69. Lilin Yang Menyala

55 16 0
                                    

Zhura mengendap-endap mendekati tempat perawatan para gadis. Di sana, ia mulai mencari sosok tua itu dari satu ruangan ke ruangan lain. Tepat seperti yang ia kira, sosok bermata abu-abu itu ada di salah satu ruangan, sedang merawat seorang gadis suci yang terluka. Cukup lama Zhura menunggu, mungkin hampir setengah jam berlalu hingga akhirnya wanita itu keluar.

"Tabib Ma!"

Dia melebarkan matanya menatap Zhura, ia lalu mengajak gadis itu ke tempat yang lebih tersembunyi.

"Zhura, kau ada di sini? Ke mana saja kau?"

"Ceritanya panjang, akan kuceritakan lain kali. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi kemarin, Tabib Ma?"

Tabib Ma mengerutkan keningnya, ia tampak berat hati mengingat kejadian kemarin. "Kejadiannya sangat cepat. Saat itu tengah malam, orang-orang bertudung datang dalam jumlah banyak. Istana mengerahkan prajurit untuk mengalahkan mereka, tapi target mereka sebenarnya adalah teratai bulan. Saat pertarungan pecah, beberapa dari mereka diam-diam meracuni bunga itu."

"Apa mereka berhasil meracuninya?" Sekujur tubuh Zhura merasa bersalah. "Bagaimana kondisi bunga teratai bulan itu sekarang?"

Tabib mengangguk kecil. "Atensi prajurit hanya tertuju pada pertempuran yang masih berlangsung, jadi tidak ada penjagaan di kolam teratai bulan. Meskipun bunga itu berhasil diracuni, tapi keadaannya belum mati. Sayangnya terkontaminasinya bunga itu juga berdampak pada Putera Mahkota. Roh jahat di tubuhnya mungkin merasakannya sehingga dia memberontak. Akhir-akhir ini keadaan Yang Mulia begitu lemah, ia tidak sanggup menahan roh itu."

"Jadi, roh jahat itu benar-benar bangkit?"

Tabib Ma mengangguk lagi. "Makhluk itu sangat besar dan panas. Tubuhnya bercahaya dan suaranya terdengar keras. Aku bahkan masih berdebar sangat mengingatnya. Roh itu memang mengalahkan semua musuh, tapi dia juga menyerang para prajurit istana. Yang Mulia Raja bahkan harus mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menyegel Putera Mahkota."

"Di mana Azhara sekarang?"

"Dia dikurung di ruangan khusus yang dijaga ketat. Bangkitnya roh itu membuat kekuatan spiritual Putera Mahkota melemah, tapi Yang Mulia Raja tetap menyegel sisa kekuatannya. Beberapa indranya dimatikan, dan sisanya ditumpulkan. Putera Mahkota benar-benar sudah tak berdaya. Dia sekarat, Zhura."

"Apa yang harus kulakukan untuk menyelamatkannya?" Ada lava panas membakar jiwanya saat mendengar penuturan Tabib Ma barusan.

Tabib Ma melirik ke sekitar, sebelum kemudian ia mengulurkan sebelah lengannya pada Zhura. Cahaya pudar memancar saat ia mengeluarkan sebuah benda dari telapak tangannya. Itu adalah sebuah peta.

"Kau pasti sudah mendengarnya. Pertempuran kemarin tidak hanya terjadi di sini, tapi juga di istana Ibu Suri. Dia gugur setelah memastikan bahwa benda aman. Yang Mulia Azadilla tahu bahwa kau pasti kembali, ia menitipkan ini padaku untukmu."

"Benda apa ini?" tanya Zhura menerima lembaran yang terbuat dari kertas mahoni itu.

"Ini adalah peta yang menggambarkan lokasi penawar racun daghain, zat yang meracuni teratai bulan. Dengan mengikuti petanya, kau akan sampai pada orang yang bisa membuat penawarnya. Ini adalah permintaan dan bukan tugas. Jadi, kau bisa menolak jika keberatan, tapi dia bilang bahwa kau adalah orang yang ia percayai untuk melindungi Putera Mahkota."

"Aku akan mendapatkan penawarnya!" Tak perlu berpikir dua kali, Zhura mengangguk. Dengan sorot yakin, ia menggulung peta itu dan memasukkannya ke dalam tas.

"Haruskah aku menemanimu? Aku mungkin bisa membantu," ujar Tabib Ma menawarkan bantuan.

"Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja. Anda tetap di sini, orang-orang yang terluka lebih membutuhkan bantuanmu." Zhura menatap gelang Arbutus di pergelangan tangannya. "Tapi, sebelum itu aku ingin pergi ke suatu tempat dulu."

Tabib Ma bertanya, "Ke mana?"

"Aku harus bertemu Azhara."

***

Zhura membungkam mulut penjaga di hadapannya dengan kain yang sudah ia beri obat bius. Sebenarnya ini tindakannya salah, tapi ia terpaksa melakukannya untuk bisa masuk. Setelah memastikan bahwa penjaga itu tidak sadarkan diri, Zhura memposisikan tubuh penjaga itu duduk dengan nyaman. Dikantongi kembali kainnya seraya melihat ke sekeliling. Semua aman, gadis itu segera masuk ke dalam ruangan yang ia tuju.

Di dalam ruangan luas itu, semua ventilasi ditutup sehingga udara yang seharusnya ringan dihirup menjadi berat. Tidak ada kandelir yang dinyalakan atau pun perapian untuk penghangat. Kelam, itulah yang Zhura lihat saat ia menginjakkan kakinya di dalam. Gadis itu menyalahkan lilin untuk menerangi sekitar, saat itu juga ia menemukan sosok yang dicari.

Azhara terbaring dengan sebelah kaki yang dirantai. Mata birunya tertutup rapat, sementara tubuhnya menyatu dengan lantai seakan-akan ia sudah tak mempunyai kekuatan apapun lagi. Zhura meremang, ia tak kuasa menahan air matanya keluar. Saat ia mencoba mendekati pemuda itu, sebuah sekat tak kasat mata ternyata dipasang mengelilingi Azhara.

Zhura menahan isak, dengan jemari disentuhnya dinding tak kasat mata itu. Hanya dari balik sekat ia bisa melihat Azhara yang terlelap bersama rasa sakit. Keadaan pemuda itu jauh lebih buruk dari pada yang ia kira. Siapa yang menyangka Azhara yang tangguh dan handal akan terkulai sekarat seperti itu. Iris hijau Zhura sedang mengamati wajah pucat pemuda itu saat kilasan percakapan mereka kembali datang.

'Roda kehidupan itu berputar, aku berdoa semoga Guru selalu bijak saat di atas dan sabar ketika di bawah. Kalau bisa, semoga Guru selalu di atas saja terus. Dengan begitu, kehidupan Guruku pasti selalu menyenangkan. Amin.'

'Bagaimana jika roda kehidupanku rusak, dan aku berakhir di bawah untuk selamanya?'

'Kalau rodamu rusak, aku akan membawamu di rodaku. Jadi, kita akan berbagi tempat!'

Gadis itu menggumam kata maaf, tapi itu hanya dibalas keheningan. Kepalanya tertunduk dalam-dalam, ia berharap bisa menghancurkan sekat di hadapannya untuk merengkuh pemuda perak itu. Zhura membenci keadaan di mana Azhara sedang tak berdaya. Betapa inginnya ia agar waktu di antara mereka hanya berhenti saat mereka berada di atas awan.

Jarum itu sudah dikeluarkan dari jantungnya, inilah saatnya untuk Zhura menepati janjinya. Diletakkannya lilin itu di lantai, dengan cahayanya yang redup itu cukup menerangi pemuda itu di dalam kegelapan. Bahkan meskipun Zhura tahu bahwa perasaan kasih itu mungkin hanya mekar di satu sisi, tapi dia tidak akan membiarkan Azhara jatuh atau menderita. Diusapnya dinding tak kasat mata itu dengan penuh kehangatan.

"Tunggu aku, Azhara. Aku pasti akan menyelamatkanmu."

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang