148. Sang Naga Biru

0 0 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.

Kegelapan menjadi hal yang tidak asing lagi di matanya. Tepat setelah ia gagal meraih tubuh gadis itu, jantungnya yang selalu tenang mulai berdentum bak tambur. Ia merasakan apa yang orang-orang katakan sebagai rasa takut. Semua hal yang ada di sekitarnya berada dalam kekacauan, tapi apa yang membuatnya gusar adalah ketidakjelasan eksistensi gadis itu.

"Zhura!" Dipaksakan suara keringnya untuk berteriak. "Di mana kau?!"

Azhara terus merapalkan nama gadis itu seraya bergerak. Lima langkah berhasil ia habiskan, sebelum ledakan besar terjadi hanya beberapa meter di depannya. Dahsyatnya ledakan itu membuatnya limbung. Naga Sacia berulah. Dia kembali mengepakkan sayap dan mendarat di dekat Azhara. Seolah merayakan kemenangannya, dia mendongak tinggi setara langit. Sisa asap tampak menguar dari mulutnya yang terbuka lebar.

Azhara terlalu lemah bahkan untuk berpikir. Daripada bertarung, usaha pengendalian roh jahat lebih melelahkan. Seluruh kekuatannya pun sudah terkuras habis. Pada pembaringannya, ia menatap bulan merah di atas langit. Sejernih itu, irisnya kebasahan air. Malam yang panjang membuatnya sadar akan satu hal, bahwa ia tidak suka sendirian.

'Hei, Azhara. Seandainya aku bisa berada di sisimu selama yang kuinginkan, apa kau akan membiarkanku?'

Kilasan ucapan gadis itu terdengar di dalam benaknya. Tidak banyak hal yang bisa ia katakan, tapi saat itu dunia Azhara terasa berjalan. Karena gadis itu, ia bisa bertemu berbagai macam orang dan melakukan hal yang tidak biasa ia kerjakan. Jika saja suara itu datang lagi dari pemiliknya, ia mungkin tidak akan terlalu letih. Jika saja dan hanya jika gadis itu kembali, ia berjanji tidak akan lagi berpaling.

Geraman naga Sacia menyadarkan lamunan Azhara. Moncong  naga hitam itu sudah berada beberapa meter dari kepala peraknya. Aroma hangus dan busuk sontak menguar. Itu terbawa angin, mengirimkan sinyal menciutkan nyali. Meskipun begitu Azhara hanya bergeming. Tubuh pemuda itu bersiap pada apapun yang akan menimpanya. Roh jahat di tubuhnya juga harus musnah. Ia tidak mempunyai penyesalan apapun jika memang harus mati.

Namun, sesuatu terjadi. Pada saat Azhara benar-benar menyerah, cahaya kilat menyambar disusul dentuman memecah genting. Sesosok makhluk besar lain muncul dari kegelapan. Terbang menyerang naga Sacia hingga ia terpelanting layaknya gunung yang terlepas dari tanah.

"Naga biru?!" Kedua mata laut Azhara seakan-akan hendak keluar menatap seekor naga lain. Makhluk yang sebelumnya menyerang Sacia, kini menatapnya lurus penuh sorot tersirat. Seluruh salju di gunung luruh, alam menimpali. Sebuah perasaan aneh meluap di hatinya saat mata rumput itu beralih darinya, kembali ke arah Sacia.

Seolah-olah ditimpa marah, geraman naga biru di depan Azhara terdengar lebih keras. Sacia tak mau kalah. Mereka bersaut-sautan, menantang pemilik aura terkuat. Tak perlu menunggu lama hingga masing-masing dari raksasa malam itu menerjang satu sama lain. Tanah seperti kain yang ditarik-tarik. Tidak ada pijakan yang tetap, dataran luluh lantah. Azhara memaksakan tubuhnya berlutut, tak kuasa menahan guncangan.

Bugh!

Lesatan balok es melayang dan jatuh menghantam permukaan. Ekor naga hitam Sacia memorakporandakan bukit terdekat. Pecahan batu dan esnya tercerai-berai ke segala arah. Entah itu menggigit atau mengeluarkan api, naga-naga itu terus bertahan dari serangan masing-masing. Ukuran yang luar biasa besar menjadikan dataran salju tidak cukup muat bagi mereka. Azhara sadar naga biru itu terus mengincar sisik terakhir naga hitam.

Azhara bangkit, niatnya adalah mencari keberadaan Zhura, tapi tubuhnya kembali jatuh tak kuasa menahan getaran tanah. Pertempuran terlalu sengit. Naga biru kini menggigit sayap naga hitam mencegahnya untuk terbang. Karena hal itu, sayap naga Sacia robek dan menyisakan robekan yang menganga. Sacia marah, menancapkan cakar ke arah wajah naga biru, sementara taringnya menyergap punggungnya. Perbandingan kekuatan dan ketangkasan turut andil dalam perebutan posisi dominan.

Meskipun lebih gesit, ukuran naga biru ternyata sedikit lebih kecil daripada naga Sacia. Azhara menoleh ke atas, menatap bulan merah yang menyala. Purnama akan segera menyempurnakan diri. Seharusnya ia menyerah. Alasannya datang adalah untuk melindungi orang-orang, tapi mereka semua bahkan sudah tidak sadar. Keberadaan gadis itu juga raib. Azhara tidak bisa berkata bahwa ia setangguh sebelumnya.

Namun, suara naga biru terdengar seperti alarm yang memaksanya berjuang sekali lagi. Azhara mengembuskan napas dingin, seperti ada keputusan telak berada dalam kepala peraknya. Ia berubah menjadi foniks perak, memulai kembali penerbangan. Api biru diarahkannya pada moncong naga hitam. Alhasil, gigitannya pada punggung naga biru terlepas. Tubuh naga biru yang bebas balik menyerang. Ia mengarahkan cakarnya pada punggung naga hitam. Dicengkeramnya sisik itu hingga urat baja menyembul dari kulitnya.

Pertempuran langit dan bumi, dua monster bersama-sama berusaha mengakhiri mimpi buruk. Pergerakan naga Sacia menjadi terbatas karena kungkungan naga biru dan foniks perak. Ia menggeram, mengibaskan ekornya. Sebelah sayap yang tersisa tidak mau ia sia-siakan. Ia terbang seakan-akan Sacia diciptakan untuk tidak terhentikan. Dataran mati dipenuhi pertempuran sengit para penerbang, malam larut menjadi kalut.

Mimpi buruk berlanjut, naga hitam itu kini terbang menuju ujung horizon. Tujuannya bukan lagi bertarung, ia menuju ke dunia luar. Lima dataran. Foniks Azhara melesat berusaha mengejarnya. Ia hinggap di punggung naga hitam, mencabik-cabik sisik yang hampir hancur. Satu lagi cabikan akan menyelesaikan semuanya. Namun, kepala naga Sacia tiba-tiba berputar meraih foniks perak dengan gigi sepanjang puluhan meternya.

Sinar terang yang menyala dari foniks pun padam saat ia terhempas menghantam tanah dingin dengan kejam. Tidak ada lagi burung raksasa, hanya pemuda berlumuran darah terbaring tak berdaya. Azhara terbaring menyentuh dada kirinya yang berdenyut. Ditengah arus rasa sakit, ia memaksakan kesadaran untuk menetap.

Di sana, naga hitam tidak lagi melayang. Tubuhnya jatuh akibat tarikan naga biru pada ekornya. Keduanya bergelentam saling membunuh. Naga hitam mencengkram leher naga biru yang masih saja menyerang punggungnya. Dengan sekali koyakan taring, sisik terakhir itu akhirnya lepas. Tidak cukup di sana, taring naga biru masuk lebih dalam. Itu menarik keluar apapun yang berada di dalamnya. Darah dan daging menyeruak ke segala arah.

Azhara terperangah melihat nahasnya naga Sacia yang bengkah. Sebuah cahaya merah tertarik keluar dari gumpalan daging raksasa itu, terhempas ke tanah. Cahaya merah itu berubah menjadi sosok wanita, Sacia berhasil dikalahkan. Pada saat yang sama, Azhara mendapati tubuh naga biru juga roboh, menghilang di antara asap yang menguar. Cahaya putih kecil muncul dari sisa-sisa naga itu dan jatuh ke salju. Titik kecil putih itu menyala begitu terang menantang malam. Kilaunya membutakan, Azhara terpaksa memejamkan mata.

Saat itu meredup, pemuda perak kembali membuka pandangannya. Dia mengira semua kekacauan sudah selesai, tapi apa yang terlihat di depannya seketika membuat napas raib dari diri pemuda itu. Tidak ada lagi sinar menyilaukan. Layaknya Sacia, cahaya putih itu pun berubah menjadi sosok gadis. Di depan sana, sosok yang muncul dari sisa-sisa naga biru perlahan bangkit. Azhara mengerjap, saat mendengar suara gadis yang berjalan mendekatinya itu.

"Maaf sudah membuatmu menunggu."

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang