringan. Zhura meringis, merasakan nyeri di tengkuknya yang menguarkan kebas. Bernapas menjadi hal yang sangat melelahkan. Rasa letih seketika memenuhi inci tubuhnya sebelum detak di dadanya tertidur. Pada detik itu, seluruh kebisingan ditarik keluar dari arena. Kehadiran orang-orang menguar seperti asap, menghilang tergantikan dataran putih yang lengang.

"Dalam tidurmu yang singkat, kau membuka matamu yang tertutup. Lebih daripada yang kau kira, apakah dunia ini selalu berkabut?"

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang