39. Keyakinan

65 29 2
                                    


Pagi itu, Zhura membuka pejaman mata ketika sinar matahari menembus ke balik kelopaknya. Ia mengangkat sebelah tangan ke atas untuk menghalau silau. Tak lagi ada harapan untuk kembali terlelap, gadis itu memutuskan bangkit dan mengambil kesadarannya. Zhura mematung memperhatikan selimut putih yang membungkus separuh badannya. Dilihat dari segi apapun, itu bukan selimut yang biasa menemaninya tidur. Dengan wajah panik segera ia berdiri dan menemukan kenyataan bahwa kamar tidur ini bukanlah kamarnya.

"Di mana aku?!"

Ditatapnya penjuru ruangan kamar yang luasnya hingga puluhan meter tersebut. Kemudian kilasan kejadian kemarin mulai tergapai dan menimbulkan keheranan di batin Zhura. Bagaimana bisa ia berakhir di dalam kamar, sedangkan ruang baca Azhara adalah tempat terakhir yang ia lihat sebelum jatuh tertidur. Fakta bahwa ia hanya bersama dengan gurunya itu menamparnya telak. Apakah Zhura sungguh berjalan sendiri atau Azhara yang membawanya ke kamar ini? Sungguh pagi yang menyenangkan, belum juga targetnya masuk ke perangkap, malah Zhura lebih dulu yang terjun ke lubang galiannya.

Ia tidak ingin dicap sebagai gadis yang tidak punya harga diri, jadi ia harus kembali ke tempatnya secara diam-diam. Pakaian Azhara yang masih melekat ditubuhnya akan menimbulkan permasalahan di benak orang yang melihatnya, mereka mungkin akan salah paham dan mengira Zhura sudah menghabiskan malam bersama Azhara. Dengan batin penuh amukan api, dia membuka pintu dan melangkah keluar. Diamatinya sekitar, diambilnya satu langkah ke langkah lain. Suasana paviliun masih sepi karena sekarang pagi hari, Zhura jadi mudah menyelinap keluar.

"Aduh!"

Dia yang berlari dengan kalang kabut terlalu abai pada sekitar sehingga tanpa sengaja menjadi tidak fokus dan berakhir menabrak seseorang. Di tengah jalan mereka berdua terjatuh dengan posisi bertindihan. Pemuda yang Zhura timpa terlihat meringis ketika siku gadis itu mengenai perutnya.

"Maafkan aku, aku sungguh tidak melihatmu tadi. Apa kau baik-baik saja?" tanya Zhura seraya berdiri. Ia mengulurkan tangannya, membantu sosok itu untuk bangkit.

"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja. Bagaimana dengan Anda?" Pemuda berseragam penjaga itu menerima uluran tangan Zhura.

"Aku juga baik-baik saja." tutur Zhura seraya menggelengkan kepalanya. Setelah memastikan tidak ada yang terluka, dia menoleh ke sekitar dengan raut waspada. Beruntung tak ada orang disekitar mereka, sepertinya aksi pelariannya masih belum diketahui.

Melihat gelagat aneh yang ditunjukkan Zhura, pemuda itu turut menoleh ke sekitar. "Ada apa, Nona? Apa kau dikejar sesuatu?" tanyanya.

Zhura merapikan rambutnya yang berantakan, lalu menggeleng kaku. "Tidak, aku hanya sedang menghindari sesuatu saja. Jangan khawatir, keadaan sudah aman. Ngomong-ngomong siapa kau?"

Pemuda itu menyunggingkan senyum manis. Dilihat dari penampilannya, usianya mungkin sepantaran dengan Azhara. "Nama saya Ranzak, saya adalah asisten ajudan Yang Mulia Raja. Pagi ini saya ditugaskan untuk mengirim daftar hadiah ulang tahun dari Yang Mulia untuk Putera Mahkota."

Zhura menatap orang di depannya dengan kening berkerut. Pemuda elf bersurai legam itu tampak sangat tinggi, perawakannya sedikit familiar di matanya tapi Zhura tidak ingat. Jujur saja dia yakin pernah bertemu dengan pemuda di depannya, tapi di mana? "Apa kita pernah bertemu? Kau terlihat sangat familiar."

Ranzak menutup separuh wajahnya menyembunyikan tawa. "Ini adalah kali pertama kita bertemu, Nona. Dibandingkan dengan saya, ada banyak penjaga istana yang terkenal. Saya hanya junior yang tidak pernah mencolokkan diri. Jika kau pergi ke tempat kami, kau juga akan melihat banyak pemuda berperawakan mirip denganku."

"Oh, benar juga."

Ranzak pun terlihat mengamati pakaian Zhura dengan wajah bingung. Keheranan tergambar jelas di wajah pemuda itu. "Kalau boleh tahu, siapa nama Anda?Kenapa Anda keluar dari paviliun Putera Mahkota?"

"Ah, namaku Lailla. Soal pakaian ini, seorang temanku meminjamkannya karena milikku basah kehujanan semalam," jawab Zhura seraya menggaruk pelipis, jengah.

"Wah, teman Anda sangat baik." Ranzak tampaknya begitu mempercayai ucapan Zhura.

Dengan lengan pakaian yang menutupi seluruh tangannya, Zhura menunjuk gulungan di tangan Ranzak. "Sekali lagi aku minta maaf atas kecerobohanku. Kau pasti sedang sibuk, aku tidak bisa mengganggumu lebih lama. Kalau begitu aku pergi sekarang. Sampai jumpa, Ranzak," tutur Zhura berlalu seraya melambaikan tangan pada pemuda itu. Dengan kecepatan tinggi, ia berlari kembali ke tempat para gadis suci. Sementara di belakang, bahkan setelah gadis zamrud itu menjauh, Ranzak belum beranjak satu langkah pun dan menatap punggung Zhura dengan sorot penuh isyarat.

***

"Kakimu kenapa?"

Zhura duduk di atas ranjang, tempat di mana seorang gadis berambut merah terbaring menatapnya nyalang.

"Bisakah seseorang tidak bertanya tentang itu lagi? Kepalaku bisa pecah mendengarnya. Lagi pula ke mana saja kau sejak kemarin?" timpal Valea merotasikan bola matanya.

"Aku cuma bertanya," keluh Zhura lalu menyebikkan bibirnya sebal. Sekarang rasa khawatirnya melihat ketidakberdayaan Valea seketika lenyap. Ia mengambil teh di atas meja lalu menatap Inara yang sedang berkutat pada kalender di sisi dinding. Wajah gadis elf itu terlihat sangat serius, semua aura keramahannya tenggelam di balik sorot penuh kekhawatiran.

"Tahun baru tinggal beberapa minggu lagi. Jika jadwalnya benar, maka kurang dari dua bulan para gadis suci akan diberangkatkan ke dataran itu," ujar Inara, membuat perasaan gelap menyelinap ke hati dua gadis lain.

"Bagaimana pun caranya, kita harus kabur." Mata merah Valea menggelap ketika ia mengusap sebelah kakinya yang diperban. "Karena waktunya semakin mepet, kita harus bagi tugas. Sementara aku mengobati kakiku, Inara tetap memantau perkembangan situasi dan mempersiapkan hal yang kita butuhkan di pelarian. Dan kau, Zhura, cari jalur sungai terdekat yang menghubungkan dengan dataran Roseleaf."

"Baik." Zhura mengangguk kecil.

"Kau harus mendapatkan batu itu sebelum tahun baru. Ingat, jangan sampai kau jatuh ke perangkapmu sendiri, berusahalah lebih giat. Aku tidak mau kau membuat kami menunda pelarian ini, Zhura. Dengan atau tanpa batu biru Putera Mahkota, kita akan kabur saat itu juga," tutur Valea mengubah posisi berbaring menjadi membelakangi kedua temannya.

Zhura terdiam, ia menyimpan banyak hal di dalam kepalanya. Kabur, rasanya mustahil baginya melakukan aksi itu dalam beberapa minggu. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap Azhara. Tak peduli bagaimana gadis itu berusaha, gurunya tak tersentuh. Kini harapannya tergerus sedikit demi sedikit, Zhura mulai pesimis bisa menaklukkan pemuda itu demi batu birunya. Dan lagi, mengenai Ibu Suri. Bahkan setelah Zhura menerima batu kuning sebagai bayaran untuk tugasnya sebagai pelindung teratai bulan, ia masih belum melakukan pekerjaan apapun.

Inara yang sebelumnya berkutat pada kalender di dinding kini menoleh ke arah Zhura. Ia mendapati sisi lain dari temannya itu yang tidak dilihat Valea, di mana sebelah lengannya yang menggenggam cangkir kebiruan kini dipenuhi gemetar. Detik itu juga Inara sadar bahwa tidak selamanya ia akan melihat keyakinan di mata Zhura.

***

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang