15. Identitas Baru

130 68 14
                                    


"Kenapa dengannya?" tanya gadis berambut merah, membuat pikiran Zhura kembali tersadar.

"Aku tidak tahu, tapi kupikir dia bilang jika kalungku indah," jawab Zhura menggeleng seraya mengambil duduk di hadapan Valea yang masih lesu di tempat tidurnya. Dengan rambut merah yang tergerai bebas dan juga beberapa lebam di wajah, lekas membuat penampilan gadis itu terlihat berantakan dan penuh dengan kesan liar. Zhura masih mengamati penampilan urakan Valea, saat gadis itu mulai menyilangkan kedua tangannya di dada.

"Lalu, mengapa kau masih ada di sini?" tanyanya menaikkan alis.

Zhura mengangkat wajahnya seraya mendecakkan lidah. "Kenapa kau masih bertanya?! Tentu saja aku datang untuk mencekikmu!" teriaknya membuat gerakan seolah-olah tengah mencekik Valea. Ia sungguh kesal. Sudah mati-matian Zhura melawan makhluk mengerikan di ritual atas namanya. Namun, kini Valea justru bersikap seperti seorang perundung padanya. Mengingat kondisi sekaratnya saat itu, Zhura tidak menyangka gadis merah di depannya masih bisa bersikap bar-bar seperti dulu.

"Hei, Valea setan merah! Aku tulus mengkhawatirkanmu, tapi kau malah bersikap seperti ini padaku?!"dengkus Zhura berkaca-kaca. Mempunyai sosok seperti Valea dalam hidup jelas adalah sebuah kesialan yang hakiki.

"Hm." Gadis merah itu terkekeh, sibuk menguncir rambut merahnya asal-asalan. Senyum miring hinggap pada wajah Zhura ketika sebuah ide melintas. Diam-diam diraihnya bantal yang tergeletak di belakang tubuh Valea. Lalu dengan gerakan secepat kilat, ia timpukkan bantal itu kuat-kuat pada tubuh Valea. Tawa jahat pecah untuk pertama kalinya dari bibir Zhura melihat Valea jatuh tersungkur ke samping ranjang. Mati-matian ia berusaha mengendalikan tawa karena gadis merah itu meringis memegangi pinggangnya seperti nenek-nenek.

"Kalian berdua?!" Sebuah suara terdengar membuat mereka terkesiap, Zhura dan Valea sontak menoleh ke sumber suara.

"Inara?!" teriak Zhura mendapati gadis elf itu berdiri di ambang pintu.

"Zhura!" Inara membuka tangangannya seolah menginginkan sambutan lebih. Zhura menghempaskan bantal yang dipegangnya, lalu berlari menerjang tubuh gadis elf tersebut. Ia merasakan Inara membalas pelukan itu sembari menepuk-nepuk punggungnya ringan. Zhura sangat senang karena ternyata Inara baik-baik saja. Gadis elf itu bahkan mempunyai keadaan yang lebih baik dibandingkan dengan aku dan Valea.

"Zhura, Valea, aku sungguh tidak menyangka kita bisa bertemu lagi!" Inara melepas pelukannya. Mata biru kehitamannya basah terbias air, kata-kaya syukur dan senang ia ucapkan sebagai bentuk rasa bahagianya.

"Apa kau terluka?" tanyanya pada Zhura.

Zhura mengamati seluruh tubuhnyag sendiri lalu menggeleng. Sebelah kakinya masih diperban, sementara dadanya dipasangi korset khusus yang membantu pemulihan tulang dadanya yang cedera. "Aku sedang dalam masa perawatan, sebenarnya ini tidak begitu sakit. Lalu bagaimana denganmu, kau tampaknya sudah sembuh total?"

Inara menggeleng, tersenyum. "Aku tidak apa-apa, Zhura!"

"Aku tidak akan bertanya keadaanmu, Nara. Sejak awal aku tahu kau pasti baik-baik saja." Valea mulai bergabung bersama dua gadis di depan pintu. Dengan sorot tajam yang ia jatuhkan lurus pada Zhura, gadis itu jelas masih kesal akibat pukulan bantal tadi.

"Seperti yang kau bilang, sebagian besar luka pada tubuhku memang sudah sembuh. Tapi aku masih membutuhkan sedikit waktu untuk mengembalikan staminaku." Mendengar percakapan kedua gadis di depan sungguh membuat kepala Zhura pening.

"Nara memiliki beberapa berkat kelahirannya sebagai seorang elf. Selain dapat merasakan aura keberadaan sesuatu dari jarak jauh, luka-luka pada tubuhnya juga dapat sembuh dengan sendirinya," jelas Valea.

"Begitulah." Inara mengangkat bahunya, tampak santai di atas keterkejutan Zhura.

Kepalanya yang kurang kerjaan mulai membayangkan berbagai skenario tentang bagaimana jika semua orang di dunia mempunyai bakat seperti Inara. Rumah sakit pasti sepi. Sebenarnya bukan hanya rumah sakit, tapi kuburan juga akan sepi karena orang-orang susah mati. Jika hal itu terjadi, maka populasi dunia akan meningkat pesat, lalu terjadi pembludakan penduduk. Pada akhirnya itu berdampak pada kurangnya lapangan kerja dan juga terbatasnya sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan semua orang. Zhura bergidik ngeri, jika dibayangkan ternyata itu sungguh merepotkan.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang