133. Gadis Suci Terdahulu

0 0 0
                                    

Info : Novel ini sudah tersedia versi komik di webtoon.

.
.

Kau terlihat kerepotan," ujar Arlia membuat langkah Inara terhenti.

Inara menghentikan langkahnya sebelum kemudian memutuskan mendekat pada Arlia. Dua gadis elf itu kini berdiri berhadapan di antara orang-orang yang berlalu lalang. "Ya, kau sendiri terlihat sangat siap. Di antara gadis lain, kau terlihat yang paling siap untuk bertarung. Di matamu, tidak ada ketakutan sama sekali."

Arlia mengeratkan genggaman pada bilah pedang yang ia tancapkan pada salju. "Ayahku ada di pihak lawan. Tidak ada hal yang membuatku ketakutan lagi. Aku siap karena tujuanku sudah jelas. Tidak seperti kalian, hidup atau mati pada akhirnya aku tetap kalah. Di dunia ini aku tidak lagi merasa berarti. Tapi jangan sok kasian, aku tidak butuh perasaan itu darimu."

Bagi diri Inara, bertahan hidup tentu saja adalah harapan terbesarnya. Tapi melihat bagaimana cara bicara dan tatapan Arlia barusan, mengisyaratkan tidak ada lagi hasrat kehidupan padanya. Dia seperti sebongkah bola salju kosong di padang putih ini. Inara maklum. Perasaan kecewa Arlia terhadap perbuatan ayah yang ia banggakan, siapa pun pasti tidak ingin menanggungnya.

"Kau salah, Arlia. Jangan berkata seperti cenayang pesimis. Selama kita mempunyai tujuan dan usaha, seburuk apapun hasilnya, itulah kemenangan kita. Tidak ada yang namanya kekalahan. Bagiku siapa yang berusaha memperjuangkan harapannya sampai akhir, dia adalah pemenang."

Percakapan ini mengingatkan Inara pada saat ia mengikuti kelas peramu obat di desanya. Saat itu usianya masih kecil. Di kelasnya, hanya ia yang berusia di bawah lima puluh tahun. Ia sengaja mengikuti kelas singkat itu, karena hadiah yang akan didapat oleh juara kelas adalah tanaman obat langka, yang hanya bisa dipanen lima ratus tahun sekali. Ia ingin memberikan tanaman obat itu untuk ayahnya.

Inara mahir soal racik-meracik, tapi saat kecil ia kesulitan mengatur waktu untuk membuat ramuan obatnya. Jadi ia selalu gagal pada kelas praktek. Pada akhir kelas peramu, tanaman obat langka itu jatuh pada tangan seorang elf berusia seribu tahun. Dialah pemenangnya, sang juara kelas. Inara yang gagal mendapatkan tanaman obat itu menjadi kesal, hingga ayahnya mengajaknya bicara.

"Jangan salahkan mereka. Tanaman obat memiliki tekstur yang sedikit kasar, kadang juga berduri, tapi kalau kau memperlakukan mereka dengan baik, nantinya akan jadi lembut, tanganmu juga tidak akan sakit."

"Kalau seperti itu, waktunya akan lama. Orang-orang sudah lebih dulu menyelesaikannya, sementara seluruh waktu Nara mungkin hanya digunakan untuk merebus dan menumbuk. Itu sebabnya Nara tidak juara kelas, padahal Ayah sudah mengeluarkan uang yang sangat banyak untuk mendaftar."

"Selama kita mempunyai harapan dan usaha, seperti apapun hasilnya, itulah kemenangan kita, Nara. Di situlah seharusnya kita berada. Jadi, jangan pernah merasa kesal, apalagi pada dirimu sendiri. Yang terpenting adalah sampai mana dirimu berusaha."

Suara Arlia memecah bayangan masa lalunya. "Bahkan sampai mati sekali pun?"

Inara mengumbar senyumnya, "Hmm, meski sampai mati sekali pun."

Gadis seratus lima puluh tahun itu berdecak, menatap Inara dengan raut sarkas. "Kau lebih terbuka dari yang kukira," ungkapnya.

"Yah, orang-orang terkadang mengira aku gadis pendiam," sahut Inara tertawa kecil, "mungkin karena wajahku?"

"Maksudku, kau lebih baik dari yang kukira. Ini mengejutkan." Arlia mengalihkan pandangannya ke depan, di mana ribuan pasukan sudah berdiri membentuk hamparan baja merah.

"Oh, benarkah? Kau juga lebih ramah dari yang kukira. Jika keadaannya seperti dulu, aku tidak akan berani menyapamu. Tapi sekarang aku senang bisa berbicara denganmu."

"Jangan salah paham, aku mengatakan itu untuk basa-basi saja. Ingat, kita itu bukan teman," ujar Arlia salah tingkah.

Inara mengangguk-angguk. Ia ingat Zhura pernah bilang bahwa Arlia sebenarnya orang baik. Hanya saja Arlia susah untuk didekati. Daripada orang lain, bersosialisasi dengan Arlia dibutuhkan waktu lebih lama. Lagipula meskipun hanya disahuti dengan kesarkasan seperti tadi, setidaknya Arlia sudah bersedia membuka dirinya.

Percakapan mereka dipotong oleh sebuah ledakan besar yang terjadi. Lokasinya berada beberapa puluh meter dari formasi pasukan depan. Getaran pada tanah menyusul, tidak seperti tadi, getaran yang sekarang terasa berirama dan menghentak. Jika diterka, maka ini seperti langkah kaki sesuatu yang bergerombol.

"Inara, lihat di sana! Apa itu?!" seru seorang gadis suci mengarah telunjuk ke depan.

Di depan, segerombolan makhluk berkaki empat berlari menerjang ke arah pasukan. Bulu hitam mereka sangat tebal. Wajahnya mirip seperti Dart, tapi memiliki taring sepanjang tiga puluh centimeter. Mata mereka tampak tajam dari kejauhan. Inara sadar jumlahnya terlalu banyak untuk dihitung dalam sekali kejapan mata.

"Jangan khawatir, mereka akan segera mengatasinya. Kalian bersiap saja kalau sesuatu diluar dugaan terjadi. Jangan lupa pastikan baju pelindung kalian terpasang dengan benar,"  ujar Inara berusaha menenangkan gadis-gadis yang mulai panik. Tidak sampai satu menit hingga ratusan elf pengendali berbaris rapi di belakang pasukan depan. Getaran pada tanah semakin kuat. Saking kuatnya, salju putih di tanah bahkan melompat hingga ke sepatu orang-orang.

Asyaralia, Luther dan Vilois membantu memimpin pasukan bertarung jarak dekat yang masih dalam kondisi siaga. Pada saat itu juga, ribuan anak panah terangkat membidik.

"Tembak!"

Seruan Aryana mengawali hujan panah yang sukses diarahkan ke arah makhluk-makhluk buas itu. Seolah dikomando, para elf pengendali terlihat mengangkat tangan. Butuh beberapa detik bagi Inara untuk menyadari bahwa mereka diposisikan untuk mengendalikan anak panah tepat ke organ vital musuh. Bukan karena para pemanah tidak terampil, tapi itu dilakukan untuk menjaga efisiensi energi, senjata, maupun waktu pertempuran.

Shut!

Ribuan hewan mengerikan itu tumbang dalam waktu yang hampir bersamaan. Tubuh mereka kaku berserakan di tanah bersalju dengan bercucuran darah. Tentu saja, makhluk-makhluk itu bahkan tidak sempat menyadari kematian mereka hingga panah-panah itu menembus jantungnya. Kematian yang cepat dan tidak menyakitkan, adalah cara yang baik untuk membunuh musuh.

"Musuh terlihat lagi dari arah jam dua! Pasukan kembali bersiap!" seru seorang prajurit pengawas yang diposisikan di tempat yang lebih tinggi.

Para pemanah tadi kembali membidik anak panahnya, tapi tidak ada apapun yang dilontarkan pada musuh di depan. Tentu, mereka tidak bisa bergerak tanpa komando. Di tempatnya Aryana terdiam. Sebelumnya, pemuda itu mengangkat sebelah tangannya, hendak menginstruksikan pasukan untuk menembak. Tapi sekarang dia terdiam, dengan tangan tertahan di udara.

"Mereka...," ujar Aryana terpaku menatap gerombolan musuh yang mendekat. Pasukan beruang putih raksasa yang dikendalikan masing-masing oleh satu pengendara.

"Itu?!" Semua pasang mata melebar, tak percaya sekaligus bingung. Bukan pada pasukan beruang setinggi dua meter itu. Tapi, pengendalinya yang membuat mereka hilang akal. Pengendara-pengendara beruang itu berseragam biru lengkap dengan senjata masing-masing, dan tentu saja semuanya adalah seorang gadis.

"Mereka gadis-gadis suci terdahulu?!"

Inara menutup mulutnya. Kehidupan sosok-sosok yang selama ini termanifestasi hanya sebagai ingatan masa lalu, kini benar benar terlihat nyata. Gadis-gadis berseragam serupa dengannya, kini bergerak bersama raksasa putih membawa hawa pertarungan yang sengit.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang