65. Sisi Lain

63 25 10
                                    

Arlia baru saja memasukkan kudanya ke istal saat ia melihat Zhura melangkah ke dalam istana. Dengan cergas ia bersembunyi di balik dinding, memperhatikan sosok yang mulai menjauh itu dengan penasaran. Sebelumnya Zhura tampak diantar oleh kereta kuda yang Arlia kenali adalah milik Ibu Suri. Kening gadis elf itu pun mengernyit, ia keheranan menerka apa yang Zhura lakukan dengan neneknya. Tak ingin berkubang dengan kecurigaan, Arlia memilih pergi menemui ayahnya.

"Apa kau yakin?" tanya Tuan Minra saat mendengar penuturan Arlia.

Gadis itu itu mengangguk, "Aku melihatnya sendiri! Arlia tak mungkin salah mengenali kereta itu, bahkan kusir dan penjaganya mirip dengan orang-orang Ibu Suri. Mungkinkah dia menemuinya, Ayah? Tapi untuk apa?"

Tuan Minra tampak berpikir, kemudian otot-otot keningnya menonjol saat sesuatu merasuki benaknya. "Ini di luar dugaan," ujarnya.

Arlia yang mendengar itu lantas berujar, "Apanya?"

Sosok tua berjubah kecokelatan itu menggeleng, mata hazelnya mencari arah pandang lain. "Ayah akan menyelidiki ini. Kami akan mengirimkan orang untuk mengawasi gadis itu dan juga nenekmu. Ingat, jangan biarkan ini diketahui ke orang lain."

"Aku hanya takut sesuatu terjadi pada Ibu Suri, bagaimana pun Lailla itu sangat mencurigakan." Arlia menunduk, kakinya bergerak-gerak saat gusar semakin memuncak di hatinya.

Tuan Minra menepuk bahu puterinya. "Jangan khawatir, Arlia. Percayalah aku akan melindungi Ibu Suri. Setelah ini fokus saja pada latihanmu."

Arlia baru akan menjawab saat pelayan Tuan Minra datang dengan tergopoh-gopoh. "Tuan, Yang Mulia Azhara ingin menemui Anda, sekarang dia ada di luar," ujarnya.

Tuan Minra tercenung, tak menyangka akan menghadapi kedatangan keponakannya itu yang mendadak.

"Biarkan dia masuk," titahnya seraya berdiri.

Arlia ikut bangkit, ia merapikan bajunya dan berdiri di sudut lain ruangan. Saat pelayan membuka pintu, Azhara masuk ke dalam ruangan itu. Pemuda itu berjalan ringan, mengubah atmosfer ruangan menjadi lebih padat.

"Salam, Yang Mulia," tutur Tuan Minra menyambut pemuda itu dengan senyuman lebar.

"Salam, Yang Mulia." Arlia turut menekuk kakinya, hormat.

Azhara melirik Arlia datar, lalu kembali pada pamannya. "Maaf jika saya mengganggu aktivitas Anda."

"Ah, tidak juga. Lagi pula kami sudah selesai berbincang, jadi tidak ada masalah," sanggah Pria tua itu.

Arlia menelan ludahnya, tak kuat menahan aura intimidasi yang kuat dari Azhara. "Sekarang Arlia akan undur diri, permisi." Ia berbalik, keluar dari ruangan.

Azhara duduk di sisi meja setelah Tuan Minra menyilakannya. Pria tua itu menuangkan teh dalam cangkir, lalu mengulurkannya pada Azhara. "Jadi, apa yang sebenarnya ingin Anda bahas, Yang Mulia?"

"Sebenarnya ada banyak hal yang kupikirkan, tapi aku tidak yakin untuk mengutarakannya. Harusnya aku mengatakan berniat mengatakan ini pada ayahku, tapi dia sedang dalam perawatannya. Jadi, aku menemui Anda." Azhara terangah, diam-diam merasakan angin sore yang menerpa dari halaman terbuka di sisinya.

"Menyimpan suatu beban akan menimbulkan itu menjadi kecemasan. Katakan saja apa yang Anda pikirkan, saya akan membantu sebisa mungkin untuk mendapatkan jawabannya." Tuan Minra menatap tubuh pemuda di hadapannya yang terkesan lesu. Dia tidak sebugar biasanya, bahkan wajahnya yang sudah pucat, kini tambah semakin pudar. Dari itu semuanya, Tuan Minra berpikir bahwa kondisinya keponakan tidak sehat.

"Aku mendengar kabar bahwa istana melakukan perekrutan prajurit baru, kapan tepatnya itu dilakukan?" tanya Azhara.

Tuan Minra menyadari ada raut curiga di wajah Azhara. "Meskipun pengumumannya baru dikeluarkan akhir-akhir ini, tapi itu sudah dilakukan sejak dia bulan yang lalu. Mereka semua rata-rata berasal dari desa-desa kecil atau korban perang. Perekrutan mereka bertujuan untuk meningkatkan kinerja keamanan ganda raja."

"Bukankah biasanya kita hanya mengambil orang-orang terlatih dari tempat pelatihan militer?"

"Itu benar, tapi banyak perubahan terjadi. Situasi sekarang menjadi tidak stabil, banyak ancaman datang dan mengancam keselamatan kita. Aku tidak ingin membuang waktu untuk menunggu orang-orang terlatih datang sembari membiarkan musuh bergerak," balas Tuan Minra.

Azhara terdiam, menatap pamannya telak.

Tatapan itu membuat Tuan Minra berpikir bahwa Azhara sedang berniat membunuhnya. Meskipun dilanda gugup, pria tua itu mencoba tersenyum menenangkan, "Jangan khawatir, Yang Mulia. Saya mengerti kekhawatiran Anda. Saya juga adalah rakyat Silvermist, saya pasti akan berjuang semaksimal mungkin untuk melindungi kerajaan ini. Lagi pula Ayah Anda juga mengetahui ini, perekrutan itu berada di bawah ketetapannya."

Tuan Minra menunjukkan sebuah dekret tertanda tangan Raja Amarhaz, "Ini adalah buktinya. Raja sendiri yang memberikan perintah kepada saya untuk melakukannya perekrutan itu. Para prajurit baru memang tidak mendapatkan pelatihan resmi, tapi mereka tetap pejuang yang siap berkorban untuk kerajaan."

Azhara melirik lukisan dinding yang menggambarkan perahu di sungai dengan tinta berwarna abu-abu. "Kalau begitu, kenapa identitas mereka disembunyikan?" tanyanya.

"Itu karena mereka hanya warga sipil, dan bukannya nama-nama yang akan muncul saat Anda mencarinya di katalog kemiliteran. Aku sebenarnya membuat daftar khusus untuk identifikasi para prajurit baru untuk kemudian diumumkan pada semua orang. Namun, aku masih memerlukan waktu, tolong bersabarlah."

Wajah Azhara yang mengeras kini lebih mencair. Ia tidak mempunyai sanggahan terhadap penjelasan pamannya. Sebenarnya Azhara ingin bertanya mengenai Ranzak. Namun, Tuan Minra akan curiga kalau ia terkesan berfokus pada pemuda itu saja. Jadi di sini, Azhara memilih menanyakan hal mendasar lebih dulu. Kebingungannya pun memang terjawab, tapi itu semua belum cukup untuk membuat kecurigaannya menghilang.

Ia tetap merasakan ada yang aneh dari pamannya.











   

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang