Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.
.
.Tarikan gravitasi membuat salju jatuh menggenangi dataran mati. Mereka tidak lagi dingin. Sekujur tubuh seakan puas akan sakit dan melahirkan mati rasa. Hanya paru-paru dan jantung yang masih bersedia menemani kedipan mata. Bahkan arah menjadi hal yang samar. Keramaian lenyap, banyak hal menjadi tidak jelas. Inara, Valea, Arlia, dan banyak orang seperti terlalu letih hingga terbaring begitu lelap.
Zhura menggenggam erat serabut lembut di telapak tangannya. Udara menjadi batu saat mereka terbang melewatinya, berat. Suara lengkingan foniks mengalihkannya dari suasana di bawah. Gerakan Azhara entah bagaimana menegang, Zhura merasakan kepakan sayapnya tidak tenang. Gerakan lain menyusul, meliuk ke kanan lalu turun tajam, sebelum naik lagi dan meliuk ke kiri.
"Hei, ada apa?!"
Tidak ada balasan atau respon. Dari tempatnya, tampak mata foniks itu mengerucut tajam. Tersadar akan sesuatu, Zhura menatap ke atas. Dua pertiga bagian bulan memerah. Sedikit waktu lagi sampai itu menjadi bulan purnama.
"Jangan sekarang," ujar Zhura maju ke arah kepala Azhara. "Bertahanlah sebentar lagi!"
Seperti seruling, lengkingannya terdengar. Ia kembali pada jalurnya dengan gerakan kaku. Naga besar yang menyadari pergerakan mereka lekas bergerak-gerak agresif. Makhluk hitam itu kembali merentangkan sayap yang sebelumnya kuncup sebelum kemudian terbang. Bak capung dan elang. Foniks Azhara meliuk ke kanan saat naga Sacia berusaha melahap mereka bulat-bulat.
"Di sana!" Zhura menunjuk sisik terakhir di punggung naga Sacia.
Azhara menerbangkannya ke arah punggung naga Sacia. Zhura mulai mempersiapkan diri saat foniks siap untuk mendarat. Namun,. tiba-tiba keseimbangannya hilang karena Azhara berbalik searah jarum jam. Zhura hampir jatuh, tapi cakar peraknya teracung menangkapnya. Di sorot Azhara tergambar jelas usaha keras untuk bertahan atas kendali tubuhnya yang melemah. Geraman Sacia mengalihkan segalanya. Ia kembali membuka sayap, mengejar mereka. Azhara lekas memutar tubuhnya menghindar.
Mereka tidak bisa melihat situasi dan kesempatan saat ada di dekatnya. Kenyataan bahwa ia dan Azhara lolos dari jeratan besi itu pasti membuatnya marah besar. Dua sisik sudah dihancurkan. Tinggal satu. Sacia pemburu yang dominan, faktanya siapa yang kuat akan bertahan paling akhir.
"Hei, Azhara! Kau akan antar aku ke sisik itu, bagaimana pun caranya! Aku percaya padamu!"
Tidak ada sahutan, hanya belokan tajam yang datang menanggapinya. Bukan kanan atau kiri, Azhara mendadak turun ke bawah begitu tajam. Udara semakin tipis saat mereka melesat di bawah tubuh naga. Hanya sepersekian detik hingga mereka naik memutari tubuh besar itu. Tak menunggu lama, dengan hati-hati Zhura dihempaskan oleh Azhara.
Hampir seperti kesalahan teknis, tapi akhirnya punggung naga Sacia berhasil menjadi pijakannya. Ditapakinya punggung keras dan hitam itu, yang membuat nyali Zhura menciut adalah fakta bahwa ia berada jauh ratusan meter di atas tanah. Mengabaikan rasa takut, Zhura edarkan mata mencari sasaran. Berjalan menjadi hal yang sangat sulit, apalagi hanya menggunakan kekuatan satu kaki.
Satu per satu langkah diambil, Zhura berhasil tiba di sisik terakhir. Ia menghunuskan pedang bersiap mencungkilnya. Ayunan pertamanya terasa berat, dan itu bahkan tidak berpengaruh pada sisiknya. Lengkingan foniks Azhara terdengar lagi. Ia masih terus menyerang untuk pengalihan perhatian. Ujung bulu biru ekornya rontok terbakar api Sacia. Dengan sayap yang melemah, ia hanya bisa terbang dengan kecepatan rendah. Keadaan Azhara diambang batas. Zhura segera mengayunkan kembali pedangnya dengan kekuatan yang tersisa. Sedikit membabi buta, ia sadar waktunya tidak tersisa banyak untuk berusaha.
Kulit kasar naga Sacia tiba-tiba bergerak miring, dorongan gravitasi yang kuat seketika menarik tubuh Zhura limbung. Dari atas semuanya terlihat kecil, tapi jelas. Dataran salju yang memerah kini dipenuhi kobaran api. Seperti kepingan neraka. Zhura menelan ludah saat bara itu menyala-nyala. Aroma hangus terbakar menguar. Dia masih bergantungan menahan tarikan gravitasi. Daripada semua hal di sini, tidak ada yang lebih mengejutkan selain menyadari kepala naga Sacia yang bisa berputar tiga ratus enam puluh derajat. Moncong itu tepat mengarah padanya.
Gambaran wanita bermata violet terkilas di hadapannya, mengulurkan tangan. Tapi jangankan untuk menerima uluran tangannya, untuk berpegangan saja ia kesulitan. Taring-taring itu sudah berderet di sisi mulut naga yang hendak menelannya. Seperti simalakama, Zhura tinggal memutuskan dimakan Sacia atau terjun ke liang api di bawah. Bahkan waktu tidak memberinya kesempatan untuk mengambil keputusan.
Letupan kejut terasa saat cahaya putih membelah gelap. Azhara kembali terbang dengan kekuatan yang tersisa. Foniks itu menabrakkan diri ke arah mulut Sacia bersama api birunya. Tabrakan itu cukup kuat untuk membuat tubuh naga Sacia terguling. Sayangnya Zhura yang sedang berpegangan ikut kehilangan keseimbangan. Sedih memenuhi relung saat ia tidak lagi dapat menggapai apapun. Dalam jatuhnya, Zhura menyadari api yang membakar seluruh dataran hanyalah bayangan.
Mereka hilang.
Pemandangan terlihat seperti di lubang rumah kayu yang membawanya ke Silvermist. Sungguh nostalgia. Foniks Azhara terbang mendekat, tapi takdir terlalu serakah. Ia terlalu jauh untuk menggapainya. Satu demi satu memori tergambar. Rasa sakit, kebencian, pelajaran. Bertemu dengan banyak orang, setiap detik di dunia ini terasa berharga. Perjalanan panjang yang diawali dengan kebohongan, membawanya pada titik di mana ia akan rela melompat ke liang api demi kebahagiaan seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cursed Journey Of Zhura
FantasyFANTASI ROMANSA Zhura tidak pernah menyangka jika rumah misterius yang ia masuki justru membawanya ke dunia asing yang berpenghuni makhluk aneh. Dirinya dijadikan gadis yang akan dikorbankan dalam ritual maut, lalu ia tergabung dalam kelompok gadis...