63. Belasut

71 25 10
                                    

"Hari ini tidak ada latihan, jadi kita akan gunakan kesempatan ini untuk melakukan kegiatan lain."

Arlia dan tiga gadis lain menampilkan raut heran saat Pak Dima mengatakannya. Keheranan mereka pun bertambah setelah guru mereka itu mengeluarkan banyak kertas.

"Apa yang sebenarnya Anda lakukan?" tanya Ilyza tak bisa menahan rasa penasarannya.

"Perayaan tahun baru akan segera tiba. Setiap gadis diizinkan menulis surat untuk dikirimkan pada keluarga atau kerabat. Jika ada balasan, istana akan memberitahukannya pada kalian," jelas Pak Dima meletakkan kertas di masing-masing meja muridnya. "Tulis apa saja yang ingin kalian sampaikan, ingat tulisannya akan diperiksa oleh pihak istana jadi tulislah yang baik-baik."

"Permisi." Inara memasuki ruangan bersama Zhura. Gadis elf itu menundukkan kepalanya, "Maaf, kami terlambat."

Pak Dima menyilangkan kedua tangannya di depan dada, "Katakan, hal apa yang lebih mendesak hingga kalian menyepelekan waktu dengan datang seterlambat ini?"

"Kami ...-" Inara tampak ragu-ragu saat hendak berujar. Ia tidak bisa mengatakan kalau dirinya habis-habisan menghentikan Zhura untuk melepaskan gelang Arbutus itu.

Zhura menyadari keguguran Inara, dia lantas berujar, "Aku kesiangan."

Semua orang beralih menjadikan dua gadis itu sebagai pusat perhatian. Beberapa dari mereka menampilkan raut risih atau takut, sementara sisanya secara terang-terangan memberikan tatapan cemooh pada Zhura.

Pak Dima mengerutkan kening, "Kesiangan? Jadi, kau lebih memilih tidur daripada memenuhi tugasmu sebagai gadis suci?"

"Tidak, sebenarnya Zhura butuh waktu lebih untuk menyiapkan dirinya karena dia sedang tidak sehat. Tolong.jangan salah paham." Inara meluruskan kesalahpahaman sebelum ini menjadi masalah.

"Kenapa dia ada sini?" tanya Yiwen.

"Benar, aku tidak mau satu atap dengan seorang pendosa," ujar Arlia risih.

"Aku yang memerintah dia untuk datang ke sini, sekarang dia muridku seperti kalian. Dan, Nona Arlia, apa kau terlalu mulia sampai-sampai bisa menilai seberapa besar dosa orang lain?" sergah Pak Dima.

Arlia mendengkus, membuang muka.

Pak Dima meminta Inara dan Zhura menempati tempat duduknya. Dia tak lupa meletakkan kertas dan semangkuk tinta di meja mereka. "Biar kujelaskan ulang. Hari ini tugas kalian adalah menulis surat yang akan ditujukan pada keluarga atau kerabat sebagai bentuk perayaan tahun baru. Kalian bisa bertanya kabar, mengutarakan keinginan atau apapun. Istana pun akan memberitahukannya jika ada balasan."

Semua gadis tampak berpikir. Mereka sibuk merancang kalimat atau hal yang ingin diutarakan di dalam suratnya. Pak Dima mendapati Zhura termenung tanpa apa niatan untuk menulis. Gadis itu terlihat lunglai dan lemah. Kulitnya pucat dengan mata hijaunya yang jatuh sayu. Pak Dima tidak tahu seperti apa hubungan Zhura dengan Azhara, tapi yang jelas kondisi keduanya terlihat sama memprihatinkan.

"Bagi orang yang membiarkan kertasnya kosong akan dihukum," ancam Pak Dima.

Inara menyadari siapa yang dimaksud gurunya. Segera gadis elf itu berbisik di sisi telinga Zhura. "Hei, ada apa?"

"Aku tidak punya keluarga atau kerabat, tidak ada hal yang bisa dituliskan," jawab Zhura lirih, suara gadis itu hampir tak terdengar jika saja Inara tidak mengacungkan telinga lancipnya.

Inara kebingungan, jika Zhura mengosongkan kertas ini mereka bisa mencurigainya. Semua orang mempercayai bahwa gadis itu adalah gadis dari Desa Rubah, yang pastinya dia juga mempunyai keluarga di sana. Mereka semua akan bertanya apakah Zhura tidak merindukan keluarganya karena memilih mengosongkan kertasnya.

"Tulis apa saja." Inara meletakkan tinta di tangan Zhura. "Jangan biarkan orang lain mencurigaimu."

Zhura memahami maksud Inara, Ia pun bersedia menuliskan sesuatu di kertasnya. Percakapan mereka berdua ternyata didengar oleh Arlia. Dia sengaja menguping pembicaraan itu dan berakhir keheranan saat Zhura mengatakan bahwa ia tidak punya keluarga. Dan lagi perkataan Inara membuat Arlia semakin dilanda badai penasaran.

Kenapa Inara tidak ingin ada orang yang curiga pada temannya itu? Mungkinkah ada rahasia yang disembunyikan gadis-gadis itu?

Zhura sedang mencelupkan kuasnya ke mangkuk saat bayangan hari itu datang di kepalanya. Saat di mana ia berbohong pada Azhara tentang menulis surat untuk keluarganya, lalu pemuda itu membawanya terbang. Siapa yang menyangka jika ia ternyata benar-benar akan menulis surat ini. Arlia sudah selesai, ia hendak menyerahkan kertasnya yang hanya diisi tiga buah kalimat. Entah sengaja atau tidak, ia menumpahkan mangkuk tinta Zhura hingga itu memenuhi mejanya.

"Ups," ujarnya pura-pura terkejut, diam-diam membuat raut licik.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Inara memeriksa keadaan Zhura.

Zhura menggeleng, mencoba membersihkan dirinya dari cairan jelaga itu. "Aku tidak apa-apa, Inara."

"Arlia?!" Pak Dima mendekat. "Apa kau sungguh-sungguh cari masalah?"

Arlia mengangkat bahunya. "Aku tidak sengaja. Lailla tidak bisa memegang mangkuknya dengan baik, jadi itu terjatuh saat aku menyenggolnya."

"Kenapa kau jadi menyalahkannya?" tanya Inara.

"Aku tidak menyalahkan Lailla, tapi dia memang terlihat tidak fokus dan terus melamun. Aku curiga dia sedang memikirkan sesuatu," sergah Arlia tak mau kalah.

"Apapun itu, kau harusnya lebih hati-hati saat lewat!" Inara benar-benar sudah tak habis pikir dengan Arlia yang terus mencari gara-gara.

Karena perdebatan mereka, para gadis suci di belakang menjadi tak fokus menulis suratnya.

"Sudahlah, kalian berdua!" seru Pak Dima melerai Arlia dan Inara. Pria tua itu menunjuk Zhura yang tampak bergeming. "Lailla, kau bersihkan dulu pakaianmu. Aku harap kau bisa lebih fokus lagi selanjutnya, jangan biarkan sesuatu terus mengganggu pikiranmu seperti ini. Selain mengganggu aktivitas, beban pikiran juga akan memengaruhi kesehatanmu."

Zhura tercenung, dengan berat hati ia menganggukkan kepalanya.

The Cursed Journey Of Zhura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang