50. Benang Yang Tersimpul

86 24 11
                                    

Azhara melangkah ringan ke dalam paviliunnya. Ketika ia sampai di ruangan yang menghadap ke luar, ia menangkap seseorang berdiri di atas atap. Tak perlu dilihat dua kali pun ia tahu siapa sosok itu. Namun, Azhara sudah memutuskan untuk menguatkan kembali tekadnya. Azhara akan melupakan semua hal yang sudah ia lalui bersama dengan gadis itu. Jadi, tidak seharusnya dirinya mendekati apa yang membuatnya goyah.

Meskipun demikian, Azhara tidak bisa membuang semuanya begitu saja karena ia punya hutang budi. Dengan begitu, ada yang harus ia lakukan lebih dulu sebelum melepaskan perasaannya.

Dengan kekuatannya, ia terbang dan mendarat di sisi Zhura. "Sedang apa kau di sini?"

"Guru, kau sudah kembali?!" tanya Zhura terkejut bukan main.

"Sedang apa kau?"

"Aku ... aku baru selesai latihan jadi tubuhku gerah. Kau pasti tahu kalau cuaca hari ini terik, jadi aku mencoba mencari udara segar." Zhura mengakhiri kalimatnya dengan tawa garing.

"Tidak ada orang yang mencari udara segar di atas atap." Azhara menilik sesuatu yang disembunyikan gadis itu di belakang punggungnya.

"Apa itu?"

Zhura menggeleng kaku, ia sadar bahwa tidak ada kesempatan untuk menyembunyikan sesuatu dari mata tajam gurunya. Namun, tetap saja Zhura tidak bisa mengatakan kalau ia sedang menggambar peta yang akan ia lewati saat kabur nanti. Dan tibalah saat ia harus menunjukkan kemampuan bermain perannya.

Ditunjukkan kertas itu pada Azhara. Dia sengaja melipatnya sehingga pemuda itu tidak bisa melihat gambarannya. "Aku rindu keluargaku, jadi aku menulis surat ini. Perayaan tahun baru tinggal sebentar lagi, biasanya aku dan keluargaku merayakannya bersama. Namun, tahun ini aku tidak bisa melakukannya. Setidaknya aku harus menulis surat ini agar mereka tahu kalau aku selalu memikirkan mereka. Dengan menulis di atas sini, aku pikir wilayah tempat asalku akan terlihat. Ternyata tidak juga."

Bibir Azhara kelu. Ia merasakan terik mentari menyengat langsung ke dalam dirinya ketika mendengar perkataan gadis itu.

Zhura menghela napas, menatap lurus pemandangan kota yang terlihat jelas dari atas. "Ini adalah satu-satunya yang bisa kulakukan saat aku teringat keluargaku. Kuharap kau tidak tertarik untuk membaca surat ini, karena di dalamnya hanya berisi kata-kata menyedihkan. Sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Ini hanya surat."

Wajah Azhara yang semakin mengeruh tertangkap penglihatan Zhura. Gadis itu sontak mengubah topik. "Bagaimana tidurmu semalam? Pasti kau sudah tidur nyenyak. Apa wanita itu masih datang lagi di dalam mimpimu?"

Azhara menggeleng.

"Syukurlah, aku jadi tidak perlu melihat kantung mata hitam itu lagi. Kau lebih menakutkan dari hantu saat itu. Bukankah hadiahku cukup menarik?" Zhura tersenyum lebar hingga pipi gembilnya terangkat membuat matanya menyipit.

Azhara mengalihkan pandangannya. Denyut jantungnya berpacu lebih cepat, bahkan saat ia tidak tahu alasannya, tetap saja ia tidak bisa membiarkan hal itu berlanjut lebih lama. "Karena kau sudah memberikan hadiah itu padaku, maka aku tidak bisa diam saja tanpa membalasnya. Katakan, apa ada sesuatu yang kau inginkan?"

Zhura melebarkan matanya. Ia tidak menyangka Azhara akan menanyakan hal semacam itu. Tidak adanya ide di kepalanya membuat Zhura hanya menggelengkan kepalanya.

"Kau bilang merindukannya keluargamu. Aku bisa saja membawamu melihat tempat asalmu."

Zhura akan bersujud ribuan kali jika Azhara benar-benar bisa menunjukkannya jalan pulang. "Itu sangat jauh. Dengan apa kau akan membawaku? Maaf saja, aku tidak bisa terbang."

"Aku bisa." Azhara menyela.

Baiklah, itu mengejutkan bagi Zhura. Tapi mengingat ada roh jahat di dalam tubuhnya membuat kemampuan luar biasa Azhara menjadi terdengar biasa saja. "Aku tidak mau terbang bersamamu, bagaimana kalau kau menjebakku? Bagaimana jika sebenarnya kau berniat membunuhku?"

"Lihat saja nanti." Azhara mengambil tangan Zhura, membawanya terbang bersama ke langit.

"Kau gila! Mau mengajak bunuh diri, ya?! Turunkan aku!" Zhura menutup matanya seraya berteriak ketakutan ketika tanah semakin menjauh dari kakinya.

Azhara tidak mendengarkan seruan itu dan justru melayang semakin tinggi. Angin bertiup lebih kencang membuat ia harus mengeratkan pelukannya pada tubuh mungil itu.

"Buka matamu."

"Tidak!" Zhura menggeleng, menyembunyikan wajahnya dengan tubuh gemetar.

"Buka matamu!" Azhara memaksa.

Deru angin melembut, kini keadaan mereka lebih tenang. Zhura membuka mata dan terpana akan pemandangan di bawah mereka. Gunung, laut, dan hamparan kehidupan di bawah tak berhenti membuat Zhura terkagum. Azhara menarik sebuah awan lalu menjadikan itu pijakan bagi mereka berdua. Zhura menunduk, ia tak percaya bisa berdiri di atas awan. Penasaran, disentuhnya awan itu dengan telunjuk. Hawa dingin lekas terasa di jarinya yang basah.

"Ini awan sungguhan," ujarnya tertawa. Gadis itu beralih menatap Azhara, sorot penuh antusias terpancar dari mata hijaunya.

"Siapa yang tadi bilang aku berniat menjebak?" timpal Azhara.

"Cih! Pendendam."

"Sekarang kau bisa melihat tempat asalmu, Desa Rubah harusnya berada di sana." Azhara menunjukkan sebuah arah.

"Kenapa kau sangat baik hari ini? Apa kau punya alasan tersembunyi?" tanya Zhura.

"Anggap saja ini balas budi karena merayakan ulang tahunku kemarin."

"Oh, begitu." Diam-diam mata Zhura berlarian menghafal jalur di bawahnya. Baik itu sungai atau hutan, dia akan menggambarkannya pada Valea dan Inara demi kelancaran aksi pelarian mereka. Jarak mereka dengan langit begitu dekat, tapi perasaan sejuk justru mengisi hati Zhura. Ia tidak menyangka bahwa Azhara yang dingin dan terkenal ditakuti orang-orang, benar-benar membawanya terbang. Dengan wajah semringah Zhura balikkan tubuhnya pada orang yang masih bergeming saja di tempatnya.

"Guru sangat baik, Lailla sangat senang."

"Hm." Azhara meresponnya dengan ala kadarnya tanpa kata-kata.

"Ini adalah hari yang terindah di sembilan belas tahun hidupku. Terbang dan berdiri di atas awan bersama denganmu terasa sangat menyenangkan. Saking senangnya, aku hampir mengira jika ini adalah mimpi. Sepertinya aku mungkin akan mengingat ini selamanya. Bagaimana denganmu? Apa kau akan mengingat hari ini selamanya?"

Angin menerbangkan rambutnya yang panjang ketika Azhara menunduk. Ia terdiam, belum menemukan jawaban yang bisa ia katakan. Tapi satu hal yang pasti adalah perubahan. Tak peduli seberapa inginnya Azhara untuk singgah, jalannya sudah ditentukan oleh takdir. Ia tidak bisa berhenti atau bahkan mundur. Pertemuannya dengan gadis itu adalah berkah yang ia syukuri. Untuk hal lain yang datang, ia tidak bisa menyambutnya. Hanya setelah ia membalas kebaikannya, Azhara berniat melupakan semuanya termasuk gadis itu.

   

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang