40. Sosok Dari Masa Lalu

79 26 6
                                    


Kapas putih di atas cakrawala mangkir, membuat langit biru tak berujung memancarkan terik dari sang raja siang. Sementara para penonton menempatkan diri di podium-podium yang disiapkan, para gadis suci berbaris di tengah lapangan gersang seluas mata memandang. Situasinya hampir seperti saat ritual pengorbanan, hanya saja kali ini mereka sudah berpangkat sebagai gadis suci dan tanah lapang yang mengering akibat pergantian musim. Zhura berdiri di barisannya, angin sejuk bertiup ketika ia menatap podium tempat seorang pemuda duduk dengan wajah datar.

Seperti biasa, pemuda perak itu memakai pakaian putih khasnya. Dilihat dari wajah Azhara, Zhura menyimpulkan bahwa pemuda itu datang sebagai formalitas semata. Semakin lama menatapnya, semakin banyak juga perasaan lain datang. Mengingat kejadian kemarin membuat wajah Zhura merah seakan direbus. Bahkan saat matahari bersinar begitu menusuknya, Zhura sadar betul apa yang membuat pipinya memanas. Kenyataan bahwa ia tidur di tempat Azhara menjadi bukti bahwa hubungan mereka terjalin satu langkah lebih maju. Hanya saja, masalah siapa yang membawanya ke dalam kamar tidur lekas menimbulkan kecamuk tersendiri di hatinya.

"Penilaiannya adalah memanah. Para gadis diharapkan menempati posisi masing-masing," ujar seorang pembimbing bernama Hanli. Pak Hanli adalah instruktur untuk evaluasi bulanan gadis suci sejak beberapa dekade, wajahnya memiliki garis lembut yang menampilkan ketegasan hangat. Kedua telinga lancipnya menegak ketika ia mengarahkan gadis-gadis untuk berbaris sesuai urutan mengambil nilai panahan. Zhura sudah berdiri di tempatnya. Namun, tiba-tiba seorang gadis elf berambut hitam kebiruan datang dengan wajah yang menyebalkan. Dia dan teman-temannya begitu liciknya menyalip urutan di depan Zhura. Alhasil, Zhura pun berada di urutan terakhir.

Arlia yang berbaris di urutan pertama kini menerima busurnya, lalu tersenyum miring. "Ini hanya panahan, tak ada bedanya baik itu latihan ataupun penilaian." Gadis elf itu mengatur posisinya. Ia meletakkan anak panah pada busurnya lalu mengambil tarikan kuat ke belakang. Orang-orang yang menyaksikannya turut menahan napas, seakan mewanti di manakah tempat ujung panah Arlia akan menancap. Dan ketika gadis itu sudah mantap, dilepaskan tarikan yang langsung melesatkan anak panah ke depan. Suara yang dihasilkannya begitu nyaring membelah udara siang yang panas. Terlihat papan bundar di tengah bergoyang ketika anak panah Arlia menancap tepat di tengah.

"Nilainya sembilan puluh!" seru Pak Hanli.

"Ini terlalu mudah. Bahkan anak kecil bisa melakukannya," ujar Arlia seraya berlalu mundur dari barisan. Raut kesombongan tampak jelas di wajah Arlia saat ia menatap Zhura. Pak Hanli melanjutkan penilaian. Ilyza, gadis kedua yang mengambil giliran. Dengan tegap, ia memegang panahnya. Setelah mendapatkan posisi yang paling pas, dilesatkan anak panahnya ke arah papan. Tidak seperti Arlia, panah Ilyza sedikit lebih jauh dari titik pusat papan, tapi tetap saja itu adalah tembakan yang bagus.

"Nilainya delapan puluh!" seru Pak Hanli. Ilyza berjingkrak senang sementara di tempatnya Arlia terlihat merotasikan mata.

Para gadis suci mulai membawa diri mereka satu per satu untuk menembakkan anak panah. Kebanyakan dari mereka berhasil mengarahkannya ke titik pusat papan, tapi bukan berarti tidak ada yang meleset. Meskipun meleset, itu tidak bisa dibilang kegagalan karena anak panah mereka tetap menancap di sisi pinggir papan. Tentu saja, para gadis di dunia ini berteman dengan senjata sejak kecil, jadi untuk mendapatkan nilai sempurna bukanlah hal sulit. Karena itu Zhura tidak ingin tertinggal. Dia pun berlatih siang dan malam hingga otot-ototnya mengeras. Dia hilang harapan untuk menjadi yang terbaik, lagipula tidak ada keuntungan apapun untuknya.

Saat gilirannya tiba, Zhura memegang busurnya seperti saat ia berlatih. Meskipun pasrah, gadis itu tidak menyangka dirinya akan kesulitan memegang busur di tengah-tengah atensi ratusan pasang mata. Kedua tangannya bergetar ketika banyak bisikan meremehkan terdengar dari gadis-gadis di belakangnya. Zhura menggeleng, meraih kembali ketenangan. Dengan tekad penuh asahan, ia mengarahkan anak panahnya ke papan. Namun, hal aneh terjadi. Seorang pemuda berambut hitam muncul tepat di depan anak panahnya. Pemuda itu berdiri memunggunginya, jadi Zhura tidak bisa mengetahuinya siapa dia.

"Kau akan tahu semuanya hanya jika aku mati. Sekarang bunuhlah aku dan lihat sendiri apa yang sebenarnya tak terlihat di matamu." Pemuda itu berujar dengan nada kecewa. Ada serak yang familiar di suaranya, tapi Zhura tidak bisa mengenalinya. Gadis itu mengerjap, ia menyadari eksistensi pemuda itu hanya ada di dalam penglihatannya. Mustahil ia adalah hasil keusilan Arlia, gadis elf itu jelas tidak menunjukkan sorot mencurigakan dan malah sibuk menata rambutnya tak acuh. Jelas pemuda berambut hitam di depannya bukanlah tipuan seseorang, melainkan dia adalah seseorang yang berasal dari alam imajinatif Zhura.

"Tunggu apa lagi? Cepat tembakan anak panahnya." Pak Halil menginterupsinya.

"Kasihan sekali, dia pasti tidak tahu cara memakainya," ujar Arlia memulai sahutan para gadis.

Bukan karena ejekan mereka, Zhura merasakan sakit ketika pemuda di depannya itu tersenyum sementara air mata mengalir di kedua matanya. Laki-laki itu membuka suaranya lagi, "Segalanya menjadi tak terduga. Tidak, sejak awal semuanya di antara kita tidak terduga. Bahkan seandainya aku tahu kita akan berakhir seperti ini, di kehidupan selanjutnya aku masih berharap bisa bertemu denganmu."

Zhura melonjak ketika tepukan mendarat di pundaknya. Inara dan Valea yang kini berdiri di sisinya terlihat khawatir, si gadis elf bertanya, "Kenapa kau berkeringat dingin, apa kau baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja." Zhura kembali mengangkat busurnya. Kali ini ia tidak ingin mengindahkan sosok asing itu dengan tetap menjaga matanya ke arah target. Beberapa kali diambil tarikan napas panjang. Saat anak panahnya ia lepaskan, laki-laki di depan justru berbalik.

Dengan itu, seluruh tubuhnya menghadap ke arah Zhura. Mata hitamnya yang lebar menatap gadis itu dengan sorot rindu yang teramat. Wajahnya yang bergaris tegas kini berlumuran darah, tapi itu masih cukup jelas untuk membuat Zhura menyadari betapa miripnya dia dengan seseorang. Senyum tipis tergambar di bibir pemuda itu yang kembali terbuka untuk mengambil napas berat. "Perasaanku tulus, itu terbang hingga ke langit ketujuh dan berjalan melewati masa. Tak peduli seberapa jauh jarak di antara kita, cintaku padamu tidak akan berhenti di sini, Macia."

"Apa?" Zhura mematung, sekelebat gambar menyesakkan datang memenuhi kepalanya hingga bayangan laki-laki itu menghilang. Sosok itu baru saja memanggilnya Macia, tapi Zhura bahkan tidak kenal siapa dia.

"Lihat, betapa bodohnya dia." Suara Arlia menembus telinganya. Dia dan teman-temannya kemudian menertawakan Zhura karena anak panahnya menancap jauh dari papan.

"Nilainya sepuluh," tutur Pak Hanli tampak ragu-ragu saat menyampaikan nilai Zhura, dia merasa sedikit takut karena ada Azhara yang menonton penilaian ini.

Banyak ujaran dan pertanyaan heran dilontarkan dari bibir-bibir di sekitarnya, tapi Zhura hanya terdiam karena wajah pemuda itu masih menetap di benaknya. Dengan kecamuk membadai di dalam diri, gadis itu menoleh pada Azhara. Rasa bersalah yang membuncah terasa ingin menghanguskan dirinya. Entah apa yang sebenarnya terjadi, melihat gurunya itu Zhura merasakan sakit hati seakan ia sudah melakukan dosa besar padanya di masa lalu.

Inara menatap Pak Hanli dengan raut permohonan. "Bisakah Lailla mengulanginya? Dia tampak tidak enak badan, tolong izinkan dia mencobanya lagi dengan lebih baik," pintanya.

Pak Hanli menggeleng, terlihat ikut menyesal. "Biasanya aku hanya memberi satu kali kesempatan untuk semua gadis. Jika ada pengulangan, kita harus memintanya langsung kepada Yang Mulia, tapi kali ini dia tidak hadir karena beliau sedang tidak sehat. Lagipula, para gadis mungkin akan iri jika Lailla punya kesempatan kedua."

"Benar, dia sudah mendapat kesempatan, tapi tidak digunakan dengan maksimal. Itu adalah salahnya sendiri. Jika gadis lain yang melakukannya, apakah dia boleh mengeluh dan meminta pengulangan?" sahut seorang gadis yang berdiri di sisi Arlia.

"Tidak ada yang mengeluh, dia hanya bertanya bolehkah untuk mengulanginya!" sergah Valea tampak meradang.

"Tidak apa-apa, aku tidak akan mengulanginya. Ini semua salahku yang kurang berlatih." Zhura menggeleng, tak ingin memperpanjang masalah. Ia menunduk, menatap kedua tangannya. Masih ada perasaan gelap yang tertinggal di sana menjadikan kulit tangannya mendingin. Azhara pun terpaku di tempatnya, menyadari tatapan keruh Zhura yang baru pertama kali ia lihat, mendatangkan sensasi yang ia sebut sebagai lara di hatinya.

***

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang