20. Kisik

113 51 7
                                    


"Tangkap gadis bincacak itu! Hei, berhenti kau!" Gadis-gadis pengikut Arlia itu begitu keras kepala, sudah hampir setengah jam berlari dan tampaknya mereka belum ingin menyerah di mata Zhura.

Sembari menahan umpatan, gadis zamrud itu mencoba berbelok ke kanan. Ia melewati lorong-lorong tinggi yang membawanya keluar ke halaman luar. Dengan gesit ia gulirkan mata ke segala arah, dicobanya menemukan sesuatu yang bisa digunakan untuk perlawanan. Entah kemana lari membawa dirinya, tapi yang Zhura ketahui tempatnya saat ini masih bagian dari istana. Namun, bentuk bangunannya sedikit berbeda dari bentuk bangunan yang ada di wilayah utama para petinggi kerajaan. Melihat banyak orang berlalu-lalang dengan seragam pelayan, gadis itu menyimpulkan tempat ini adalah wilayah pelayan istana.

Pada saat itu juga, aroma menyengat masuk ke dalam hidung, ia sadari aroma itu berasal dari sesuatu yang berjejer di sisi halaman. Dia lihat masing-masing dari mereka dijemur dengan jarak satu meter. Zhura mengamati bubuk kemerahan di atas tampah-tampah jerami tersebut, baunya yang panas membuatnya yakin bahwa itu adalah bubuk cabai. Sensasi menusuk  datang begitu tajam, pastinya akan terasa perih jika bubuk-bubuk itu masuk ke dalam mata. Zhura menolehkan kepala pada gadis-gadis kekeh di belakangnya. Dari delapan gadis yang mengejarnya, kini tersisa lima orang. Kemungkinan mereka kelelahan lalu memutuskan menyerah. Zhura menyombong dalam hati karena semenjak ritual pengorbanan, berlari menjadi hal yang ia kuasai dengan sangat baik.

"Berhenti kau, Brengsek!" Suara-suara rutukan dan umpatan mereka lekas terdengar semakin jelas. Tiada lagi keanggunan yang selalu mereka tampakkan di depan petinggi kerajaan, gadis-gadis itu kini terlihat seperti serigala yang siap menerkamnya. Sengaja Zhura melambatkan laju lari agar jarak mereka terpangkas. Setelah memastikan bahwa gadis-gadis itu tepat berada di belakangnya, Zhura berbalik pada mereka. "Lihatlah ke sana!" teriaknya menunjuk ke arah sumur tua di sisi lain halaman. Para gadis menghentikan lari mereka, sontak menoleh ke arah sumur.  Gadis-gadis yang sadar diri mereka tertipu, kembali menatap Zhura dengan sorot beringas.

"Sialan, kau menipu kami!" serbu mereka membuat gerakan siap menyerang.

Zhura mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahu. "Aku hanya bilang di sana ada sumur, siapa tahu kalian akan membutuhkan air," ujarnya menahan tawa.

Suara tawa menguar di sekelilingnya. Gadis-gadis merak itu memutar mata sebelum beralih menatapnya dengan cemooh. "Arlia benar, kau itu bodoh. Untuk apa kami membutuhkan air? Jika kau pikir kami kehausan, kami para gadis bangsawan tidak minum dari sumur tua seperti kalian."

Anggukan ia keluarkan, Zhura tidak kuasa menahan senyuman jahil. "Benarkah? Jadi kalian tidak membutuhkan air sumur itu?"

Seorang gadis berambut kecoklatan maju menyilangkan tangan di depan dada.
"Tentu saja! Silakan ambil saja jika kau menginginkannya! Tapi sekarang ikut kami dulu dan lihatlah apa yang akan Arlia lakukan padamu!" serunya sembari menangkap lengan Zhura. Dengan wajah lelah yang dibuat-buat, ia pura-pura menyerah dan bersikap penurut. Mereka berjalan beriringan dengan tenang. Namun, saat mereka lengah, diam-diam Zhura mengambil sebuah tampah yang dijemur tepat di sampingnya. Ia tidak tahu seberapa lebarnya senyumannya, saat melihat gadis-gadis jahat itu menampilkan raut bingung.

"Rasakan ini!" teriak Zhura melemparkan bubuk kemerahan itu pada wajah gadis-gadis.

"Akh!"

"Sialan! Mataku!"

"Mataku sakit! Mataku sakit!"

"Akan kubalas kau!"

"Air! Di mana air?!"

"Berikan air padaku!"

"Tolong! Aku tidak bisa melihat!"

Tawa lepas tak bisa ditahan dari bibirnya melihat gadis-gadis itu tunggang-langgang ke arah sumur tua. Beberapa dari mereka bertabrakan, sementara sisanya mulai menangis minta tolong. Tindakan Zhura memang jahat, tapi ia tidak merasa bersalah sedikit pun. Faktanya mereka yang lebih dulu mengusiknya, itu adalah upah yang sepadan. Zhura berbalik, berniat kembali pada Inara dan Valea. Namun, niatannya tertunda karena lesatan benda dari arah jam lima. Sebuah pisau menancap di tanah tepat setelah Zhura menghindar ke kiri. Arlia datang mendekat dengan penuh amarah. Melihat Zhura membodohi teman-temannya, Arlia kembali mengeluarkan pisau dari tangannya. Diputarnya pisau mengerikan itu dengan gerakan yang sangat terampil. Zhura mundur tertegun mendapati tampilan mata Arlia yang dipenuhi hasrat membunuh.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang