91. Selimut Misteri

34 8 5
                                    

"Kau darimana?"

Aryana terheran-heran kala melihat Inara tengah melangkah ke arahnya, terakhir kali ia meninggalkan gadis itu masih duduk di tempatnya. Aryana lekas mengitari ruangan dengan pandangannya, lalu melihat brosur yang ditempelkan pada tiang kedai. Ia rasa gadis tabib di depannya baru saja pergi memandangi lembaran itu. Tapi kenapa Inara melihatnya?

"Situasinya sangat kalut, penyerangan malam itu benar-benar membuat banyak sekali celah. Tidak heran para gadis suci memanfaatkan keadaan genting itu untuk kabur," tukas Aryana membuka topik yang berat bagi Inara. Gadis yang tidak siap akan pernyataan tersebut lantas termangut. Tak menyadari perubahan perasaan sosok di hadapannya, Aryana asyik menyantap makanannya.

Inara terlihat tidak setuju, raut gadis itu sudah cukup pias si balik cadarnya. "Apakah mereka, gadis suci yang kabur itu dianggap sebagai penjahat?"

Karena gadis di hadapannya bertanya demikian, Aryana pun mendongak bingung. "Apa?"

Decakan lirih keluar dari bibir Inara. "Saya pikir mereka juga sama seperti kita, orang yang ingin hidup bebas. Sayangnya, entah mengapa takdir masih begitu kejam pada para gadis," lirihnya teredam kain penutup wajahnya.

Aryana mengelap bibirnya dengan sapu tangan. Ia melirik piring Inara yang tampaknya tak tersentuh oleh gadis itu. Sekarang ia merasa bersalah, mungkinkah ucapannya yang tadi menyinggung? "Sungguh, aku tidak bermaksud mengatakan hal menyakitkan. Sepertimu, aku juga merasa hidup ini tidak adil bagi para gadis. Betapa aku berharap jika mereka bisa hidup layak seperti hakikat mereka sebenarnya. Untuk masalah kabur itu, aku hanya sedikit kecewa karena mereka lari dari tanggung jawab."

Inara bergeming. Apakah tanggung jawab itu adalah kewajiban yang mengharuskan mereka untuk mati? Diliriknya kembali brosur itu. Menyadari dirinya dan teman-temannya menjadi buronan langsung saja mengantarkan marah padanya.

"Sejak kejadian akhir-akhir ini, semua orang jadi saling mencurigai satu sama lain. Seluruh keluargaku kacau. Saudara-saudaraku berpencar, nenekku terbunuh dan keutuhan kerajaan terancam karena orang-orang itu. Aku bahkan tidak bisa mempercayai rekan-rekanku sendiri sebesar dulu. Seandainya saja kita bisa kembali ke masa di mana semua hal baik-baik saja." Aryana menggumam pedih.

Inara membuang pandangan saat ia tak dapat menyembunyikan perasaan gelap yang menggelayut.

Atmosfer gundah terpampang begitu kental di mimik wajah Aryana. "Aku sungguh muak. Aku sungguh benci melihat orang tak berdosa dibunuh, aku benci melihat orang-orang didera ketakutan, aku benci melihat kakakku menderita. Kondisi raja masih belum pulih, situasi kerajaan sedang sangat kacau dan entah di mana keberadaan Azhara sekarang, tapi aku berharap dia akan selalu baik-baik saja."

Dipegangnya teguh pertahanan emosionalnya demi misi yang sedang ia jalani. Setelah beberapa saat, Inara pun mengembuskan napas tenang. Peraturannya adalah ia harus fokus dan tidak boleh terbawa emosi apapun karena nyawa teman-temannya sedang dipertaruhkan. Jadi benar, perginya Putera Mahkota ada hubungannya dengan Zhura. Kalau begitu ada di mana mereka saat ini? Kenapa tidak ada kabar apapun bahkan setelah beberapa hari? Bukannya jarak istana dengan tempat Sanguina tidaklah sebegitu jauh hingga memakan waktu berhari-hari?

Aryana berdehem, berusaha mengubah situasi gelap di sekitar mereka. Meskipun begitu, nyatanya ia masih membahas gadis suci yang kabur. "Maaf, apa kau mengenal mereka, Inara?" tanyanya.

"Ah, iya." Pertanyaan Aryana membuat Inara tersadar dari lamunannya. Sekarang ia harus memikirkan sesuatu seperti alasan yang terkesan masuk akal. "Tidak juga, saya tidak begitu mengenal mereka. Hanya beberapa kali saya pernah melihatnya di istana. Saya kira mereka mungkin gadis-gadis yang baik."

"Hm, kukira juga begitu. Meskipun aku baru sekali melihat mereka, tapi aku bisa mengingat dengan baik wajah mereka. Salah satu dari mereka adalah murid Azhara, jadi aku sungguh penasaran padanya. Entah bagaimana aku merasa ada sesuatu antara dia dan kakakku. Tapi ia berakhir dihukum oleh Azhara sendiri. Mungkin saja karena itu dia marah lalu memutuskan kabur."

Inara jelas mengetahui bagaimana hubungan temannya dengan gurunya itu. Dimulai saat Azhara dengan sukarela menerima Zhura menjadi muridnya, lalu gelang Arbutus itu, dan terakhir jarum penyegel jiwa yang sengaja dikeluarkan lagi dari jantungnya. Dari berbagai macam bukti itu, relasi yang terjalin di antara mereka pasti bukan sekedar murid dan guru.

"Benar juga, bagaimana kau akan memakannya dengan cadar itu?" Aryana menatap makanan di piring Inara, lalu tersenyum menyadari suatu hal. Tanpa sadar ia sudah meninggalkan topik berat sebelumnya.

"Saya ... bisa makan dengan cara menyingkapnya sedikit. Ini bukan masalah besar." Telinga Inara naik saat instingnya merasakan ada mata yang memperhatikannya dari belakang. Sebisa mungkin gadis itu tetap bersikap tenang. Mengabaikan tatapan telisik orang-orang, ia kembali menegakkan punggung agar tidak menambah kecurigaan orang lain.

Sebagai putera dari seorang raja, Aryana telah dijejali oleh pengetahuan dan wawasan menyeluruh mengenai dunia. Demikian juga mengenai keanekaragaman budaya di kerajaannya. "Aku tahu, beberapa suku mengharuskan wanita untuk menutup wajah dan tubuh mereka dengan baik sampai menikah. Jadi, satu-satunya yang boleh melihatnya adalah suami mereka. Namun, benarkah kau harus selalu mengenakan ini bahkan saat makan?"

"Yah, saya biasanya tidak makan di tempat terbuka seperti ini," jawab Inara. Ketika ia mencoba mencari topik lain, dirinya justru menyadari beberapa orang terus saja melihat ke arahnya. Awalnya gadis itu berusaha tidak acuh karena biasanya mereka hanya penasaran di awal dan memutuskan untuk abai kemudian. Namun, orang-orang itu terus saja melihat ke arah meja mereka seakan mengincar sesuatu.

Jadi benar ada yang tidak beres, mungkinkah mereka adalah orang-orang Shar?

"Maaf, bisakah saya kembali sekarang? Sungguh, saya baru teringat ada pekerjaan yang harus saya lakukan. Ini pasti sangat merepotkan Anda, tapi saya sungguh harus pergi." Inara bangkit dari duduknya dengan waspada. Ia semakin merasakan aura musuh di sekitar.

Aryana menatap Inara dengan bingung. Pemuda yang menemukan kejanggalan pada gerak-gerik gadis di hadapannya lekas mengedarkan pandangan. "Kau benar-benar harus pergi sekarang?"

"Iya!"

"Baiklah, ayo kembali bersama." Tak menunggu lama, ia dengan hangat menyetujui permintaan Inara. Aryana bangkit dari duduk dan menuju ke meja kasir. Inara dilanda gusar, perasaan keruh terus saja mendatangi hatinya. Dan benar saja, suara gaduh terdengar dari tempat orang-orang mencurigakan itu duduk. Detik yang sama juga gumpalan asap putih memenuhi ruangan.

"Kebakaran! Kebakaran!" Beberapa orang terus berteriak membuat pengunjung kedai ketakutan. Inara melihat ke sekitarnya dengan panik, ia mencari-cari keberadaan Aryana di antara orang-orang yang lari tunggang langgang menyelamatkan diri.

"Inara!"

Suara pemuda itu terdengar begitu semu seakan mereka terpisah jauh. Inara mencoba melangkah ke mana pun arah yang telinganya dengar, tapi seseorang lebih dulu datang dari balik asap, menjerat lehernya dengan kain. Ia tidak bisa bergerak melarikan diri karena seluruh tubuhnya terkunci. Di ujung kesadarannya, inara mengambil mangkuk di meja lalu memecahkannya. Karena itu, darah pun keluar deras dari telapak tangannya.

Tidak adanya oksigen yang memasuki paru-parunya menghela Inara meninggalkan kesadarannya. Perlahan, kegelapan menghanyutkan datang saat orang-orang jahat itu membawanya lari dari kepungan asap.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang